Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
1.8K
Penayangan
20
Bab

Tersadar dari koma pasca melahirkan anak pertamanya, Inara bertanya-tanya tentang apa yang terjadi pada dirinya. Ditambah lagi dengan kejanggalan-kejanggalan yang ia temukan pada suami dan juga anaknya yang sama sekali tak respek padanya membuat ia sangat sedih. Hingga suatu hari Inara harus menerima kenyataan bahwa suaminya ternyata sudah menikah lagi. Hal itu membuat hubungan mereka tak seharmonis dulu. Dokter Feri -mantan kekasih Inara- sekaligus dokter yang menangani operasi Inara, kembali mendekati Inara untuk menjadi teman curhatnya hingga membuat wanita itu malah terjebak dalam rasa nyaman dengan sang kekasih dari pada suami. Pengkhianatan suaminya pun ia balas dengan hubungan gelapnya dengan sang mantan. Namun, apakah hal itu membuat masalahnya selesai? Atau justru Inara memilih untuk mengakhiri pernikahannya karena tidak terima dimadu? Lalu, siapakah yang pantas disalahkan atas semua yang terjadi?

Bab 1 Satu Tahun Koma

"Alhamdulillah sayang, akhirnya kamu bangun juga," ucap Mas Adnan saat pertama kali aku membuka mata.

Beberapa kali ia mengecup tanganku, sesekali berganti pada keningku seraya tak hentinya mengucap kata syukur. Raut haru sekaligus bahagia tergambar jelas di wajah teduhnya. Air matanya perlahan meleleh dipipinya, pria yang telah dua tahun menjadi suamiku itu menengadahkan tangannya lalu mengusap wajah seraya terus mengucap kata syukur.

"Sayang, aku gak mimpi 'kan?" tanyanya seraya menangkupkan sebelah tanganku dipipi nya. Aku hanya tersenyum seraya menggeleng pelan, hingga ia kembali mengucapkan kata syukur.

"Mas?" ucapku pelan seraya membalas genggaman tangannya.

"Iya sayang, ini aku. Kamu mau apa? Minum, makan? Atau ada yang sakit? Biar mas panggilkan dokter, ya!" ucapnya cepat.

Aku hanya menggeleng pelan seraya kembali tersenyum, kurasa sikapnya begitu berlebihan. Tapi aku bahagia, itu artinya, cintanya untukku begitu besar.

"Dimana anak kita?" tanyaku.

Ya, aku baru saja sadar pasca melahirkan anak pertamaku. Buah cintaku dan Mas Adnan yang kami tunggu selama dua tahun lamanya akhirnya terlahir ke dunia. Meski tak bisa melahirkan secara normal, tapi aku tetap bersyukur karena hari ini aku masih bisa membuka mata dan melihat suamiku berada di sisiku.

"Ada sayang, ada. Kamu jangan pikirkan itu dulu, ya! Mas panggilkan dokter sebentar," ucapnya seraya mengusap pelan rambutku.

"Aku ingin melihatnya, mas," rengekku.

"Iya sayang, nanti, ya! Mas panggil dokter dulu!" sahutnya lagi.

Meski sedikit kesal dengan sikapnya, aku hanya mengangguk untuk mengiyakan hingga akhirnya Mas Adnan berdiri. Sejenak, ia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, hingga akhirnya ia berlalu setelah aku balas menatapnya, beberapa kali ia menengok ke arahku hingga akhirnya ia benar-benar menghilang dibalik pintu.

Tak butuh waktu lama, selang beberapa menit Mas Adnan telah kembali bersama seorang dokter pria dan dua orang perawat. Satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka langsung menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Selama pemeriksaan, kedua perawat tersebut lebih banyak menggeleng pelan serta terlihat kebingungan saat dokter menyuruh mereka untuk mencatat hasil dari pemeriksaannya.

"Ini suatu keajaiban," decak sang dokter usai memeriksa keadaanku.

"Keajaiban?" beoku seraya memicingkan mata padanya.

"Iya. Mbak bisa kembali sadar dan semuanya terlihat normal," sahut dokter tersebut seraya menatapku.

"Bukankah itu hal yang wajar? Apa dokter mengharapkan hal yang buruk padaku?" tanyaku sedikit sinis hingga membuat Mas Adnan dan dokter laki-laki itu saling memandang.

"Bukan begitu, mbak. Tapi, mbak baru saja tersadar dari koma yang mbak alami selama satu tahun lamanya," jelasnya membuatku ternganga.

"Koma? Satu tahun?" beoku hampir tak percaya, namun Mas Adnan mengiyakannya.

"Mbak mengalami komplikasi pasca operasi hingga membuat mbak mengalami koma," jelasnya.

"Tapi, aku merasa baik-baik saja, jadi tidak mungkin aku koma selama itu," ucapku bersikeras.

"Maka itu, saya sebut ini suatu keajaiban," sahutnya.

Aku hanya bisa terdiam, membayangkan aku koma selama itu membuatku teringat pada banyak hal. Bagaimana dengan anakku? Bagaimana dengan Mas Adnan?

"Besok saya akan kembali untuk memeriksa keadaan mbak. Jika lebih baik, mungkin mbak bisa segera pulang," ucap dokter tersebut setelah kedua perawat itu mencabut beberapa alat dari tubuhku kecuali infusan.

"Terimakasih, dokter Feri!" ucap Mas Adnan seraya menjabat tangannya. Sedangkan aku hanya melirik sinis pada dokter tersebut lalu menatap ke arah lain.

"Mas, apa benar aku koma selama itu?" tanyaku setelah mereka keluar dari kamar.

Mas Adnan hanya mengangguk, namun kali ini sorot matanya terlihat berbeda, entah apa yang dia pikirkan yang jelas, aku sendiri masih tak percaya dengan kenyataan ini.

"Sayang, apa kamu ingat, dulu aku selalu membawa Dara dan membaringkannya di sampingmu. Berharap, kamu terbangun karena suara tangisnya," tanya Mas Adnan dengan mata yang berkaca-kaca, sedangkan tangannya tetap erat menggenggam tanganku.

Aku menggeleng pelan hingga Mas Adnan melanjutkan ceritanya.

"Setiap hari aku selalu menemuimu, dan berbagi cerita tentang kesepianku karena tak adanya kamu," jelas Mas Adnan dengan mata yang kembali berkaca-kaca.

Aku hanya bisa mengusap wajahnya pelan, bisa kubayangkan kesepiannya selama ini seperti apa. Aku tau, Mas Adnan adalah pria yang setia, namun aku juga mengerti, kalau dia adalah pria normal yang pastinya membutuhkan sosok wanita dalam hidupnya. Hal itu kembali membuat pikiranku terasa kacau, apalagi jika teringat pada mimpi yang membuatku terjaga.

"Ini sayang!" ucap Mas Adnan membuyarkan semua lamunanku.

Mas Adnan menyodorkan ponselnya ke depan wajahku, terlihat jelas fotoku yang nampak dalam kondisi yang amat buruk. Bermacam alat terpasang di tubuhku dan wajahku begitu pucat dengan bibir membiru.

Aku langsung meraba wajahku seraya menatap Mas Adnan.

"Apa sekarang wajahku seperti itu, mas?" tanyaku.

"Tidak sayang, kamu terlihat lebih segar sekarang. Itu foto kamu dulu, saat dokter mengatakan kalau kamu sedang kritis hingga akhirnya kamu dinyatakan koma," jelasnya membuatku sedikit kaget sekaligus bersyukur. Karena itu artinya ini adalah kesempatan hidup kedua dari tuhan untukku.

"Lalu anak kita, mas?" lirihku dengan perasaan cemas. Aku takut terjadi sesuatu dengan anakku.

Mas Adnan mengusap layar ponselnya, hingga terlihat bayi mungil yang berwajah merah.

Aku tersenyum seraya meraih ponsel Mas Adnan dengan tangan yang sedikit bergetar.

"Anakku, apa dia sudah besar, mas?" tanyaku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Iya sayang, Dara sudah besar," sahut Mas Adnan seraya kembali mengusap layar ponselnya hingga terlihat seorang balita yang begitu menggemaskan.

"Coba lihat, matanya, wajahnya, sangat mirip denganmu," ucap Mas Adnan seraya tersenyum.

Aku tak kuasa menahan tangisku, ternyata anakku memang sudah besar, itu artinya aku sudah melewatkan banyak waktu. Padahal, aku sangat ingin merawatnya, menyusuinya dan menyaksikan setiap pertumbuhan dan perkembangannya.

"Sayang, kenapa menangis? Apa ada yang sakit?" tanya Mas Adnan terdengar panik.

"Tidak mas! Aku hanya sedih, karena aku telah melewatkan banyak waktu, aku tidak bisa menyaksikan pertumbuhan Dara, mas!" lirihku.

"Inara, sayang. Dara masih kecil, kita akan mengurusnya bersama-sama dan menyaksikan pertumbuhannya, kamu jangan sedih. Besok mas akan ajak Dara kesini," tutur Mas Adnan seketika langsung membuatku senang.

"Benar, ya mas! Aku sangat ingin bertemu dengannya," ucapku antusias.

"Tentu saja!" sahut Mas Adnan lalu mengecup singkat keningku.

"Mas, kenyataan ini jujur membuatku sangat takut," ucapku setelah sekian lama kami terdiam.

"Takut apa?" tanya Mas Adnan seraya menatap lekat wajahku.

"Semalam, aku bermimpi kamu menikah lagi, mas! Dan sekarang, aku begitu terkejut saat tau kalau aku sudah koma selama satu tahun," tuturku, merubah ekspresi diwajah Mas Adnan. Kali ini, ia terlihat gugup.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku