Sebuah cerita tentang pengorbanan seorang kakak untuk ketiga adiknya, akan tetapi saat adik-adiknya sukses, mereka malah melupakan jasa dan pengorbanan sang kakak dan malah menghina keadaannya.
Saat adik-adikku sukses
"Anak Teteh gak pernah makan enak ya, kayak orang kelaparan gitu," ucap Mala pada Nurma, kakaknya.
"Heh, Tedi. Gak boleh, kamu udah ngambil sepotong ayam goreng tadi, Ibumu ke sini gak bawa makanan apa-apa, cuma bawa perut," tegur Ratri pada cucunya sambil menangkis tangan Tedi yang hampir menyentuh piring berisi ayam goreng yang begitu banyak, rasanya tidak akan habis jika Tedi mengambilnya sepotong lagi.
"Teh, mending bawa anaknya makan di dapur, dari pada bikin recok di sini," Mala kembali berbicara.
Tanpa berkata apa-apa, Nurma langsung membawa Tedi ke dapur, meninggalkan Ibu, dan saudara-saudarnya yang sedang menikmati buka puasa terakhir di tahun ini.
Nurma sadar, dari banyaknya makanan, tidak ada satupun yang bisa dia akui. Semua makanan ini di beli oleh ketiga adiknya yang sedang kembali ke kampung halaman untuk merayakan hari raya idul fitri esok hari.
Mereka tidak sadar, jika bukan karena tangan Nurma, bahan mentah yang mereka bawa tidak akan menjadi makanan lezat yang sedang mereka nikmati sekarang ini.
Istilah uang tidak bersaudara itu memang ada dan nyata, seperti yang sedang Nurma alami. Nurma adalah sulung dari 4 saudara, dua adiknya perempuan dan satu lagi bungsu laki-laki.
Dari ketiga saudaranya, Nurma lah yang kini hidupnya paling memprihatinkan.
Diam-diam Nurma pulang, membawa Tedi yang menangis karena ingin ayam goreng.
"Udah pulang kamu Neng? emang udah selesai buka bersamanya?" tanya Hendi pada Nurma, istrinya.
"Udah," jawab Nurma, lirih.
"Tedi kenapa kok nangis?"
"Biasa anak kecil rewel, kayak gak ngerti aja."
"Ayam goreng, Tedi mau ayam goreng, Bapak." Bocah berusia 5 tahun itu mengadu pada Bapaknya sambil menangis.
Ada rada nyeri di hati Nurma, saat mendengar anak semata wayangnya merengek, hanya sapotong ayam goreng pun Nurma belum mampu membelikan untuk anaknya itu.
"Kata Nurma juga apa Kang, Nurma malas pergi ke sana."
"Maafin Akang ya, Akang gak tahu kalau kayak gini."
Awalnya Nurma menolak, saat Ratri, Ibunya. Menyuruh Nurma untuk datang ke rumahnya, namun Hendi memaksa Nurma untuk tetap menuruti permintaan Ratri. Meskipun Hendi sendiri di larang untuk datang.
"Kamu aja yang datang, si Hendi gak usah!" ucap Ratri pada Nurma.
Ketiga adiknya Nurma yaitu, Mala, Dewi, dan Lukman bisa di bilang hidupnya sudah berhasil, mereka memiliki pekerjaan dengan gaji yang cukup besar.
Nurma kurang mengerti apa pekerjaan adik-adiknya itu, yang jelas ketiga adiknya itu orang kantoran, Nurma hanya tahu pekerjaan Mala yang merupakan seorang pegawai bank.
Jika disadari, Nurma juga berperan dalam kesuksesan ketiga adiknya itu. Karena Nurma lah yang membiayai pendidikan mereka sampai mendapat gelar sarjana.
***
"Nurma, kamu gak usah lanjut sekolah ya, mending kerja aja bantu Ibu sama Bapak cari uang. Lihat! adik-adikmu juga masih kecil butuh biaya," ucap Ratri saat Nurma baru saja menerima surat kelulusan sekolah dasarnya.
"Tapi Bu, Nurma pengen tetap sekolah Bu."
"Kamu pikir biaya sekolah pake daun hah? pokoknya besok lusa Bu Darmi akan datang ke sini buat bawa kamu kerja di kota."
Impian Nurma untuk memakai seragam putih biru harus dia kubur dalam-dalam.
Disaat teman-teman sebayanya sedang mempersiapkan segala hal untuk masuk sekolah ke jenjang menengah pertama, Nurma justru sudah berjuang mencari pundi-pundi rupiah dengan menjadi asisten rumah tangga di Ibu kota.
Bahkan saat usia Nurma menginjak 18 tahun, Ratri meminta Nurma untuk menjadi TKW, karena Ratri merasa gaji Nurma di Jakarta tidak lagi cukup untuk membiayai ketiga adiknya, apalagi saat itu Mala sudah mau lulus SMP dan Mala ingin melanjutkan pendidikannya sampai memiliki gelar.
"Bu, kata guru aku itu pintar Bu, sayang kalau harus putus sekolah apalagi kalau jadi pembantu kayak Teh Nurma," ucap Mala yang membuat Ratri semakin mendesak Nurma untuk daftar menjadi TKW.
Nurma memang anak yang penurut, setelah melalui proses yang begitu panjang, akhirnya tiba hari di mana Nurma untuk terbang ke negeri orang, menggantungkan nasibnya di sana demi membahagiakan Ibu dan adik-adiknya.
***
Tok tok tok
Tok tok tok
"Nurma . . . ,"
"Nurma . . . ,"
Suara Ibunya yang memanggil namanya membuyarkan lamunan Nurma.
"Kamu ini gimana sih main pulang aja? kan di rumah belum beres. Ayo balik lagi, ruang tamu masih acak-acakan, piring gelas juga belum di cuciin," ucap Ratri saat Nurma baru saja membuka pintu.
Bab 1 Buka Bersama
08/06/2023
Bab 2 Aku bukan babu
08/06/2023
Bab 3 Mereka pergi
08/06/2023
Bab 4 Mereka pergi 2
08/06/2023
Bab 5 Tanah yang di jual
08/06/2023
Bab 6 Fitnah yang kejam
08/06/2023
Bab 7 Salah paham
08/06/2023
Bab 8 Kembali mendapat fitnah
08/06/2023
Bab 9 Menjadi TKW kembali
08/06/2023
Bab 10 Pesta pernikahan Mala
08/06/2023
Bab 11 Hal yang terjadi pada Lukman
08/06/2023
Bab 12 Keadaan Ratri sekarang
08/06/2023
Bab 13 Pernikahan Mala yang gagal
08/06/2023
Bab 14 Hutang bekas hajatan
08/06/2023
Bab 15 Rumah yang di sita
08/06/2023
Bab 16 Paksaan dari Bu Ratri
08/06/2023
Bab 17 Rumah Bu Ratri sudah di sita
08/06/2023
Bab 18 Tamu tak di undang
08/06/2023
Bab 19 Membawa Ibu ke tempat Dewi
08/06/2023
Bab 20 Penderitaan Bu Ratri
08/06/2023
Bab 21 Kehidupan Nurma semakin membaik
08/06/2023
Bab 22 Perlahan kehancuran itu tiba
08/06/2023
Bab 23 Keluarga Nurma kembali diuji
13/06/2023
Bab 24 Saat susah baru ingat
13/06/2023
Bab 25 Dewi dan Bu Ratri kehilangan tempat tinggal
14/06/2023
Bab 26 Kabar baik untuk keluarga Nurma
14/06/2023
Bab 27 Kesuksesan Nurma
16/06/2023
Bab 28 PoV Bu Ratri
16/06/2023
Bab 29 Dilema
16/06/2023
Bab 30 Kejutan untuk Nurma
16/06/2023
Bab 31 Penyesalan tiada guna
26/06/2023
Bab 32 Mengusir Dewi
26/06/2023
Bab 33 Permintaan konyol Bu Ratri
26/06/2023
Bab 34 Karma untuk Farman
26/06/2023
Bab 35 Alasan sikap Hendi berubah
26/06/2023