Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Huek!"
Aku terus memuntahkan isi perutku hingga kerongkonganku terasa perih. Sarapan yang baru saja kutelan, seakan hanya singgah sebentar di lambungku sebelum akhirnya terkuras kembali hingga isinya telah habis, dan mungkin tak bersisa.
Di usia kehamilanku yang masih terbilang muda ini, aku memang kerap kali mengalami morning sickness.
Mas Wira hanya melirik sebentar dengan ekor matanya, sambil tangannya terus memasangkan dasi di leher.
Tadinya, aku yang hendak memasangkan dasi tersebut. Namun perutku tiba-tiba terasa mual karena mencium aroma parfumnya, maka mau tak mau Mas Wira yang melakukannya sendiri.
Setelah puas menguras semua isi perutku dan memastikan rasa mualnya tak ada lagi, aku pun bergegas berkumur dan mengelap mulutku dengan selembar tissu. Setelah itu menghampiri Mas Wira yang sedang mengancingkan lengan kemejanya.
Aku berinisiatif hendak membantunya. Namun, baru saja tanganku terulur hendak meraih tangannya, Mas Wira langsung berkelit menghindar.
"Tidak usah. Ini sudah mau selesai," ucapnya dingin sembari sibuk mengancingkan lengan bajunya sendiri.
Tanganku mengambang beberapa detik, setelah itu kuturunkan perlahan diiringi dengan kegetiran yang menguasai hati.
"Aku pergi dulu," pamitnya kemudian.
Kepalaku mengangguk. Sedikit ragu, tanganku mulai terangkat hendak menyalaminya, namun kembali kuturunkan setelah melihat jika sepertinya Mas Wira tak berniat ingin disalami. Pria itu berjalan keluar kamar begitu saja.
Jemariku bergerak mengusap perut yang masih tampak rata, maklum baru satu bulan usianya. Sementara pernikahanku dengan Mas Wira baru berjalan sekitar satu minggu.
Aku memang hamil duluan. Namun jangan berpikir jika Mas Wira yang menghamiliku. Dia hanya korban di sini. Korban yang mau tidak mau harus menanggung semuanya meskipun bukan dia pelakunya.
Maka tak heran jika sikapnya begitu dingin terhadapku. Pernikahan untuk sekadar menutupi aib ini tentu tak diharapkannya. Meskipun aku juga sebenarnya tak berharap untuk dinikahi oleh siapapun. Namun sikap keras papi yang seorang pengusaha ternama membuatku tak dapat berkutik apa-apa setelah beliau menjodohkanku dengan anak teman bisnisnya.
"Kalau tidak mau menikah sebaiknya digugurkan!" Teriakan papi yang menggelegar tiba-tiba terngiang kembali. Papi yang sebelumnya memang sudah emosi setelah mengetahui kehamilanku, semakin berapi-api setelah aku menolak permintaannya untuk menikah.
Mami menangis histeris hingga bersujud di kaki papi. Sementara aku masih termangu sembari memegang pipi yang baru saja ditampar oleh papi. Tidak sakit, hanya saja rasanya panas. Sementara sakitnya malah pindah ke hati.
"Jangan! jangan digugurkan. Mami mohon, Pi. Biarkan bayi itu tumbuh di dalam rahim anak kita. Bayi itu tidak bersalah." Mami terus memohon pada papi.
"Itu akibatnya kalau kamu terlalu memanjakan anak. Jadinya ya seperti itu. Pergaulan bebas, akhirnya hamil, kan?!" bentak papi lagi.
Papi kemudian masuk ke dalam kamar setelah membanting pintu dengan cukup keras.
"Siapa yang menghamilimu, Nak. Coba katakan sama mami siapa yang menghamilimu?" tanya mami sembari memelukku.
Aku hanya bisa menggeleng dalam pelukan mami. Perasaanku yang hancur lebur setelah mengetahui bahwa ada janin yang tumbuh di rahimku membuatku tak mampu berucap sepatah kata pun.
Ditambah sebelumnya aku juga mengalami rasa trauma dan ketakutan atas peristiwa yang telah kualami. Sekaligus kemarahan papi yang membabi buta seakan lupa bahwa aku ini putrinya. Menjadikan pikiranku kosong dan sangat syok. Aku tak dapat berpikir tentang hal apapun lagi.
Setelah kejadian itu, pernikahanku dengan Mas Wira digelar dengan sangat mewah. Dihadiri teman-teman bisnis dari kedua belah pihak.
Kehamilanku ditutupi dari publik. Mas Wira tahu mengenai hal ini. Tapi entah kenapa dia tetap mau menikahiku, meskipun dengan keterpaksaan. Sementara orang tuanya tidak mengetahui perihal masalah ini. Keduanya hanya tahu jika putranya menikahi seorang gadis. Gadis bukan perawan lebih tepatnya.
Aku mengusap sudut mata yang mulai berair. Setelah itu keluar kamar dan bergegas menuruni anak tangga. Kudapati mama mertuaku sedang duduk di ruang tengah sembari membaca majalah.