/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
Bianca melangkah ke dapur, senyum kecil terukir di bibirnya. Aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang renyah menyambutnya, bau khas setiap pagi di rumah mereka. Adrian sudah duduk di meja, membaca berita di tabletnya, rambutnya sedikit acak-acakan-gaya yang selalu Bianca suka. Matahari pagi menembus jendela, membanjiri ruang makan dengan cahaya keemasan, membuat suasana terasa begitu damai, begitu sempurna.
"Pagi, Sayang," sapanya, suaranya sedikit serak karena baru bangun. Ia menghampiri Adrian, membungkuk dan mengecup puncak kepalanya, lalu mendaratkan ciuman ringan di pipinya. Kulit Adrian terasa hangat di bawah bibirnya.
Adrian meletakkan tabletnya, mendongak dengan senyum lebar yang selalu membuat hati Bianca berdesir. "Pagi, Bintangku," balasnya, julukan yang ia berikan pada Bianca bertahun-tahun yang lalu, mengacu pada caranya mencerahkan hidup Adrian. Ia meraih tangan Bianca dan menggenggamnya erat. "Tidur nyenyak?"
Bianca mengangguk, mengusap punggung tangan Adrian dengan ibu jarinya. "Seperti bayi. Kamu?"
"Sempurna, sekarang kamu di sini." Adrian menariknya lebih dekat, mengisyaratkan Bianca untuk duduk di pangkuannya. Bianca menurut, melingkarkan lengannya di leher Adrian, merasakan detak jantungnya yang stabil di dadanya. Sebuah kebiasaan kecil yang manis, warisan dari awal hubungan mereka, saat mereka masih sepasang kekasih yang tak terpisahkan.
Mereka berbicara tentang rencana hari itu. Adrian sibuk dengan proyek baru di kantornya, sebuah perusahaan arsitektur ternama, sementara Bianca memiliki beberapa janji temu dengan klien untuk butik bunga daringnya. Bianca sangat mencintai pekerjaannya, menciptakan keindahan dari kelopak bunga dan dedaunan, membawa senyum kepada orang lain di hari-hari spesial mereka. Adrian selalu menjadi pendukung terbesatnya, yang pertama kali mendorongnya untuk mengubah hobinya menjadi bisnis.
"Jangan terlalu lelah, ya," kata Bianca, melepaskan diri dari pangkuan Adrian untuk menyiapkan sarapan mereka. "Ingat, proyek besar bukan berarti harus mengorbankan kesehatan."
Adrian tertawa. "Siap, Bos. Kamu juga. Jangan sampai lupa makan siang karena sibuk merangkai bunga."
Mereka sarapan dengan obrolan ringan, sesekali diselingi tawa. Bianca mengamati Adrian, bagaimana matanya berbinar saat berbicara tentang desain, bagaimana ia mengernyitkan keningnya sedikit saat memikirkan solusi, bagaimana tangannya yang kuat dan terampil memegang cangkir kopi. Ia merasa gelombang kehangatan menjalar di dadanya. Lima tahun pernikahan, dan ia masih merasa seperti seorang gadis muda yang baru jatuh cinta. Adrian adalah dunianya, jangkar dalam hidupnya, dan ia tidak bisa membayangkan hidup tanpanya.
Siang harinya, Bianca sedang sibuk di studio kecilnya di rumah, dikelilingi oleh wangi mawar, lili, dan eukaliptus. Ia sedang mengerjakan pesanan karangan bunga pernikahan, setiap kelopak dipilih dengan hati-hati, setiap tangkai diposisikan dengan presisi. Ponselnya berdering, sebuah notifikasi pesan. Biasanya ia akan mengabaikannya saat sedang fokus, tapi entah mengapa, hari itu ia merasa dorongan aneh untuk melihatnya.
Itu adalah pesan dari nomor tak dikenal. Bianca mengerutkan kening. Mungkin itu pengantar bunga atau salah satu pemasoknya. Ia membuka pesan itu, dan seketika, jantungnya mencelos.
Bukan teks. Itu adalah gambar.
Gambar itu menunjukkan Adrian. Jelas Adrian. Wajahnya, senyumnya yang familiar, meskipun sedikit... berbeda. Lebih santai, lebih intim dari yang biasa Bianca lihat di hadapan umum. Dan di sampingnya, seorang wanita. Rambutnya pirang cerah, punggungnya sedikit terbuka, lengan wanita itu melingkar di pinggang Adrian. Mereka duduk di sebuah kafe outdoor yang tidak dikenali Bianca, cangkir kopi mengepul di meja. Itu terlihat seperti foto candid, mungkin diambil dari kejauhan, tapi tidak ada keraguan sedikit pun bahwa itu adalah Adrian dan wanita itu sangat dekat, terlalu dekat untuk sekadar teman.
Pesan itu disertai teks singkat: "Suamimu. Kebahagiaanmu, atau miliknya?"
Napas Bianca tercekat. Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa dingin, meskipun studio itu hangat. Aroma bunga yang sebelumnya menyenangkan kini terasa menyesakkan. Tangannya bergetar, menjatuhkan tangkai lili yang sedang dipegangnya. Lili itu jatuh ke lantai, kelopaknya yang putih bersih sedikit lecek, kontras dengan lantai kayu.
Tidak. Ini pasti salah paham. Ini tidak mungkin. Adrian tidak akan pernah-
Tapi gambar itu begitu jelas. Detail kecil pada kemeja Adrian, jam tangan yang ia kenakan, bahkan cara rambutnya jatuh di dahi-semuanya sangat akurat. Dan senyum wanita itu, tawa samar yang terlihat di wajahnya, menunjukkan kedekatan yang membuat perut Bianca mual.
Pesan kedua menyusul. Kali ini, sebuah video pendek. Durasi hanya beberapa detik, diambil dari sudut yang sama, menunjukkan Adrian dan wanita itu tertawa. Adrian meraih tangan wanita itu, meremasnya lembut, dan kemudian mengusap punggung tangannya dengan ibu jari. Gestur yang sama persis dengan yang Adrian lakukan pada Bianca pagi itu. Gestur yang Bianca pikir hanya miliknya.
Video itu tidak memiliki suara, tapi Bianca bisa merasakan gema tawa mereka memenuhi ruang kepalanya, mengoyak keheningan. Ia merasa pening, seolah-olah dunia di sekelilingnya berputar. Ia mencengkeram ponselnya erat-erat, buku-buku jarinya memutih.
Pengkhianatan. Kata itu berputar-putar di benaknya, sebuah bayangan hitam yang menutupi semua cahaya. Adrian, suaminya, belahan jiwanya. Mengapa? Bagaimana?
Ia berusaha mencari alasan. Mungkin itu rekan kerja? Mungkin itu hanya pertemuan bisnis? Tapi gestur-gestur intim itu, tawa yang lepas itu, sentuhan di tangan-itu bukan perilaku profesional. Dan pesan anonim itu... itu adalah pukulan telak yang disengaja.
Air mata mulai menggenang di mata Bianca, tapi ia tidak membiarkannya jatuh. Ada sesuatu yang lebih kuat dari kesedihan yang mulai mendidih di dalam dirinya: kemarahan. Kemarahan dingin yang membakar, membekukan semua emosi lainnya. Bagaimana Adrian bisa melakukan ini padanya? Pada mereka? Setelah semua janji, semua cinta, semua kepercayaan?
Ia teringat semua momen yang mereka bagi. Malam-malam yang dihabiskan berpelukan di sofa, mimpi-mimpi yang mereka bangun bersama, candaan-candaan kecil yang hanya mereka berdua pahami. Adrian adalah fondasinya. Jika fondasi itu retak, maka seluruh bangunan akan runtuh.
Ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan lagi. Kali ini, sebuah alamat dan tanggal.
"Minggu depan, pukul 7 malam. Kita bisa bertemu di sana."
Bianca menatap alamat itu. Itu adalah sebuah restoran mewah di pusat kota, tempat yang Adrian pernah sebutkan ingin mereka kunjungi suatu hari nanti. Restoran yang sangat eksklusif, sulit mendapatkan reservasi. Apakah ini... apakah ini kencan Adrian dengan wanita itu? Atau apakah ini jebakan?
Ia tidak tahu. Pikirannya kalut, seolah-olah ribuan pecahan kaca beterbangan di dalam kepalanya. Rasa sakit yang tajam menusuk dadanya. Seolah-olah sebuah bagian dari dirinya telah mati.
Sore itu, Adrian pulang ke rumah seperti biasa, senyum cerah di wajahnya, aura kelelahan yang menyenangkan setelah seharian bekerja. Ia melemparkan tas kerjanya ke sofa, melonggarkan dasinya, dan mencari Bianca.
"Sayang, aku pulang!" serunya, suaranya memenuhi rumah.
Bianca sudah menunggu di dapur, pura-pura sibuk menyiapkan makan malam. Ia telah menghapus semua jejak air mata, mengumpulkan sisa-sisa dirinya yang hancur, dan memasang topeng. Topeng yang sempurna.
"Hai," jawabnya, mencoba agar suaranya terdengar normal. Ia berbalik, tersenyum padanya, senyum yang terasa seperti topeng di wajahnya.
Adrian menghampirinya, memeluknya dari belakang, dagunya bersandar di bahu Bianca. "Harimu bagaimana?" bisiknya, mencium aroma rambut Bianca.
Bianca menegang sesaat. Aroma Adrian, sentuhannya, yang biasanya begitu menenangkan, kini terasa asing, bahkan menjijikkan. Sebuah kebohongan besar menyelimuti mereka.
"Baik," jawab Bianca singkat, mencoba melepaskan diri dengan halus. "Aku sibuk dengan pesanan karangan bunga. Kamu?"
Adrian tidak melepaskannya. "Cukup melelahkan, tapi berhasil. Ada kemajuan besar di proyek Klien Jaya."
Bianca mengangguk, tidak berani menatap matanya. Ia takut Adrian akan melihat bayangan kekecewaan dan kemarahan yang membara di matanya. Ia takut topengnya akan runtuh.
"Oh ya, Sayang," Adrian melanjutkan, suaranya riang. "Aku berhasil mendapatkan reservasi di Restoran Serenity minggu depan. Ingat yang kita bicarakan? Untuk merayakan proyek ini."
Jantung Bianca berhenti berdetak. Restoran Serenity. Alamat yang sama. Tanggal yang sama.
Jadi, Adrianlah yang membuat reservasi itu. Untuk mereka berdua. Dan juga... untuk wanita itu? Otaknya berputar, mencoba menyatukan kepingan-kepingan informasi. Apakah ini semacam kencan ganda yang Adrian rencanakan tanpa sepengetahuannya? Atau apakah Adrian memiliki dua reservasi di tempat yang sama, pada waktu yang sama? Keduanya terdengar absurd, tapi tidak ada yang masuk akal sekarang.
Rasa mual kembali menyerang Bianca. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Oh, benarkah? Itu bagus," katanya, mencoba terdengar antusias. "Kapan?"
"Rabu depan, pukul 7 malam," jawab Adrian, akhirnya melepaskan pelukannya dan berjalan ke lemari es untuk mengambil minuman. "Aku tahu kamu sudah lama ingin ke sana."
Bianca memaksakan senyum, yang terasa begitu dingin di wajahnya. Adrian tidak menyadarinya. Ia terlalu sibuk dengan kegembiraannya sendiri. Atau mungkin ia hanya terlalu pandai menyembunyikan sesuatu.
"Ya, aku sangat antusias," kata Bianca, suaranya nyaris berbisik.
Makan malam itu terasa seperti teater. Bianca memainkan peran istri yang penuh kasih, mendengarkan cerita Adrian tentang hari kerjanya, sesekali tertawa di tempat yang tepat, bahkan memberikan masukan yang cerdas. Namun di dalam dirinya, badai bergejolak. Setiap senyum Adrian terasa seperti tusukan, setiap sentuhannya terasa seperti pengkhianatan. Ia merasa kotor, seolah-olah kebohongan Adrian telah mencemarinya juga.
Setelah Adrian tertidur lelap, Bianca menyelinap keluar dari kamar. Ia duduk di ruang tamu yang gelap, memandangi foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Adrian memeluknya erat, senyumnya begitu tulus, matanya penuh cinta. Apakah itu semua hanya kebohongan? Apakah ia selama ini buta?
Ia mengeluarkan ponselnya lagi. Membuka galeri dan menatap foto dan video itu berulang kali. Tidak ada keraguan. Itu adalah Adrian. Dan sentuhan itu... sentuhan yang Bianca kira hanya miliknya.
/0/24897/coverorgin.jpg?v=d7db3cb1da0eecfcc805c6835a3c1ffb&imageMogr2/format/webp)
/0/14091/coverorgin.jpg?v=a5ecb5399684b4c79af52f1abb7507e1&imageMogr2/format/webp)
/0/16783/coverorgin.jpg?v=6f5af9220dd74d8a2e32f1388e982978&imageMogr2/format/webp)
/0/2169/coverorgin.jpg?v=bc86ddb37015704947772ba8b283348d&imageMogr2/format/webp)
/0/10417/coverorgin.jpg?v=8155f48e04c97d07c0dc0f90cdce099a&imageMogr2/format/webp)
/0/23737/coverorgin.jpg?v=20250526182826&imageMogr2/format/webp)
/0/23823/coverorgin.jpg?v=cf6334aedc73a00bf42177cc58610778&imageMogr2/format/webp)
/0/25076/coverorgin.jpg?v=12001f1cee1d32f57b78dd7e7ed03466&imageMogr2/format/webp)
/0/25861/coverorgin.jpg?v=20250711083055&imageMogr2/format/webp)
/0/5411/coverorgin.jpg?v=26066b1e186cf3a7055c7839dabf3401&imageMogr2/format/webp)
/0/18153/coverorgin.jpg?v=f78fa773721ad8b0372ca9fa8cb631a7&imageMogr2/format/webp)
/0/5215/coverorgin.jpg?v=39958dcbcb0c5b4484b6761a5dcb8525&imageMogr2/format/webp)
/0/20412/coverorgin.jpg?v=2c495306c7fd2f60c3276826592aeffd&imageMogr2/format/webp)
/0/3047/coverorgin.jpg?v=73c715d6159b4899960b1c005f4c0ab6&imageMogr2/format/webp)
/0/15568/coverorgin.jpg?v=40d7d9b09aac8bb8daca7351dbf5c6a9&imageMogr2/format/webp)
/0/5014/coverorgin.jpg?v=20250121183032&imageMogr2/format/webp)
/0/6613/coverorgin.jpg?v=f9a5cfff9b5fc80bc6a65a8d6b5f5c77&imageMogr2/format/webp)
/0/14574/coverorgin.jpg?v=395d59467c41e8342afe796e70b2c24e&imageMogr2/format/webp)
/0/16671/coverorgin.jpg?v=371b04a54873846c5d87c4b9ceb95fc4&imageMogr2/format/webp)