Seorang pria yang percaya bahwa hubungannya tak tergoyahkan mulai merasa ada yang salah ketika kekasihnya menjadi dingin. Saat ia mencoba menyelamatkan hubungan mereka, ia mengetahui bahwa kekasihnya telah berpaling pada pria lain.
Pagi itu, seperti biasa, Ardi duduk di meja makan dengan secangkir kopi hangat di tangannya. Sementara itu, Maya, kekasihnya, sibuk menyiapkan sarapan. Namun, ada yang berbeda. Suasana pagi yang dulu penuh canda tawa dan obrolan ringan kini terasa hening. Maya tak banyak bicara. Hanya sesekali ia mengangguk atau memberikan senyum kecil saat Ardi mencoba membuka percakapan.
"Sudah seminggu, ya?" Ardi memecah keheningan.
Maya mengangkat alis, "Apa?"
"Sudah seminggu kita nggak bicarakan apa-apa yang penting. Kalau dulu, setiap pagi kita selalu ngobrol tentang kerjaan, rencana liburan, atau sekadar cerita tentang hal-hal kecil."
Maya hanya mengangguk pelan, lalu kembali fokus pada roti bakar yang sedang ia siapkan. Ardi menatapnya dengan penuh perhatian, mencoba membaca ekspresi Maya, tapi semuanya terasa seperti dinding yang tebal menghalangi antara mereka.
"Apa ada yang salah, May? Kamu nggak seperti biasanya," tanya Ardi, sedikit ragu.
Maya tersenyum tipis, meskipun senyum itu tampak dipaksakan. "Tidak, aku baik-baik saja. Mungkin cuma lelah."
Ardi menatapnya lebih lama. Ia bisa merasakan ada yang tak beres, tapi ia tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Sudah beberapa hari belakangan ini, Maya menjadi semakin pendiam, jarang tersenyum, dan seolah-olah ada jarak antara mereka yang sebelumnya tak pernah ada.
"Kalau kamu merasa lelah, mungkin kita butuh waktu untuk ngobrol lebih banyak. Aku nggak mau kamu merasa tertekan," ujar Ardi, mencoba lebih lembut.
Maya menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. "Aku hanya butuh waktu untuk diri sendiri, Ardi. Semua baik-baik saja."
Namun, jawabannya tidak meyakinkan bagi Ardi. Mungkin ini hanya fase sementara, pikirnya. Mungkin Maya hanya butuh ruang untuk menenangkan diri. Namun, di dalam hati Ardi, kecemasan mulai merayap. Semua kebiasaan mereka yang dulu terasa begitu alami, kini mulai terasa asing.
Setelah sarapan selesai, mereka berdua bersiap untuk berangkat ke kantor. Maya lebih cepat selesai dan berdiri di dekat pintu, menunggu Ardi yang masih sibuk merapikan tasnya.
"May, mau ngobrol sebentar nanti malam? Aku rasa kita perlu bicara tentang apa yang terjadi," Ardi mencoba memulai percakapan lagi.
Maya tersenyum, namun kali ini senyumnya tak sebesar biasanya. "Mungkin nanti, Ardi. Aku ada janji malam ini."
Ardi terkejut, "Janji? Sama siapa?"
Maya berhenti sejenak, menatap Ardi dengan mata yang agak menghindar. "Teman lama. Kamu nggak kenal."
Sebelum Ardi bisa bertanya lebih lanjut, Maya sudah keluar dari pintu dengan langkah cepat. Ardi berdiri di sana, merasa ada sesuatu yang tak beres, namun ia mencoba untuk meyakinkan diri. Ini pasti hanya masalah kecil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun, saat Maya berlalu, perasaan cemas itu semakin menguat. Ardi tahu, sepertinya ada sesuatu yang mulai berubah, meskipun Maya belum mengatakannya secara langsung. Dulu mereka selalu berbagi segala hal, tapi kini seolah-olah ada dinding yang dibangun di antara mereka. Dinding yang semakin tinggi setiap harinya.
Ardi duduk di kursinya di kantor, matanya menatap layar komputer tanpa fokus. Pekerjaan yang biasanya membuatnya sibuk kini terasa sepi. Pikiran tentang Maya terus menghantui. Setiap kali ia mencoba menenangkan dirinya, bayangan wajah Maya yang dingin dan terputus-putus muncul. Ada apa dengan Maya?
Dua kali ia mengirim pesan, dan dua kali juga pesan itu tidak dibalas. Ardi mulai merasa cemas, meskipun ia mencoba mengabaikan perasaan itu. Maya pasti sibuk, pikirnya, Mungkin ini hanya sementara.
Pukul lima sore, Ardi keluar dari ruang kerjanya dan berjalan menuju mobil. Sudah waktunya pulang, tapi hatinya tidak tenang. Seiring perjalanan pulang, pikirannya berputar-putar tentang apa yang terjadi dengan hubungan mereka. Apakah ia sudah melakukan kesalahan? Apakah ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga mengabaikan Maya?
Sesampainya di rumah, Ardi membuka pintu dengan pelan, berharap untuk menemukan Maya di ruang tamu, seperti biasa. Namun, yang ia temui hanya keheningan. Ruang tamu terlihat kosong. Ia mendekati kamar tidur, berharap melihat Maya sedang beristirahat, tetapi kamarnya juga kosong. Ke mana dia?
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ardi melihat layar ponselnya dan melihat nama Maya muncul sebagai pengirim pesan. Ia membuka pesan itu dengan harapan mendapatkan penjelasan. Namun, hanya ada satu kalimat pendek.
"Maaf, aku nggak bisa pulang malam ini. Ada urusan yang harus diselesaikan."
Ardi menatap pesan itu lama, seolah mencoba mencerna kata-kata yang hanya memperburuk perasaannya. Sebuah perasaan aneh merayap naik, seperti ada sesuatu yang ia lewatkan. Kenapa Maya tidak memberitahunya lebih awal? Kenapa tidak ada penjelasan lebih lanjut? Mungkinkah ini tanda bahwa sesuatu telah berubah?
Tanpa berpikir panjang, Ardi meraih jaketnya dan memutuskan untuk pergi ke tempat yang biasa mereka kunjungi bersama untuk mendapatkan ketenangan. Mungkin dengan begitu, ia bisa berpikir lebih jernih.
Saat ia sampai di kafe kecil yang mereka sukai, Ardi melihat pasangan-pasangan lain menikmati waktu mereka, tertawa dan berbicara. Namun, semua itu terasa semakin jauh darinya. Apakah ini yang mereka rasakan? Pasangan yang bahagia?
Ardi memesan kopi, duduk di meja pojok dekat jendela, dan menatap langit senja yang mulai gelap. Ia memikirkan kembali setiap momen yang pernah mereka habiskan bersama. Mereka tidak pernah membiarkan satu hari berlalu tanpa berbicara, tanpa berbagi cerita. Tetapi kini, semuanya terasa berbeda. Semua momen indah itu tampak jauh dan mulai kabur.
Pikirannya terganggu ketika ponselnya bergetar lagi. Kali ini, bukan dari Maya, melainkan dari temannya, Dimas.
"Bro, ada yang mau gue omongin. Bisa ketemu?"
Ardi menatap pesan itu sebentar sebelum membalas.
"Iya, di mana?"
Beberapa menit kemudian, Dimas membalas.
"Di kafe, jam 8 malam ini. Gue rasa lo butuh ngobrol."
Ardi merasa ada yang aneh. Kenapa Dimas merasa perlu bicara dengan saya sekarang? Mungkin ini bukan kebetulan. Mungkin Dimas tahu sesuatu yang ia tidak ketahui. Hatinya berdebar-debar, perasaan cemas semakin menyelimuti dirinya.
Jam menunjukkan pukul 8 malam saat Ardi tiba di kafe yang sama. Dimas sudah duduk di meja pojok, memandangnya dengan serius.
"Lo kenapa, bro?" Dimas bertanya begitu Ardi duduk.
"Kenapa gue? Kenapa lo ngajak gue ngobrol?" Ardi membalas dengan ragu, merasa ada sesuatu yang penting yang Dimas ingin ungkapkan.
Dimas menarik napas panjang. "Gue nggak mau jadi orang yang bawa kabar buruk, Ardi. Tapi... lo harus tahu, Maya... dia lagi deket sama orang lain."
Ardi merasa seluruh tubuhnya kaku. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar kepalanya. "Apa? Apa maksud lo?" Ardi mencoba mengendalikan suaranya yang bergetar.
Dimas menghela napas lagi. "Gue nggak tahu detailnya, tapi beberapa hari terakhir, gue lihat Maya sering keluar sama cowok lain. Lo tahu kan, siapa dia. Gue nggak mau lo dihianati, bro."
Ardi merasa dunia seakan berhenti berputar. Maya? Dengan pria lain? Hatinya mulai berantakan. Seluruh kebenaran yang selama ini ia rasakan mulai runtuh. Dimas mencoba meyakinkan Ardi bahwa ia hanya ingin membantu, tetapi kata-kata itu tidak dapat menghapus rasa sakit yang mulai menguasai Ardi.
"Kenapa lo nggak kasih tahu gue lebih cepat, Dim?" Ardi akhirnya bisa mengeluarkan suaranya, meskipun terdengar terputus-putus.
Dimas mengangkat bahu, tampak bingung. "Gue nggak tahu. Gue cuma pengen lo tahu sebelum lo makin terlena. Lo pantas tahu kebenarannya."
Ardi terdiam, matanya mulai berembun. Maya, kenapa kau berpaling?
Bersambung...
Buku lain oleh Avrilia Nadhifa
Selebihnya