Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Sang Majikan
"Mas, tolong bawa ibu ke rumahmu dong. Aku capek kalo begini terus ...." keluh Eliza di sambungan telepon pada Edo, Mas-nya yang tinggal beda kota dengannya.
Eliza sudah memikirkan hal ini sejak awal. Walau sebenarnya ia tidak ingin melewatkan bakti pada sang ibu, tapi ia tidak sanggup lagi menjalaninya. Tubuhnya benar-benar remuk. Lelah tidak hanya menerpa raganya, tapi juga membelit hati dengannya sangat erat.
Bagi Eliza, wajar saja jika ia meminta Edo untuk menjaga sang ibu. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dari orang tuanya, Edo cukup sukses dengan hidupnya sekarang. Sejak menikah dengan anak tunggal bos tempatnya menjadi karyawan dulu, hidupnya nyaris berubah seratus delapan puluh derajat. Ia awalnya hanya ditugasi untuk mengurus perusahaan milik sang mertua. Akan tetapi, setelah mertuanya berpulang, otomatis perusahaan itu menjadi tanggung jawab Edo sepenuhnya.
Eliza hanya mendengar helaan napas panjang dari Edo. Beberapa saat menunggu, ia tidak kunjung mendapat jawaban.
"Mas ...." panggil Eliza lagi.
"Mas kerja, El. Gimana bisa Mas ngurus ibu?" elak Edo.
Eliza memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja sakit. Semua itu karena jawaban Edo yang tidak masuk akal. Semua orang tahu, kalau Edo memang bekerja. Seorang pekerja kantoran yang selalu sibuk. Akan tetapi, bukankah ia mempunyai istri? Rasanya wajar saja, seorang menantu perempuan mengurus mertuanya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Kalaupun sang istri tidak sanggup melakukan semua itu, mereka adalah orang kaya. Tidak akan mengurangi hartanya sedikitpun. Jika sedikit saja disisihkan untuk menyewa seorang pembantu, untuk mengurus ibu.
"Tapi, Mas. Gak mungkin juga semua ini dibebankan sama aku seorang. Meski tidak bekerja, tapi aku punya dua balita yang supee aktif. Aku benar-benar kewalahan mengurus ibu, Mas." Lagi-lagi Eliza berusaha membujuk. Ia masih berharap, Edo memikirkan lagi semuanya.
"Kamu coba hubungi Mbak Eva deh. Mana tahu, ia mau bawa ibu ikut dengannya. Anak-anaknya udah pada besar. Pasti gak masalah baginya untuk ngurus ibu." Hening beberapa saat. "Udah ya, El. Mas lagi sibuk nih!" Sambungan telepon dimatikan begitu saja.
Eliza membanting ponselnya ke arah ranjang dengan kasar. Ia benar-benar stres dua hari ini. Ibunya, Minah, yang memang sudah nyaris lumpuh, hari ini menguras emosi Eliza. Sejak pagi, ia bolak-balik minta diantar ke kamar mandi. Alasannya sakit perut. Padahal belum beberapa detik sampai di kamar mandi, ia minta ke kamar lagi. Begitu seterusnya, sampai berulangkali.
Jika Eliza bersuara keras sedikit karena kesal, ia akan menangis tersedu-sedu lalu akan mogok makan. Apapun yang disediakan Eliza di meja kecil samping ranjangnya, tidak akan disentuh. Lalu, ujung-ujungnya, ia akan mengeluhkan sakit perut.
Kalau saja, tugas Eliza hanya mengurus ibunya, mungkin ia bisa berupaya lebih sabar. Akan tetapi, dengan mengurus dua balita super aktif, seluruh tenaga Eliza benar-benar terkuras. Rasanya ia sudah tidak memiliki kemampuan lagi. Sementara, jika dipikir-pikir, ibunya itu bukanlah tanggung jawabnya seorang. Masih ada dua saudara, yang memiliki kewajiban yang sama.