Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
ASMARA DI BALIK KEPALSUAN

ASMARA DI BALIK KEPALSUAN

Avrilia Nadhifa

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Seorang wanita menjalani hubungan rahasia dengan pria yang ia cintai, meskipun ia tahu pria itu sudah menikah. Ketika hubungan mereka akhirnya terungkap, semuanya berubah menjadi kehancuran dan penyesalan.

Bab 1 Awal yang Terlarang

Gedung megah tempat acara networking malam itu dipenuhi suara gelas berdenting dan obrolan formal. Anna, seorang wanita muda yang baru memulai kariernya di dunia periklanan, merasa sedikit gugup di tengah-tengah kerumunan para profesional yang terlihat jauh lebih berpengalaman darinya. Ia memegang gelas sampanye dengan gugup, mengedarkan pandangan mencari tempat yang nyaman untuk menyendiri.

"Sepertinya acara seperti ini bukan tempat favorit Anda," sebuah suara bariton terdengar di belakangnya. Anna berbalik dan mendapati seorang pria berusia pertengahan 30-an berdiri di sana dengan senyum ramah. Jas mahal yang ia kenakan, ditambah dengan auranya yang percaya diri, membuat pria itu tampak berbeda dari kebanyakan orang di ruangan itu.

Anna tersenyum kecil. "Anda benar. Saya tidak terlalu pandai berbasa-basi di acara seperti ini."

Pria itu tertawa pelan. "Kalau begitu, kita sama. Saya lebih suka bekerja daripada berdiri di sini berbincang tentang hal-hal yang sebenarnya tidak penting."

Anna merasa lebih rileks. "Anna. Saya baru bergabung di perusahaan periklanan kecil di Jakarta."

Pria itu mengulurkan tangan. "Arga. Saya bekerja di sektor properti. Senang bertemu dengan Anda."

Ketika Anna menyambut jabat tangannya, ia merasakan kehangatan yang aneh dari pria itu. Perbincangan mereka mengalir dengan mudah. Mereka berbicara tentang pekerjaan, kehidupan di Jakarta, dan sedikit tentang minat pribadi. Arga tampak seperti pria yang sederhana meskipun statusnya jelas berada di atas rata-rata.

Namun, di tengah percakapan, mata Anna menangkap sesuatu di tangan kiri Arga. Sebuah cincin emas berkilau.

"Jadi, Anda sudah menikah?" tanya Anna dengan nada netral, meski ada rasa gugup yang merayap.

Arga tersenyum tipis dan mengangguk. "Ya, sudah cukup lama. Tapi terkadang, pernikahan itu seperti sebuah bisnis juga-tidak selalu berjalan sesuai harapan."

Anna terdiam. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan arah percakapan ini, tetapi pesona Arga terlalu sulit untuk diabaikan.

Arga menatapnya, kali ini dengan intensitas yang lebih dalam. "Anna, saya tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi... saya merasa kita punya koneksi yang unik. Anda merasakannya juga, bukan?"

Anna tersentak mendengar kata-kata itu. "Arga, Anda menikah. Saya tidak ingin terjebak dalam situasi yang rumit."

"Tidak ada yang perlu Anda khawatirkan. Saya hanya ingin mengenal Anda lebih baik, tanpa tekanan apa pun," jawab Arga dengan nada meyakinkan.

Anna mencoba tersenyum untuk mengakhiri pembicaraan, tetapi perasaannya mulai bercampur aduk. Ia tahu ini berbahaya, tetapi pesona Arga dan kata-katanya yang terasa tulus mulai menggerogoti logikanya.

Minggu berikutnya

Anna menerima pesan di ponselnya:

"Anna, saya harap Anda punya waktu untuk kopi sore ini. Tidak ada maksud lain, hanya ingin berbincang seperti teman. - Arga"

Anna menatap pesan itu cukup lama sebelum akhirnya membalas singkat:

"Baiklah, jam 3?"

Di kafe kecil di sudut Jakarta

Anna datang lebih awal, merasa gelisah. Beberapa menit kemudian, Arga tiba dengan senyum menawan seperti biasa.

"Terima kasih sudah mau datang," ucap Arga sambil duduk.

Anna memandangnya, mencoba menjaga nada suaranya tetap netral. "Jadi, apa sebenarnya yang Anda inginkan dari saya?"

Arga menghela napas panjang. "Saya tidak akan berbohong, Anna. Hidup saya tidak seindah yang terlihat. Pernikahan saya sudah lama kehilangan arah. Bertemu dengan Anda membuat saya merasa hidup kembali."

"Dan Anda pikir itu alasan yang cukup untuk memulai sesuatu yang salah?" Anna memotong, mencoba mempertahankan akalnya.

"Tidak. Tapi saya hanya ingin kejujuran. Tidak ada tekanan, Anna. Kalau Anda merasa ini salah, saya tidak akan memaksa," jawab Arga dengan nada lembut.

Anna terdiam. Hatinya bergemuruh. Ia tahu harus pergi, tetapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang ingin tetap tinggal.

Anna mengaduk cappuccino-nya perlahan, mencoba menghindari tatapan Arga yang terus terarah padanya. Suasana di kafe yang semula terasa nyaman mendadak penuh dengan ketegangan yang tak terucap. Ia tahu bahwa duduk di sini, di depan pria yang sudah menikah, adalah sebuah langkah menuju jalan yang salah. Namun, pesona dan kata-kata Arga membuatnya sulit melangkah pergi.

"Kenapa Anda tidak mencoba memperbaiki pernikahan Anda daripada... begini?" tanya Anna akhirnya, memecah keheningan. Nada suaranya tajam, meski ia tahu hatinya tidak sekuat itu.

Arga menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Sudah saya coba, Anna. Percayalah, saya sudah melakukan segalanya. Tapi terkadang, ketika sesuatu sudah retak, tidak peduli seberapa keras Anda mencoba, retakan itu tetap ada."

Anna menghela napas panjang, merasa tersesat di tengah perdebatan moral dalam dirinya. "Tapi, saya tidak ingin menjadi alasan retakan itu semakin lebar, Arga. Saya tidak ingin terlibat dalam... situasi ini."

"Tidak ada yang memaksa Anda," jawab Arga dengan suara tenang, tetapi ada nada ketulusan yang membuat Anna semakin ragu. "Saya hanya ingin Anda tahu bahwa sejak bertemu dengan Anda, saya merasa hidup saya berubah. Saya tidak meminta Anda untuk memberi saya apa pun sekarang. Hanya... izinkan saya berada di sekitar Anda."

Anna tertawa kecil, pahit. "Itu terdengar seperti permintaan sederhana, tapi kita berdua tahu ini lebih rumit dari itu."

Arga tersenyum tipis. "Mungkin. Tapi terkadang, hidup memang rumit."

Setelah pertemuan itu, Anna mencoba melanjutkan hidupnya seperti biasa. Namun, pesan-pesan dari Arga terus datang. Sebagian besar hanya berupa sapaan ringan atau pertanyaan tentang kesehariannya, tetapi setiap kali Anna melihat namanya muncul di layar ponselnya, hatinya selalu bergetar.

Suatu malam, saat Anna duduk di meja makan kecil di apartemennya, ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan dari Arga.

"Saya tahu ini egois, tapi saya tidak bisa berhenti memikirkan Anda. Bisakah kita bertemu lagi? Hanya sebentar."

Anna menatap layar ponselnya dengan ragu. Ia tahu ia seharusnya tidak membalas, tetapi jari-jarinya bergerak seolah memiliki pikiran sendiri.

"Kapan?"

Balasannya datang dengan cepat.

"Besok malam. Ada restoran kecil di sudut Senopati. Saya akan menunggu Anda di sana."

Keesokan harinya

Anna berdiri di depan cermin, mengenakan gaun hitam sederhana yang ia pilih dengan hati-hati. Perasaannya campur aduk-antara kegembiraan dan rasa bersalah yang terus menghantuinya.

Ketika ia tiba di restoran yang dimaksud, Arga sudah menunggu di salah satu meja yang agak tersembunyi. Ia berdiri ketika melihat Anna masuk, memberikan senyum hangat yang membuat hati Anna kembali bergemuruh.

"Terima kasih sudah datang," ucap Arga ketika Anna duduk.

"Saya tidak yakin ini keputusan yang benar," jawab Anna jujur.

"Tidak ada yang benar atau salah dalam hal perasaan," balas Arga dengan tenang.

Obrolan mereka berlangsung dengan lebih santai malam itu. Mereka berbagi cerita tentang masa kecil, impian yang belum tercapai, dan hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa. Meski rasa bersalah terus mengintip di sudut pikirannya, Anna tidak bisa menyangkal betapa nyamannya ia berada di sekitar Arga.

Namun, di tengah percakapan, Arga tiba-tiba terdiam. Ia menatap Anna dengan intensitas yang membuat gadis itu merasa gelisah.

"Ada apa?" tanya Anna, mencoba tersenyum untuk mengusir kecanggungan.

Arga menghela napas panjang. "Saya tahu ini tidak adil bagi Anda. Tapi saya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengatakan ini... Saya mencintai Anda, Anna."

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar Anna. Ia menatap Arga dengan mata terbelalak, tidak tahu harus merespons apa.

"Arga..." suaranya gemetar. "Ini salah. Anda tahu ini salah."

"Ya, saya tahu. Tapi saya tidak bisa mengabaikan apa yang saya rasakan. Anda membuat saya merasa hidup kembali, Anna. Sesuatu yang sudah lama hilang dari hidup saya."

Anna merasakan air matanya menggenang. Ia tidak tahu apakah itu karena rasa haru, rasa bersalah, atau kombinasi keduanya.

"Arga, Anda harus kembali ke istri Anda," bisiknya. "Saya tidak bisa... saya tidak bisa seperti ini."

Namun, di dalam hatinya, ia tahu ia tidak yakin apakah ia cukup kuat untuk benar-benar menjauh.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Avrilia Nadhifa

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku