/0/23830/coverbig.jpg?v=f6c400d446c191c6b21160edd80e9314&imageMogr2/format/webp)
Menikah karena cinta bukanlah jaminan bahwa rumah tangga akan selalu tenang dan bahagia. Itulah kenyataan pahit yang sedang dijalani oleh Salma dan Rayden. Pasangan muda yang telah dikaruniai seorang putri berusia empat tahun itu kini tengah dihantam badai dalam pernikahan mereka. Di saat Salma tengah mengandung anak kedua mereka-usia kandungannya memasuki bulan keenam-Rayden mulai berubah. Perhatian dan kasih sayang yang dulu begitu hangat kini terasa dingin dan jauh. Dan perlahan, sumber luka itu terungkap: seorang wanita bernama Clarissa, karyawan baru di perusahaan tempat Rayden bekerja. Clarissa bukan sekadar orang ketiga-ia adalah perempuan yang tahu cara memanfaatkan kelemahan Rayden, merayunya saat Salma tak lagi bisa menemani karena kehamilan yang melelahkan. Dan ketika Salma mulai merasakan kejanggalan demi kejanggalan, kebenaran yang terkuak justru menghancurkan kepercayaannya pada pria yang pernah bersumpah akan melindunginya.
Salma berdiri di ambang pintu kamar tidur mereka, menatap bayangannya yang terpantul di cermin. Perutnya yang semakin membesar menunjukkan bahwa ia sedang mengandung anak kedua mereka, dan meski seharusnya ini menjadi waktu yang penuh kebahagiaan, perasaan itu terasa semakin jauh dari dirinya. Ia mengusap perutnya, merasakan gerakan kecil di dalamnya, namun hatinya tetap kosong.
Di luar, suara tawa dan teriakan ceria putri kecilnya, Amara, mengisi rumah yang sebelumnya terasa penuh kehangatan. Salma tersenyum tipis, meski senyuman itu terasa lebih sebagai kewajiban daripada ekspresi kebahagiaan sejati. Semuanya berubah begitu cepat.
"Sayang, kamu di mana?" panggil Rayden, suaminya, dari ruang tamu. Suara pria itu terdengar tidak sabar, seperti biasa belakangan ini. Salma menghela napas, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab.
"Aku di sini," jawabnya pelan, lalu melangkah keluar dari kamar. Rayden sudah duduk di sofa, menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa ia baca lagi. Terkadang, Salma merasa seperti melihat seorang asing di depan matanya. Suaminya, yang dulu selalu penuh kasih dan perhatian, kini terasa begitu jauh.
"Sudah siapkan makan malam?" tanya Rayden, suaranya terdengar datar, tanpa semangat. Salma merasa hatinya tersayat. Tidak seperti dulu, di mana mereka selalu menghabiskan waktu bersama, saling berbicara tentang harapan dan impian. Sekarang, setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk, tidak ada lagi kehangatan yang mengalir dalam percakapan mereka.
"Aku belum," jawab Salma, berusaha terdengar biasa saja meskipun hati kecilnya menginginkan sesuatu yang lebih-suatu kejujuran yang tidak lagi mereka miliki. "Aku akan segera ke dapur."
Rayden mengangguk, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Salma merasakan beban yang berat di dadanya. Beberapa bulan terakhir ini, perasaan seperti ada sesuatu yang tak beres mulai muncul. Kegelisahan yang mengganggu tidur malamnya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Rayden, tetapi setiap kali ia mencoba berbicara, suaminya hanya akan memberi alasan atau menghindari pembicaraan itu.
Hati Salma semakin terguncang saat ia tahu, tanpa sengaja, tentang Clarissa-wanita muda yang baru saja bergabung dengan perusahaan Rayden beberapa bulan lalu. Awalnya, ia tidak begitu memikirkan hal itu. Tetapi, lambat laun, ia mulai mendengar kabar dari teman-teman kerja Rayden bahwa Clarissa sering kali terlihat dekat dengan suaminya, bahkan saat mereka menghadiri acara kantor bersama.
"Rayden, kamu ada apa? Kenapa belakangan ini kamu sering pulang larut malam?" tanya Salma suatu malam, saat mereka sedang duduk di meja makan, hanya mereka berdua. Amara sudah tidur, dan suasana rumah terasa sunyi, tapi penuh ketegangan.
Rayden menatapnya sejenak, matanya terlihat lelah. "Aku banyak pekerjaan, Salma. Kamu tahu itu." Suaranya mengandung sedikit nada kesal.
"Tapi aku merasa kamu semakin menjauh. Aku... aku merasa seperti aku tidak mengenalmu lagi." Salma merasakan air mata mulai menggenang, tetapi ia berusaha keras untuk tidak menangis. "Apa kamu sedang memiliki hubungan dengan seseorang?"
Rayden terdiam, dan Salma bisa melihat wajahnya yang tampak kaget, tapi ada sesuatu dalam tatapan itu yang tidak bisa ia pahami. Seolah ia berusaha menyembunyikan sesuatu, namun tidak bisa berbohong begitu saja.
"Jangan berlebihan, Salma," jawab Rayden, suaranya lebih keras dari yang diinginkan. "Aku bekerja untuk kita, bukan untuk orang lain."
Salma tahu bahwa ada yang disembunyikan, dan ia merasa jantungnya semakin berdegup kencang. Tetapi, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan perasaan itu. Sebuah rasa takut yang menyesakkan dada.
Beberapa hari kemudian, tanpa sengaja, Salma mendengar percakapan telepon yang tak sengaja terjaga. Ia berdiri di luar ruang kerja Rayden, menyadari bahwa suaminya sedang berbicara dengan seseorang. Nama yang disebut-sebutnya adalah Clarissa.
"Clarissa, kamu harus tahu bahwa aku tidak bisa terus seperti ini. Salma mulai curiga. Aku... aku merasa terjebak di antara keduanya," suara Rayden terdengar sangat gelisah, seperti orang yang sedang berada di ambang batas.
Salma merasa darahnya berdesir dingin. Ia ingin berlari ke dalam, menghentikan pembicaraan itu, tapi tubuhnya seolah kaku. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, dan setiap kali ia mencoba untuk menenangkan dirinya, rasa sakit itu semakin dalam. Rayden, suaminya, yang dulu ia percayai sepenuh hati, ternyata terlibat dalam hubungan yang tidak seharusnya.
Hatinya hancur, tapi ia mencoba untuk menahan emosinya. Salma tahu bahwa ini adalah ujian terbesar dalam hidupnya. Apakah ia akan membiarkan Rayden dan Clarissa menghancurkan keluarganya, atau akankah ia melawan, memperjuangkan kebahagiaan yang dulu mereka miliki?
Beberapa hari setelah percakapan itu, Salma memutuskan untuk berbicara dengan Rayden. Ia tidak bisa terus hidup dalam kebohongan, tidak bisa bersembunyi dari kenyataan yang sudah begitu jelas di depan matanya.
"Rayden, aku tahu tentang Clarissa," ujar Salma, suaranya bergetar meskipun ia berusaha keras untuk tetap tegar. "Aku mendengar percakapanmu."
Rayden terdiam, wajahnya berubah pucat. "Salma, aku... aku bisa jelaskan semua ini," kata Rayden dengan cepat, mencoba mencari-cari alasan. Tetapi, Salma sudah tidak bisa lagi mendengarkan alasan-alasan kosong itu.
"Jelaskan apa, Rayden? Tentang apa yang sudah kamu lakukan di belakangku?" Salma hampir berteriak, menahan amarah yang sudah menumpuk. "Apa kamu pikir aku tidak tahu? Apa kamu pikir aku bodoh?"
Tapi Rayden hanya bisa terdiam, dan Salma tahu-hubungan mereka sudah tidak bisa diperbaiki. Perasaan yang dulu mereka miliki satu sama lain sekarang telah berubah menjadi kebohongan yang menjerat mereka dalam ketidakpastian.
Bab 1 Cinta yang Retak
10/04/2025
Bab 2 sejak tadi memburu
10/04/2025
Bab 3 membuat Salma menggigil
10/04/2025
Bab 4 Wanita Kedua yang Ingin Menjadi yang Pertama
10/04/2025
Bab 5 memperhatikan
10/04/2025
Bab 6 Lelaki yang Tahu Dirinya Kehilangan Terlalu Terlambat
10/04/2025
Bab 7 Salma tak pernah membayangkan dirinya
10/04/2025
Bab 8 Ketika Masa Lalu Tak Mau Mati
10/04/2025
Bab 9 datang sendiri
10/04/2025
Bab 10 sempat padam di hati
10/04/2025
Bab 11 Suasana pagi di Singapura
10/04/2025
Bab 12 berulang kali
10/04/2025
Bab 13 bukan anakmu lagi
10/04/2025
Bab 14 menampilkan foto terakhir
10/04/2025
Bab 15 Pintu darurat terbuka
10/04/2025
Bab 16 Jantung Sang Monster
10/04/2025
Bab 17 Luka yang Berbeda
10/04/2025
Bab 18 mengakses jalur bypass
10/04/2025
Bab 19 tergeletak diam
10/04/2025
Bab 20 Dua puluh hari
10/04/2025
Bab 21 bukan sekadar markas
10/04/2025
Bab 22 bergerak lebih dalam
10/04/2025
Bab 23 semakin menghimpit
10/04/2025
Bab 24 sosok yang sudah lama mereka tak harapkan
10/04/2025
Bab 25 meninggalkan mereka
10/04/2025
Bab 26 tidak punya banyak waktu
10/04/2025
Bab 27 penuh ancaman
10/04/2025
Bab 28 mengingatkan
10/04/2025
Bab 29 menunggu keputusan
10/04/2025
Bab 30 Bangkit
10/04/2025
Buku lain oleh Tengku Asraa Fariza
Selebihnya