Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
TITIK PENGKHIANATAN

TITIK PENGKHIANATAN

dete

5.0
Komentar
32
Penayangan
5
Bab

Pasangan yang telah menikah bertahun-tahun saling mencurigai adanya perselingkuhan. Ketika kecurigaan tersebut terbukti benar, pernikahan mereka runtuh, memaksa mereka untuk menghadapi pertanyaan terbesar: apakah cinta masih ada di antara mereka?

Bab 1 Bayang-Bayang Kecurigaan

Di sebuah apartemen yang nyaman di pinggiran kota, Rina duduk di sofa, memandangi layar ponselnya yang sepi. Suara detakan jam dinding menambah kesunyian malam itu. Dia melirik ke arah jam-sudah hampir tengah malam. Dika, suaminya, belum juga pulang. Rina mengerutkan dahi, mencoba mengingat kapan terakhir kali mereka makan malam bersama. Rasanya sudah terlalu lama.

"Kenapa ya dia belum pulang?" gumam Rina, suaranya nyaris tak terdengar. Dia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat.

Dika, kamu di mana?

Beberapa detik berlalu, dan dia melihat tanda centang biru muncul di layar. Pesannya sudah dibaca, tetapi tak ada balasan. Rina merasa gelisah. Dalam hatinya, benih kecurigaan mulai tumbuh. "Dia pasti sedang bekerja lembur," bisiknya mencoba meyakinkan diri sendiri, meskipun hatinya tidak sepenuhnya yakin.

Tepat saat itu, pintu apartemen terbuka, dan Dika melangkah masuk. Dia terlihat lelah, dengan jas yang sedikit kusut dan rambut berantakan.

"Maaf, sayang. Kerjaan menumpuk," katanya sambil menghapus keringat dari dahi.

Rina berusaha tersenyum meski hatinya masih dipenuhi pertanyaan. "Kamu pulang lebih larut dari biasanya. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Dika menggelengkan kepala, terlihat tertekan. "Hanya tugas tambahan. Aku janji, ini bukan kebiasaan."

Rina menatapnya dengan skeptis. "Tapi ini sudah terjadi berulang kali, Dika. Aku mulai merasa... ada yang tidak beres."

Dika menahan napas, tampak bingung. "Rina, kamu tahu aku mencintaimu. Kenapa kamu harus berpikir negatif seperti itu?"

Rina berdiri, perasaannya campur aduk. "Aku hanya ingin kejujuran. Jika ada sesuatu yang kau sembunyikan, lebih baik katakan sekarang."

Dika mendekat, menatap matanya. "Aku tidak menyembunyikan apa-apa. Kenapa kamu tidak percaya padaku?"

"Karena semua ini tidak wajar! Sejak kapan kamu mulai pulang larut malam seperti ini? Apakah ada orang lain?" Suara Rina mulai meninggi, emosinya tak tertahan.

Dika menunduk, terlihat bingung dan frustrasi. "Rina, cukup! Jangan menuduhku tanpa bukti."

Rina merasa hatinya hancur, tetapi dia berusaha bertahan. "Aku tidak mau seperti ini, Dika. Aku butuh kejelasan. Jika kamu terus bersembunyi, aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan."

Suasana di antara mereka terasa tegang. Dika menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. "Baiklah, aku akan lebih terbuka. Tapi, aku juga butuh waktu. Jangan berasumsi tanpa dasar."

Rina mengangguk pelan, merasa hampa. "Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu. Sebelum semua ini..."

Dika meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Kita akan cari jalan keluarnya. Aku berjanji."

Namun, dalam hati Rina, keraguan masih membayangi. Dia tidak tahu apakah janji itu bisa mengembalikan kepercayaan yang mulai pudar di antara mereka.

Malam itu, Rina berbaring di ranjang, berpikir tentang kata-kata Dika. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa suaminya masih mencintainya, tetapi bayang-bayang kecurigaan terus mengintai.

Di luar jendela, bintang-bintang bersinar terang, seolah-olah mereka menantikan jawaban dari dua hati yang sedang berjuang.

Rina terbangun di tengah malam, terjaga oleh suara Dika yang berbicara pelan di telepon. Dia bisa mendengar desah napasnya yang dalam dan nada suara yang berbeda dari biasanya. Rina berusaha untuk tetap tenang, tetapi rasa ingin tahunya tidak bisa ditahan.

Rina memalingkan tubuhnya, berusaha mendengar lebih jelas. Dika berada di ruang tamu, berbicara dengan seseorang yang suaranya tak dapat dikenali. Ketika Rina mencoba memejamkan mata, pikirannya terus melayang. "Siapa yang dia ajak bicara? Kenapa dia harus berbicara di luar kamar?"

Rina mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan, menatap ponsel Dika yang tergeletak di atas meja. Tanpa berpikir panjang, dia bangkit dari tempat tidur dan merangkak perlahan menuju ruang tamu.

Setiba di ambang pintu, Rina melihat Dika sedang duduk di sofa, matanya tertuju pada layar ponsel. Rina merasakan keraguan dan kecurigaan yang semakin menggelayuti pikirannya.

"Maaf, aku akan segera selesai," Dika berbisik, menyadari kehadiran Rina.

Dengan keberanian yang tersisa, Rina melangkah masuk. "Siapa yang kamu ajak bicara?" tanyanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Dika tertegun sejenak, sebelum menatap Rina dengan tatapan serius. "Hanya teman kerja. Kami membahas proyek yang mendesak."

"Teman kerja?" Rina mengulangi, merasa tidak puas. "Kenapa kamu tidak bisa bicara di dekatku? Apa yang kamu sembunyikan?"

Dika terlihat frustrasi, matanya menatap tajam. "Rina, aku tidak sedang melakukan apa-apa yang salah! Mengapa kamu terus memaksaku untuk memberi penjelasan?"

Rina menggelengkan kepala, merasa hatinya berdesir. "Karena aku merasa terasing, Dika. Kita seharusnya saling berbagi, tetapi aku merasa kamu menjauh dariku."

Dika menghela napas, ekspresinya melunak. "Aku tidak bermaksud menjauhkan diri. Ini hanya pekerjaan, sayang. Aku berjanji, aku akan lebih banyak di rumah."

"Janji? Kenapa rasanya semua itu hanya kata-kata?" Rina menantang, berusaha menahan air matanya.

Dika bangkit dari sofa, mendekat, dan meraih tangan Rina. "Aku tidak ingin kita berdebat lagi. Mari kita bicarakan ini dengan baik. Kita perlu menemukan solusi bersama."

Rina merasa hatinya bergetar saat melihat kerinduan dalam mata Dika. "Tapi bagaimana jika semua ini hanya permainan? Bagaimana jika kamu sudah jatuh cinta pada orang lain?"

Dika terdiam sejenak, seolah mengumpulkan kata-kata. "Rina, kamu adalah segalanya bagiku. Tidak ada orang lain. Jika aku benar-benar mencintaimu, aku tidak akan membiarkan kecurigaan ini menghancurkan kita."

Rina menatap Dika, mencoba membaca kejujuran di matanya. Dalam hatinya, dia berharap bisa percaya. "Tapi aku merasa hancur. Semua ini membuatku bingung."

Dika menarik Rina ke pelukannya, seolah ingin melindunginya dari segala ketakutan. "Kita akan mencari jalan keluar. Aku berjanji akan melakukan apa saja untuk membuatmu merasa aman dan dicintai."

Tapi dalam pelukan Dika, Rina masih merasakan dinginnya keraguan. "Apakah kita masih bisa kembali seperti dulu?" tanyanya pelan, hampir berbisik.

Dika mengangguk, tetapi Rina bisa merasakan ketidakpastian dalam jawabannya. "Kita bisa. Hanya butuh waktu."

Malam itu, Rina dan Dika duduk di sofa dalam keheningan, membiarkan pikiran dan perasaan mereka mengalir. Namun, di dalam hati Rina, bayang-bayang kecurigaan terus mengintai, menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali.

Hari-hari berlalu setelah perdebatan malam itu, tetapi bayang-bayang kecurigaan masih membayangi Rina. Dia berusaha untuk mempercayai Dika, tetapi semakin dia mencoba, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Setiap kali Dika pulang terlambat atau menerima panggilan mendesak, hatinya kembali bergetar dalam ketidakpastian.

Suatu malam, Rina berdiri di depan cermin, menyisir rambutnya, ketika ponselnya bergetar. Dia melihat nama yang tidak dikenalnya muncul di layar. Rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutannya. Dengan tangan yang sedikit bergetar, dia menjawab panggilan.

"Halo?" suaranya sedikit ragu.

"Rina?" suara di seberang terdengar familiar, tetapi tidak bisa dia ingat dari mana. "Ini Gita, teman Dika dari kantor. Apa aku mengganggu?"

Rina terdiam sejenak, mengingat nama itu. "Oh, halo. Tidak, tidak mengganggu. Ada yang bisa saya bantu?"

"Ya, sebenarnya aku ingin memberitahumu. Dika sedang banyak bekerja belakangan ini, dan mungkin dia tidak memberitahumu semua detail proyeknya. Tapi aku rasa dia tidak ingin kamu khawatir," kata Gita, suaranya terdengar manis dan bersahabat.

"Terima kasih, Gita. Aku... aku hanya merasa sedikit bingung." Rina berusaha tersenyum meski perasaannya campur aduk.

"Pasti sulit, ya. Kadang-kadang pekerjaan bisa sangat menekan. Jika kamu butuh berbicara, aku ada di sini. Dika sangat menghargai kamu," Gita menambahkan, tetapi Rina merasakan ada yang tidak biasa dari nada suaranya.

"Terima kasih," Rina menjawab, meskipun instingnya memberitahunya untuk berhati-hati. Dia menutup telepon dan berusaha menenangkan diri. Namun, percakapan itu malah menambah ketidakpastian dalam hatinya.

Ketika Dika pulang malam itu, Rina menunggu di meja makan dengan makanan yang telah disiapkannya. Dika tampak lelah, tetapi senyumnya seakan memberi sedikit harapan.

"Maaf, sayang. Lembur lagi," katanya sambil meraih piringnya.

"Gita meneleponku," Rina mengawali percakapan dengan hati-hati.

Dika mendongak, ekspresinya langsung berubah. "Oh, iya? Dia bilang apa?"

"Dia bilang kamu sedang bekerja keras dan tidak ingin aku khawatir," jawab Rina, mengamati reaksi Dika.

"Dia baik. Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Rina. Aku hanya ingin fokus pada pekerjaanku," Dika berkata, tetapi Rina menangkap sedikit keanehan dalam suara Dika.

"Dika, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Kenapa kamu tidak bisa memberi tahu aku lebih banyak?" Rina menatap Dika dengan mata penuh harapan.

Dika meletakkan sendoknya dan menatap Rina dalam-dalam. "Rina, aku sudah menjelaskan semua ini. Pekerjaanku tidak mudah. Jika aku memberitahumu setiap detail, itu hanya akan membuatmu semakin khawatir."

Rina menghela napas, merasa frustrasi. "Tapi, Dika! Kita sudah menikah, seharusnya kita saling berbagi, bukan? Kenapa kamu tidak bisa terbuka padaku?"

Dika terlihat bingung. "Aku berusaha, tetapi ini bukanlah tentang kita. Ini tentang pekerjaanku dan bagaimana aku bisa memberi yang terbaik untuk kita."

"Apakah itu benar-benar alasanmu? Atau ada yang lain?" tanya Rina, matanya mulai berkaca-kaca.

Dika mengusap wajahnya dengan tangan, tampak lelah. "Rina, tolong. Jangan terus mengulang pertanyaan yang sama. Aku mencintaimu, dan aku tidak ingin kita bertengkar."

"Jika kamu mencintaiku, maka buktikan! Beri aku kejelasan, Dika. Jika ada yang tidak beres, katakanlah!" suara Rina mulai meninggi, penuh emosi.

Dika beranjak dari meja, berjalan ke jendela, dan melihat ke luar. "Aku tidak tahu harus bilang apa. Kadang-kadang aku merasa tertekan dengan semua ini. Semua kecurigaan dan tekanan dari luar..."

Rina mendekat, berusaha meraih tangannya. "Aku hanya ingin mengerti, Dika. Jika kita terus bersembunyi di balik ketidakpastian ini, kita tidak akan bisa maju."

Setelah beberapa saat, Dika berbalik, matanya penuh dengan kelelahan. "Mungkin kita perlu mencari bantuan. Mungkin konsultasi dengan orang ketiga..."

Rina terkejut. "Orang ketiga? Apakah itu berarti kita sudah sampai di titik itu?"

Dika mengangguk pelan. "Jika kita ingin bertahan, kita harus berani menghadapi masalah ini bersama."

Rina merasa hatinya hancur. "Tapi itu artinya kita sudah gagal, kan? Apakah kita sudah tidak bisa mempercayai satu sama lain?"

Dika meraih bahu Rina, menatapnya dengan serius. "Tidak, kita tidak gagal. Kita hanya perlu mengakui bahwa kita butuh bantuan untuk menemukan jalan kembali."

Rina merasa jiwanya bergetar. Dalam hatinya, dia tahu Dika benar. Tetapi, rasa sakit dan keraguan itu sulit dihilangkan. "Aku tidak ingin kehilanganmu, Dika. Aku tidak ingin pernikahan kita menjadi sebuah kebohongan."

"Dan aku tidak ingin kamu merasa seperti itu. Mari kita hadapi bersama. Kita bisa melakukan ini," Dika berusaha meyakinkan Rina.

Di tengah malam yang sunyi, mereka berdua berdiri dalam keheningan, menimbang kata-kata yang baru saja diucapkan. Rina tahu mereka sedang berada di persimpangan yang penting, dan keputusan yang mereka buat selanjutnya akan menentukan masa depan cinta mereka. Bayang-bayang kecurigaan masih mengintai, tetapi ada harapan kecil bahwa mereka bisa menghadapinya bersama.

Dalam hati Rina, satu pertanyaan tetap menggantung: Apakah mereka cukup kuat untuk menemukan kembali cinta yang telah hilang?

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh dete

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku