Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Berkalung Noda

Cinta Berkalung Noda

Reski

5.0
Komentar
1.9K
Penayangan
26
Bab

Tampan dan rupawan, tetapi miskin. Membuat Ikhsan harus menggadaikan cintanya. Cinta dari wanita pertama yang mengisi separuh hatinya. Ambisi ingin segera punya uang banyak, membuatnya melangkahkan kaki ke kota besar. Namun, ternyata langkahnya itu justru awal dari berakhirnya kisah cintanya. Ikhsan terpaksa menikahi anak bosnya, dan memutuskan hubungan sebelah pihak. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Apakah dia akan bertemu kembali dengan cintanya yang dulu? Simak kisah lanjutannya di sini.

Bab 1 Wanita Masa Lalu

****

"San, kamu berani tidak?"

"Apa, Yo?"

"Pacari Si Kusuma. Kira-kira, kamu bisa nggak mencicipi gadis itu?"

"Jangan bercanda ah, bukan apa-apa sih, aku jadi takut kualat kalau nodai cewek sealim dia."

"Justru di situlah letak tantangannya. Ya, kamu bisa gombali dia dulu 'kan?"

"Hmmm, aku pikir dulu deh."

****

Aku tertegun mengingat semua kebodohan di masa lalu. Sudah sepuluh tahun berlalu, kisah itu masih membekas di pikiran ini. Apalagi setelah aku tahu, gadis yang dulu aku nodai kini menjadi tetanggaku. Kami memang belum sempat bertemu, aku hanya tidak sengaja melihat Kusuma di pekarangan rumahnya.

"Bang, besok aku mau periksa di Bidan Kusuma ya." Tiba-tiba Andin membuatku kaget.

"Bi ... Bidan Kusuma?"

"Iya, Bang. Bidan yang baru pindah seminggu yang lalu. Tetangga sebelah loh, Bang." Andin kembali menjelaskan.

Deg! Jantung ini langsung berdetak kencang. Haruskah aku bertemu kembali dengan Kusuma? Setelah apa yang aku lakukan padanya dulu. Wajahku jadi menegang, untung saja Andin sudah pergi. Perasaan bersalah dan gejolak cinta di masa lalu, kembali membuntutiku. Ya, waktu itu aku mulai mencintai Kusuma, setelah dia mengutarakan perasaannya, tetapi aku memutuskan begitu saja.

Tuhan ... Haruskah masalah ini kembali Engkau hadirkan? Aku sudah berusaha melupakan Kusuma, dan memulai hidup baru dengan Andin. Jangan uji aku dengan cobaan seberat ini.

***

Tiga bulan berlalu, aku masih belum berani menemani Andin, setiap dia meminta agar aku ikut dengannya. Aku selalu beralasan, bahwa jarak ke tempat periksa cuma lima langkah, jadi dia bisa sendiri ke sana. Lagi pula, kandungan Andin masih trimester kedua. Andin mencoba mengerti, walaupun sering cemberut.

"Bang, aku nggak mau tahu ya," ujar Andin cemberut.

"Apa, Sayang?"

"Masuk trimester tiga nanti, Abang harus temani aku."

"Iya, mudah-mudahan bisa."

"Harusnya kamu luangkan waktu dong, Bang."

"Iya, Sayang ... Iya."

Aku hanya bisa meyakinkan Andin, walaupun aku tidak tahu apakah aku bisa menepatinya. Untuk saat ini, yang penting Andin tidak cemberut lagi. Aku tidak mau membuatnya stres, bisa membahayakan kandungannya.

Sejauh ini, aku masih belum melihat suami dari Kusuma. Secara diam-diam, aku kadang mencoba mengintip dari balik gorden. Namun, semua itu tidak membuahkan hasil.

Apakah Kusuma belum menikah? Kadang timbul pertanyaan itu dalam benak ini. Sudah sekian bulan lamanya, aku tidak melihat suami ataupun anak dari Kusuma.

-----

Sore ini, aku di rumah sendirian. Andin baru tadi pagi aku antarkan ke rumah ibunya. Wanita berkulit putih itu memang manja, baginya sekali sebulan wajib nginap di rumah ibunya. Ya, sudahlah! Aku tidak mau terlalu membatasi geraknya.

Jam masih menunjukkan pukul 16.00, aku melangkah ke teras melihat cuaca langit sore ini. Langit terlihat sedikit mendung, mungkin akan turun hujan, aku kembali masuk dan mengunci pintu. Baru beberapa saat aku merebahkan tubuh, ketukan pintu membuatku terpaksa kembali ke ruang tamu.

"Assalamu'alaikum." Suara di luar sana terdengar tak asing.

"Wa'alaikumussalam." Aku membuka pintu, lalu terkejut ketika melihat siapa yang datang.

"Kusuma?"

"Ka ... Kamu?" Kusuma melotot dan ternganga. Dia hendak pergi, tetapi langsung aku tahan. Kutangkap pergelangan tangannya.

"Lepas, Bang! Apa yang kamu lakukan?" Kusuma mencoba berontak, tetapi entah kenapa aku justru menariknya ke dalam rumah. Tidak lupa aku mengunci pintu.

"Apa yang kamu lakukan!" Bibir Kusuma bergetar, tangannya berusaha meraih kenop pintu. Namun, segera aku tahan.

"Buka pintunya, Bang. Aku mau keluar," ucap Kusuma mulai menangis.

Aku masih diam, menatap wajahnya yang dibalut kerudung. Wajahnya membuat aku lupa diri, dia bak bidadari yang turun dari langit.

"Buka pintunya, atau aku berteriak!" ancam Kusuma dengan mata yang mulai basah.

"Teriaklah!" tantangku.

"To ...."

Byuuuuur! Hujan turun lebat menimpa atap rumah. Kusuma terlihat semakin ketakutan, memang jarak di antara kami hanya beberapa sentimeter saja.

"Kamu semakin cantik," ucapku memuji Kusuma.

"Sadarlah, Bang. Ini tidak semestinya," ucapnya membalikkan tubuh.

"Apakah kamu sudah menikah?"

"Kenapa kamu menanyakan itu?"

"Apakah kamu sudah menikah?"

"Menurut kamu?" Kusuma membalikkan tubuhnya menghadapku.

"Wanita secantik kamu, pasti banyak yang datang melamar."

"Setelah apa yang kamu lakukan dulu?" Kusuma menatap tajam.

"Itu ... Bukankah kamu juga membiarkannya?"

Aku maju selangkah, mengikis jarak.

"Kamu mau apa, Bang?" Kusuma langsung siaga.

"Menurutmu? Jika kita ulangi kenangan itu, bagaimana?"

"Jangan macam-macam, Bang. Tolong, buka pintunya!"

"Baiklah, tetapi setelah aku menciummu."

Kusuma semakin melotot, aku menjadi semakin ingin mencium pipinya. Perlahan aku dekatkan wajah ini ke wajahnya. Tangan Kusuma langsung menahan tubuhku agar tidak menempel dengan tubuhnya. Kekuatannya tidak mengalahkan keinginan di hati ini. Kedua tanganku membatas tubuh Kusuma, agar tidak bisa kemana-mana. Kusuma memejamkan matanya, bahkan tidak ada sepatah kata pun, yang keluar dari bibirnya.

Apakah dia menginginkannya? Atau semuanya hanya bukti ketidakberdayaannya?

Aku masih menikmati momen menatap wajah cantiknya. Napas yang mulai memburu ini, terus berembus menerpa wajahnya.

-------

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Reski

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku