Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Di sebuah apartemen yang nyaman di pinggiran kota, Rina duduk di sofa, memandangi layar ponselnya yang sepi. Suara detakan jam dinding menambah kesunyian malam itu. Dia melirik ke arah jam-sudah hampir tengah malam. Dika, suaminya, belum juga pulang. Rina mengerutkan dahi, mencoba mengingat kapan terakhir kali mereka makan malam bersama. Rasanya sudah terlalu lama.
"Kenapa ya dia belum pulang?" gumam Rina, suaranya nyaris tak terdengar. Dia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat.
Dika, kamu di mana?
Beberapa detik berlalu, dan dia melihat tanda centang biru muncul di layar. Pesannya sudah dibaca, tetapi tak ada balasan. Rina merasa gelisah. Dalam hatinya, benih kecurigaan mulai tumbuh. "Dia pasti sedang bekerja lembur," bisiknya mencoba meyakinkan diri sendiri, meskipun hatinya tidak sepenuhnya yakin.
Tepat saat itu, pintu apartemen terbuka, dan Dika melangkah masuk. Dia terlihat lelah, dengan jas yang sedikit kusut dan rambut berantakan.
"Maaf, sayang. Kerjaan menumpuk," katanya sambil menghapus keringat dari dahi.
Rina berusaha tersenyum meski hatinya masih dipenuhi pertanyaan. "Kamu pulang lebih larut dari biasanya. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Dika menggelengkan kepala, terlihat tertekan. "Hanya tugas tambahan. Aku janji, ini bukan kebiasaan."
Rina menatapnya dengan skeptis. "Tapi ini sudah terjadi berulang kali, Dika. Aku mulai merasa... ada yang tidak beres."
Dika menahan napas, tampak bingung. "Rina, kamu tahu aku mencintaimu. Kenapa kamu harus berpikir negatif seperti itu?"
Rina berdiri, perasaannya campur aduk. "Aku hanya ingin kejujuran. Jika ada sesuatu yang kau sembunyikan, lebih baik katakan sekarang."
Dika mendekat, menatap matanya. "Aku tidak menyembunyikan apa-apa. Kenapa kamu tidak percaya padaku?"
"Karena semua ini tidak wajar! Sejak kapan kamu mulai pulang larut malam seperti ini? Apakah ada orang lain?" Suara Rina mulai meninggi, emosinya tak tertahan.
Dika menunduk, terlihat bingung dan frustrasi. "Rina, cukup! Jangan menuduhku tanpa bukti."
Rina merasa hatinya hancur, tetapi dia berusaha bertahan. "Aku tidak mau seperti ini, Dika. Aku butuh kejelasan. Jika kamu terus bersembunyi, aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan."
Suasana di antara mereka terasa tegang. Dika menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. "Baiklah, aku akan lebih terbuka. Tapi, aku juga butuh waktu. Jangan berasumsi tanpa dasar."
Rina mengangguk pelan, merasa hampa. "Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu. Sebelum semua ini..."
Dika meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Kita akan cari jalan keluarnya. Aku berjanji."
Namun, dalam hati Rina, keraguan masih membayangi. Dia tidak tahu apakah janji itu bisa mengembalikan kepercayaan yang mulai pudar di antara mereka.
Malam itu, Rina berbaring di ranjang, berpikir tentang kata-kata Dika. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa suaminya masih mencintainya, tetapi bayang-bayang kecurigaan terus mengintai.
Di luar jendela, bintang-bintang bersinar terang, seolah-olah mereka menantikan jawaban dari dua hati yang sedang berjuang.
Rina terbangun di tengah malam, terjaga oleh suara Dika yang berbicara pelan di telepon. Dia bisa mendengar desah napasnya yang dalam dan nada suara yang berbeda dari biasanya. Rina berusaha untuk tetap tenang, tetapi rasa ingin tahunya tidak bisa ditahan.
Rina memalingkan tubuhnya, berusaha mendengar lebih jelas. Dika berada di ruang tamu, berbicara dengan seseorang yang suaranya tak dapat dikenali. Ketika Rina mencoba memejamkan mata, pikirannya terus melayang. "Siapa yang dia ajak bicara? Kenapa dia harus berbicara di luar kamar?"
Rina mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan, menatap ponsel Dika yang tergeletak di atas meja. Tanpa berpikir panjang, dia bangkit dari tempat tidur dan merangkak perlahan menuju ruang tamu.
Setiba di ambang pintu, Rina melihat Dika sedang duduk di sofa, matanya tertuju pada layar ponsel. Rina merasakan keraguan dan kecurigaan yang semakin menggelayuti pikirannya.
"Maaf, aku akan segera selesai," Dika berbisik, menyadari kehadiran Rina.
Dengan keberanian yang tersisa, Rina melangkah masuk. "Siapa yang kamu ajak bicara?" tanyanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.
Dika tertegun sejenak, sebelum menatap Rina dengan tatapan serius. "Hanya teman kerja. Kami membahas proyek yang mendesak."
"Teman kerja?" Rina mengulangi, merasa tidak puas. "Kenapa kamu tidak bisa bicara di dekatku? Apa yang kamu sembunyikan?"
Dika terlihat frustrasi, matanya menatap tajam. "Rina, aku tidak sedang melakukan apa-apa yang salah! Mengapa kamu terus memaksaku untuk memberi penjelasan?"
Rina menggelengkan kepala, merasa hatinya berdesir. "Karena aku merasa terasing, Dika. Kita seharusnya saling berbagi, tetapi aku merasa kamu menjauh dariku."
Dika menghela napas, ekspresinya melunak. "Aku tidak bermaksud menjauhkan diri. Ini hanya pekerjaan, sayang. Aku berjanji, aku akan lebih banyak di rumah."
"Janji? Kenapa rasanya semua itu hanya kata-kata?" Rina menantang, berusaha menahan air matanya.
Dika bangkit dari sofa, mendekat, dan meraih tangan Rina. "Aku tidak ingin kita berdebat lagi. Mari kita bicarakan ini dengan baik. Kita perlu menemukan solusi bersama."
Rina merasa hatinya bergetar saat melihat kerinduan dalam mata Dika. "Tapi bagaimana jika semua ini hanya permainan? Bagaimana jika kamu sudah jatuh cinta pada orang lain?"
Dika terdiam sejenak, seolah mengumpulkan kata-kata. "Rina, kamu adalah segalanya bagiku. Tidak ada orang lain. Jika aku benar-benar mencintaimu, aku tidak akan membiarkan kecurigaan ini menghancurkan kita."
Rina menatap Dika, mencoba membaca kejujuran di matanya. Dalam hatinya, dia berharap bisa percaya. "Tapi aku merasa hancur. Semua ini membuatku bingung."