/0/28057/coverorgin.jpg?v=f3b4efcf5a91765b6e671e1a7eb8bdcb&imageMogr2/format/webp)
~Soraya~
"Aku khilaf, Dik ….”
“Khilaf, tapi sampai sejauh itu, Mas …?”
“Maaf ….”
Hanya itu yang terus suamiku ucap. Maaf, maaf, dan khilaf, seolah tak ada kata lain yang sanggup keluar dari mulutnya. Ia tertunduk, pun matanya basah. Lelakiku terisak. Aku tak bisa memahami apa yang ia rasakan sebenarnya.
Mas, sadarkah kau sudah torehkan luka teramat dalam, yang sekarang menganga di hati ini. Lupakah saat kau pada anak kampung itu kita jemput, dengan janji akan menyekolahkannya? Menolong mengangkat derajat keluarganya? Apa yang sampai membawamu terjerumus begitu dalam seperti ini?
Dosa apa yang kami buat sampai menanggung ujian ini, ya Rabb …!
Aib suamiku ini, kami berdua bicarakan sambil berbisik di kamar, duduk berhadap-hadapan. Seberapa pun berat, aku tak ingin anak-anak yang begitu menghargai ayahnya turut terpukul sepertiku.
.
.
Tiga tahun lalu ....
“April akan kami jaga, Bu. Tidak usah Ibu khawatir. Kebetulan waktuku juga banyak di rumah, jadi masih bisa mengawasi pergaulannya.”
“Saya cuma khawatir, Mbak Aya. April ini biasa di kampung, takutnya kaget trus kebablasan gaul sama anak kota,” cemas wanita yang terlihat lebih tua dari usianya itu. Aku paham karena memang anak gadisnya itu berparas cantik alami.
Untuk meyakinkan niat kami membantu masa depan April, suamiku ikut bicara, “Kalau bersama kami, nanti setelah lulus SMA April boleh lanjutkan kuliah, Bu. Nanti akan kita biayai, pendidikannya ambil yang tiga tahun saja, biar setelah itu dia bisa cepat bekerja."
Aku mengangguk, menyetujui perkataan suami, karena ini memang keputusan kami berdua. Sudah niat lama kami ingin membagi rezeki, mencari orang dari keluarga tidak mampu, dan akan membantunya meraih cita-cita, sampai sukses.
“Syukurlah kalau begitu, saya memang berharap dari lima anak, ada satu saja yang bisa sekolah tinggi. Bagaimana kamu, Pril, mau?”
Gadis berlesung pipit itu menunduk. “Terserah Mamak ja, kalau Mamak setuju April mau.”
Aku dan suami lega saat kami bisa membawa gadis itu pulang bersama. Tubuhnya mungil, berkulit kuning langsat, rambut gelombang sebahu berwarna kecoklatan. Ia gadis cantik alami, sayang sekali kalau sampai putus sekolah karena ketiadaan biaya. Kami tahu keadaan keluarganya ini dari seorang saudara, gadis yang terpaksa membantu ibunya menyadap karet dan akan putus sekolah di kelas dua SMA.
Berjalannya waktu April lulus dengan prestasi cukup baik. Meski sempat kaget dengan pelajaran di sekolah kota, tak membuatnya ketinggalan jauh. Kegigihannya belajar dan membantuku dalam pekerjaan rumah membuatku jatuh hati. Aku menyayangi April seperti anak sendiri, sebab ia seumuran dengan Almira, si sulung.
Empat anakku semuanya perempuan, dan hubunganku dengan mereka seperti teman.
Saat membeli pakaian untuk yang lain aku juga pasti membelikan untuk April, begitu pun makanan apa yang kami makan ia bebas makan juga.
Sesuai janji kami kemudian menguliahkannya, meski bersamaan dengan Almira juga masuk kuliah, dan Syifa—putri ketigaku--masuk SMP kami tak kesulitan biaya. Usaha toko kayu, dan pabrik bata masih lancar.
Almira ambil jurusan kedokteran di kampus ternama ibukota, tinggal di kos dan akan jauh dari kami. Sedangkan April masuk akademi diploma tiga computer kota ini.
Seminggu aku mengantar dan menemani Almira di Jakarta. Lalu kembali pulang setelah melihat anak itu begitu mandiri dan tampak siap aku lepas sendiri.
Hariku kemudian kembali menjalani rutinitas seperti semula. Sesekali ke pabrik bata, yang berjarak tempuh satu jam naik mobil dari sini.
Aku dan Mas Danang memang saling bantu untuk mempertahankan usaha yang kami rintis dari nol itu. Selama ini kami dikenal kompak dan sama-sama gigih. Namun, kesibukan itu ternyata membuatku ternyata lalai memerhatikan April.
“Sebelum berangkat usahakan sempatin nyuci, Pril.”
“Maaf, Tante berapa hari ini saya sibuk, banyak tugas.” Ia memang memanggilku tante, dan om untuk Mas Danang.
/0/5553/coverorgin.jpg?v=1512eaa61d76dcbb016d1fadd17afad4&imageMogr2/format/webp)
/0/12754/coverorgin.jpg?v=e6ce11975e25da3381ac05989a07a327&imageMogr2/format/webp)
/0/22378/coverorgin.jpg?v=a48f534805993d32d1d3763df62aec52&imageMogr2/format/webp)
/0/16212/coverorgin.jpg?v=65d19d6cc8fd19ff0990ac7a6a74b941&imageMogr2/format/webp)
/0/14219/coverorgin.jpg?v=8878ad0ff1d33473662b6fca0834fa9e&imageMogr2/format/webp)
/0/16913/coverorgin.jpg?v=f78a9497cddd1f29b8744868d0fee469&imageMogr2/format/webp)
/0/27822/coverorgin.jpg?v=20251106165748&imageMogr2/format/webp)
/0/29031/coverorgin.jpg?v=00208c5b2509ded226403ee5c6c3c406&imageMogr2/format/webp)
/0/21572/coverorgin.jpg?v=3a807ab91c98487d10183047ec65e63d&imageMogr2/format/webp)
/0/30896/coverorgin.jpg?v=a5f09cf72c7852bfe4169eef584d31bc&imageMogr2/format/webp)
/0/22847/coverorgin.jpg?v=ab41c27c6f894b1bf6eab8aaae88001f&imageMogr2/format/webp)
/0/31008/coverorgin.jpg?v=9f9cbbd3ae83a4ddaa68ff168a393da3&imageMogr2/format/webp)
/0/18041/coverorgin.jpg?v=0d8bf0ba9ca6361412f2db79daeed725&imageMogr2/format/webp)
/0/28629/coverorgin.jpg?v=5f978f44614488952da186c45aad0156&imageMogr2/format/webp)
/0/29176/coverorgin.jpg?v=70dd87132c89ce665e3c5b8c42aa6e16&imageMogr2/format/webp)
/0/28860/coverorgin.jpg?v=bba826a0f173a0b385069ef51ce6cc61&imageMogr2/format/webp)
/0/29174/coverorgin.jpg?v=c115511161fb8135517019f94fee210e&imageMogr2/format/webp)
/0/29094/coverorgin.jpg?v=523c58e9677bcd0a22be8018ef97c1e9&imageMogr2/format/webp)