Milfa Hermansyah dan Rendi Kagilran sudah bersahabat lama sejak bersekolah di SMA Yogyakarta dan keduanya memiliki panggilan spesial, yaitu Fafa dan Didi. Mereka berpisah sejak kelulusan SMA karena Rendi dan ibunya yang bernama Siska, terpaksa keluar kota (Jakarta) karena permintaan dari kakak kandung Siska untuk sebuah kepentingan. Setelah dua tahun berpisah, Rendi dan ibunya kembali ke kota asal (Yogyakarta) hingga pertemuan Rendi dan Milfa terjadi di sebuah perguruan tinggi tempat Milfa kuliah selama dua tahun ini. Keduanya menginjak semester lima dan mengambil jurusan yang sama, hanya berbeda kelas. Ada sebuah masalah yang terjadi saat pertemuan pertama mereka di kampus. Masalah itulah yang membawa Milfa bertemu dengan seorang dosen single, Amar Putra Gilran. Amar menaruh hati kepada Milfa dan berusaha mendekatinya. Amar sangat terganggu dengan keberadaan Rendi yang hampir setiap waktu bersama Milfa. Ternyata diam-diam Rendi juga menyukai Milfa. Akan tetapi, Milfa justru membalas cinta Amar. Milfa tidak tega melihat Rendi sendirian, sementara dirinya sedang bahagia bersama Amar. Hingga muncul rencana untuk mendekatkan Rendi dengan sahabat sekelasnya, Keiza. Namun, ketika cinta mereka berlanjut, sebuah rahasia keluarga terkuak satu per satu hingga menyebabkan perubahan dalam hidup dan cinta mereka. Sebenarnya masalah keluarga apa yang menjadi rahasia selama ini? Lalu, bagaimana kelanjutan kisah cinta mereka?
"Aduh!" pekik seorang perempuan yang berusaha menjaga keseimbangan agar tidak terjerembap karena tersenggol dengan mahasiswa lain yang sedang antre di meja kasir.
Secepat kilat sebuah tangan kekar menahan lengan kanannya. Perempuan berambut panjang sepunggung pun mengendalikan tubuhnya agar tetap pada posisi berdiri.
Gadis manis itu menengadah menyidik pemilik tangan kekar itu. Satu, dua, tiga detik pandangan mereka saling bersirobok. Ada desiran hebat menyerang jantung mereka seolah menjadi jawaban atas masa lalu keduanya.
Mahasiswi itu hendak membuka mulut menyebut nama lelaki dihadapannya sambil menunjuk ke arah mahasiswa yang tampan itu. Begitu juga dengan sang mahasiswa yang lebih tinggi darinya pun melakukan hal yang sama.
"Fafa? Kamu Fafa, kan?" ucap lelaki itu mendahului dan memastikan.
"Hah, Didi!" balasnya dengan sedikit terkejut sembari mengulas senyum.
Ada kebahagiaan yang menyelinap dalam kalbu keduanya. Terakhir mereka bertemu adalah saat sekolah di masa abu-abu putih. Setelah kelulusan masa itu, Didi---yang bernama Rendi Kagilran---dan ibunya pindah ke luar kota. Sejak saat itu mereka sudah tidak pernah bersua.
Milfa menarik lengan teman lamanya agar sedikit menjauh dari kerumunan mahasiswa yang silih berganti sibuk membayar pesanan di meja kasir. Ada pula yang sedang mengantarkan kertas pemesanan makanan.
"Sakit!" Mahasiswi semester lima yang bernama Milfa Hermansyah itu menepis tangan Rendi dari pipi kirinya karena cubitan mesra berhasil mendarat di sana.
Rendi malah tergelak melihat reaksi Milfa. Milfa spontan merenggut hingga tawa pria bertubuh proposional itu mereda.
"Udah, jangan manyun, gitu! Jelek tau!"
"Hmm, kebiasaan jelek kamu itu ternyata belum berubah!" ketus Milfa.
"Betul!" sahut Rendi sambil mengacungkan kedua jempolnya. "Dan ... gak akan berubah selama masih bersama kamu, Fa," batinnya.
Milfa mengajak Rendi ke sebuah meja kosong di pojok kantin. "Duduk, situ!" titah perempuan berparas ayu kepada Rendi. "Tunggu sebentar, ya."
Rendi menuruti perintah itu. Ia pun duduk dengan tenang sambil terus memperhatikan langkah Milfa menuju kerumunan tadi untuk memesan makanan. Selang beberapa menit, gadis itu pun kembali dan duduk dihadapannya.
"Sekarang, kamu kudu jelasin ke aku, kenapa kamu bisa ada di sini? Bukannya dulu pamit kuliah di Jakarta?" tanya Milfa dengan nada menghakimi.
Rendi yang ditanya malah cengar-cengir. Namun, netranya tidak luput dari wajah cantik dihadapannya. Terpana dengan wajah beraura lembut itu.
"Emh, mulai, deh, reseknya!" celetuk Milfa sambil memalingkan muka ke arah lain menghindari tatapan Rendi yang membuatnya sedikit salah tingkah.
"Iya, abisnya kamu nanyanya mirip polisi yang lagi ngintrogasi penjahat aja!" Lelaki itu terkekeh. "Oke, aku jelasin. Dengerin baik-baik, ya, anak manis," ucapnya dengan nada yang dibuat-buat seperti sedang berbicara dengan anak umur tiga tahun.
Bibir Milfa bergerak datar ke samping merespon candaan Rendi. "Siap, Kakak." Ia pun sengaja berlagak seolah seperti anak umur tiga tahun.
"Jadi, aku memang beneran ke Jakarta. Cuma---." Kalimatnya terjeda karena pelayan kantin datang mengantarkan pesanan ke meja mereka. Milfa mengucapkan terima kasih dan pelayan itu undur diri.
Rendi melihat hidangan dihadapannya sambil mengulas senyum. Ada sepiring tahu bakso dan segelas es lemon tea untuknya. Sementara, Milfa memesan segelas es jeruk.
"Masih ingat aja makanan dan minuman kesukaanku yang biasa aku pesan di kantin sekolah dulu, Fa."
Milfa terkesiap dengan ucapan Rendi hingga pipinya bersemu merah jambu. Milfa tidak menanggapi dan segera mengalihkan pembicaraan agar Rendi meneruskan kisahnya.
Rendi menjelaskan dengan detail. Milfa mendengarkan dengan seksama. Mereka selingi dengan sesekali menyeruput minuman dan mencomot tahu bakso.
Dua tahun Rendi dan ibunya sempat tinggal di Jakarta karena permintaan dari kakak kandung sang ibu. Saat itu istri dari kakak kandung sang ibu meninggal dunia sehingga mereka diminta untuk membantu merawat anak bungsu dari kakaknya yang masih berumur empat tahun.
Setelah anak bungsu itu dirasa dapat mandiri karena sudah berumur enam tahun, mereka memutuskan untuk kembali ke kota asal. Rendi yang sudah dua tahun kuliah di Jakarta juga terpaksa mengurus perpindahan kuliah. Ia bisa saja tetap tinggal dan kuliah di Jakarta, tetapi ia tidak ingin jauh dari ibunya.
"Oh, pantesan aja kita satu kampus, tapi selama dua tahun ini, baru sekarang aku lihat kamu." Milfa menyimpulkan.
"Iya, jadi aku mahasiswa baru di sini. Makanya aku butuh pendampingan soalnya masih asing di kampus ini. Kamu harus mau dampingi aku!"
"Ogah, dampingi kamu! Mahasiswa baru, tapi udah tua!" Milfa tertawa renyah disusul Rendi.
Mereka menghabiskan makanan dan minuman lalu keluar dari kantin setelah membayar pesanan. Berjalan menyusuri jalan setapak menuju bangku kosong di taman yang berada di tengah gedung perguruan tinggi itu.
Sepanjang menyusuri jalan setapak itu, mereka saling bertukar cerita, sesekali terdengar suara tawa mereka. Melepaskan kerinduan selama dua tahun tidak berjumpa.
Meskipun terkadang mereka sesekali masih saling berkomunikasi lewat aplikasi hijau, baik chating maupun video call atau saling menanggapi story yang di-posting.
Namun, tetap berbeda rasanya berkomunikasi secara virtual dengan berjumpa raga secara langsung. Lagipula mereka jarang berkomunikasi akhir-akhir ini karena kesibukan masing-masing. Rendi pun urung niat untuk memberitahu Milfa rencana kepulangannya ke kota Yogyakarta. Kota yang terkenal dengan makanan khasnya, yaitu gudeg.
"Kan, biar sekalian kasih kamu surprise." Begitu jawaban Rendi ketika ditanya alasan mengapa tidak memberi kabar sebelumnya pada Milfa.
"Ah, berati kamu udah ngintai aku seminggu selama kuliah di sini, ya, Di?" tuduh Milfa sambil meletakkan bokong di bangku taman berhadapan dengan pria berkumis tipis.
"Eh, ge-er banget! Aku tuh masih sibuk menyesuaikan diri dan ngurus ini-itu di kampus baru. Aku malah gak nyangka bisa ketemu kamu secepat ini."
Mereka memang mengambil kuliah di jurusan yang sama, hanya berbeda kelas karena kelas Milfa sudah full sehingga tidak mungkin bisa menampung mahasiswa pindahan.
"Katanya niat kasih surprise? Kenapa jadi kamu yang berasa dapat surprise, Di?"
"Iya, juga, ya? Tau, ah!"
Mereka terkekeh dan menikmati kebersamaan yang lama telah pergi. Merasa seakan tidak ada manusia lain di sekitar mereka. Sesekali terdiam memperhatikan ikan-ikan yang berenang dengan lincah di kolam yang luas tepat di samping mereka.
"Fafa, kamu lagi gak ada jam kuliah sekarang?" Rendi tersadar dari keasyikannya bersama Milfa.
"Ada, sih, tapi gak apalah bolos sekali ini."
"Gak nyangka, Milfa yang dulu terkenal siswi paling rajin di sekolah bisa bolos kuliah juga," goda Rendi.
"Ih, kamu!" Satu tinju melayang di lengan kiri Rendi yang mengenakan kemeja lengan pendek merah marun dengan motif kotak-kotak.
"Aauuww!" pekik Rendi sambil mengusap lengannya yang terkena serangan dari gadis yang berlesung di kedua pipinya membuat siapa saja gemas jika melihatnya.
"Aku jarang bolos, makanya gak apalah sesekali. Lagi pula baru awal pertemuan paling cuma perkenalan sama dosen. Kamu sendiri, ada jadwal kuliah gak?" Milfa balik bertanya.
"Ada, sih, tapi ... ya, udahlah di sini juga gak apa, sama kamu aja lebih nyaman," jawab Rendi cuek.
"Pinter banget jawabnya!" Kesekian kalinya mereka tergelak bersama.
Satu tepukan mendarat di bahu Milfa. Spontan menoleh ke arah seseorang tersebut. Gadis berambut pirang itu tersenyum.
"Eh, Keiza! Duduk, sini!" Milfa sedikit bergeser memberi ruang agar gadis itu duduk di sebelahnya.
"Sorry, aku ganggu," ucapnya sambil meletakkan bokong di sebelah Milfa.
"Gak ganggulah, Za. Kita cuma lagi ngobrol santai aja. Oh, iya kenalin ini Rendi, teman SMA dulu."
Perempuan yang badannya sedikit lebih berisi daripada Milfa itu mengulurkan tangan. "Keiza, temen sekelasnya Milfa."
Rendi mengulurkan tangan menjabat sambil mengangguk dan tersenyum simpul.
"Aku nyariin kamu. Aku udah chat sampai aku telepon juga gak di angkat ternyata asyik di sini." Manik mata Keiza menatap Milfa kemudian berganti ke arah Rendi.
"Apa, iya?" Milfa segera mengeluarkan ponsel dari saku ransel. Beberapa saat jemari Milfa sibuk di layar ponsel. "Oh, iya, maaf, Za. Hp aku silent ternyata, soalnya tadi niat masuk kelas, tapi mau beli minuman botol dulu di kantin. Gak taunya malah ketemu Rendi di sana," tutur Milfa sambil cengengesan.
"Oh, jadi mau bilang gara-gara aku kalau kamu lupa ubah nada dering telepon dan terpaksa bolos kelas?" celetuk Rendi dengan nada sinis.