Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Rintik air langit mulai banyak kala langkah Nezza telah menyentuh teras sebuah warung kecil. Ia memutuskan berteduh demi menghindari curah gerimis yang mulai membuat kepalanya pening. Lekas tangannya membebaskan punggungnya dari berat ransel besar. Ransel itu ditaruhnya di lantai warung. Ia lantas duduk di bangku panjang dengan menyelonjorkan kaki yang mulai pegal. Sejenak melepas penat.
Sejak tadi pagi ia mengembara mencari, belum ditemukannya kos yang masih kosong. Ia kemudian membeli sebotol minuman ringan untuk melegakan tenggorokan yang mengering. Pula ia izin pada pemilik warung untuk menumpang istirahat sebentar.
“Dari mana, Mbak?” sapa bapak pemilik warung ramah.
Tampaknya bapak tersebut paham kalau Nezza tengah menyandang letih dan gudah. Nezza meneguk minuman isotoniknya sebelum menjawab pertanyaan.
“Saya mencari kos, Pak. Dari tadi sampai sekarang belum menemu yang kosong,” jawab Nezza pasrah. Di kedalaman lubuk hatinya, ia berharap bapak pemilik warung bisa memberi sedikit solusi.
“Sudah saya tebak,” cetus si bapak.
“Memang Mbak, setahun terakhir banyak mahasiswa dan karyawan yang cari tempat kos di wilayah sini. Selain strategis, wilayah sini terkenal dengan harga kulinernya yang beragam dan murah. Lebih-lebih lagi setelah ada dua perusahaan baru yang beroperasi di dekat sini."
“Bapak mungkin punya rekomendasi kos yang masih kosong?” tanya Nezza berharap.
Bapak pemilik warung yang ramah membuka pintu kecil di samping warungnya. Beliau kemudian melangkah keluar untuk duduk di samping Nezza.
“Memangnya tadi Mbak sudah cari ke mana saja?” tanya si bapak akrab usai duduk di samping Nezza.
“Sudah sejak tadi pagi saya muter-muter Jalan Awan, Mendung, dan Petir tetapi setiap kos yang saya datangi sudah penuh,” jawab Nezza berkeluh kesah. Entah, dalam waktu singkat, ia seolah memiliki kedekatan emosional dengan bapak di sampingnya. Mungkin karena bapak tersebut usianya tidak jauh berbeda dengan ayahnya.
Bapak pemilik warung termenung beberapa saat. Nezza mengalihkan pandang mata kepada rintik hujan terakhir. Sembari memberi kesempatan penuh kepada bapak di sampingnya untuk berpikir tanpa gangguan.
“Wah, berarti tadi Mbak sudah cari dari depan ya?” si bapak bergumam lirih. Memecah hening di antara keduanya.
Bersamaan dengan itu, seorang wanita setengah baya-yang kemungkinan besar istri dari si bapak-masuk ke warung lewat pintu belakang dan mencari-cari suatu barang di rak-rak warung.
“Bu, kira-kira kos yang masih kosong di mana ya?” tanya si bapak kepada wanita tersebut.
Wanita yang dipanggil ibu itu menghentikan aktivitas. Sekilas ekor matanya menatap Nezza.
“Setahu Ibu sih sudah tidak ada, Pak. Soalnya kemarin juga ada anak yang cari tetapi sudah tidak dapat. Entah karena terdesak akhirnya dia terpaksa ke tempat Pak Ruslan,” jawab ibu tersebut.
Si ibu dan si bapak sempat tertangkap oleh mata Nezza saling berpandangan penuh arti. Seakan-akan mereka tengah berbincang dengan kode atau isyarat rahasia. Nezza bisa terpikir sebagaimana itu karena ayah dan ibunya pun sering melakukan hal yang sama.
“Kalau Mbak mantap kos di wilayah sini, kos Pak Ruslan bisa jadi pilihan. Saya yakin, di sana masih ada kamar kosong,” ujar si bapak dengan wajah semringah. Seolah-olah beliau merasa ikut senang dapat membantu. Wajah Nezza yang tadinya murung langsung cerah.