Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kenapa Kalian Membuang Ibu?

Kenapa Kalian Membuang Ibu?

Mikhayla_N

5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
56
Bab

Selama tinggal Eliza, anak bungsunya, Minah merasa hidupnya baik-baik saja. Eliza dan suaminya, Agung, menjaga Minah dengan baik. Meski dua anaknya yang lain, mengacuhkannya, Minah masih terawat hidup dalam penjagaan Eliza. Hingga tiba masanya Eliza harus pergi jauh mengikuti sang suami. Mau tidak mau, Minah harus tinggal bersama anak laki-lakinya, Edo. Ketika bersama Edo-lah, yang namanya penderitaan itu mulai dirasakan Minah. Sikap sang menantu, menjadi awal dari segalanya. Hingga hidup Minah berakhir di sebuah Panti Jompo. Dan, di sana jugalah Minah akhirnya mengembuskan napas terakhir, tanpa dampingan satu pun anak yang sangat ia cintai.

Bab 1 Lelah

"Mas, tolong bawa ibu ke rumahmu dong. Aku capek kalo begini terus ...." keluh Eliza di sambungan telepon pada Edo, Mas-nya yang tinggal beda kota dengannya.

Eliza sudah memikirkan hal ini sejak awal. Walau sebenarnya ia tidak ingin melewatkan bakti pada sang ibu, tapi ia tidak sanggup lagi menjalaninya. Tubuhnya benar-benar remuk. Lelah tidak hanya menerpa raganya, tapi juga membelit hati dengannya sangat erat.

Bagi Eliza, wajar saja jika ia meminta Edo untuk menjaga sang ibu. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dari orang tuanya, Edo cukup sukses dengan hidupnya sekarang. Sejak menikah dengan anak tunggal bos tempatnya menjadi karyawan dulu, hidupnya nyaris berubah seratus delapan puluh derajat. Ia awalnya hanya ditugasi untuk mengurus perusahaan milik sang mertua. Akan tetapi, setelah mertuanya berpulang, otomatis perusahaan itu menjadi tanggung jawab Edo sepenuhnya.

Eliza hanya mendengar helaan napas panjang dari Edo. Beberapa saat menunggu, ia tidak kunjung mendapat jawaban.

"Mas ...." panggil Eliza lagi.

"Mas kerja, El. Gimana bisa Mas ngurus ibu?" elak Edo.

Eliza memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja sakit. Semua itu karena jawaban Edo yang tidak masuk akal. Semua orang tahu, kalau Edo memang bekerja. Seorang pekerja kantoran yang selalu sibuk. Akan tetapi, bukankah ia mempunyai istri? Rasanya wajar saja, seorang menantu perempuan mengurus mertuanya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Kalaupun sang istri tidak sanggup melakukan semua itu, mereka adalah orang kaya. Tidak akan mengurangi hartanya sedikitpun. Jika sedikit saja disisihkan untuk menyewa seorang pembantu, untuk mengurus ibu.

"Tapi, Mas. Gak mungkin juga semua ini dibebankan sama aku seorang. Meski tidak bekerja, tapi aku punya dua balita yang supee aktif. Aku benar-benar kewalahan mengurus ibu, Mas." Lagi-lagi Eliza berusaha membujuk. Ia masih berharap, Edo memikirkan lagi semuanya.

"Kamu coba hubungi Mbak Eva deh. Mana tahu, ia mau bawa ibu ikut dengannya. Anak-anaknya udah pada besar. Pasti gak masalah baginya untuk ngurus ibu." Hening beberapa saat. "Udah ya, El. Mas lagi sibuk nih!" Sambungan telepon dimatikan begitu saja.

Eliza membanting ponselnya ke arah ranjang dengan kasar. Ia benar-benar stres dua hari ini. Ibunya, Minah, yang memang sudah nyaris lumpuh, hari ini menguras emosi Eliza. Sejak pagi, ia bolak-balik minta diantar ke kamar mandi. Alasannya sakit perut. Padahal belum beberapa detik sampai di kamar mandi, ia minta ke kamar lagi. Begitu seterusnya, sampai berulangkali.

Jika Eliza bersuara keras sedikit karena kesal, ia akan menangis tersedu-sedu lalu akan mogok makan. Apapun yang disediakan Eliza di meja kecil samping ranjangnya, tidak akan disentuh. Lalu, ujung-ujungnya, ia akan mengeluhkan sakit perut.

Kalau saja, tugas Eliza hanya mengurus ibunya, mungkin ia bisa berupaya lebih sabar. Akan tetapi, dengan mengurus dua balita super aktif, seluruh tenaga Eliza benar-benar terkuras. Rasanya ia sudah tidak memiliki kemampuan lagi. Sementara, jika dipikir-pikir, ibunya itu bukanlah tanggung jawabnya seorang. Masih ada dua saudara, yang memiliki kewajiban yang sama.

Eliza merasa keadaan ini tidak adil untuknya.

---

"Kan hanya kamu yang dapat warisan dari ibu, ya kamu lah yang ngurus ibu," ujar Eva waktu pertama kali Minah divonis stroke.

"Warisan apa maksud Mbak? Rumah ini?"

Setelah menikah dengan Agung, suaminya, Eliza memang tidak pernah pindah dari rumah Minah. Minah sendiri yang memintanya untuk tetap tinggal bersama. Saat ini, Minah masih sehat. Ia kuat, dan bahkan masih aktif berjualan sarapan pagi di depan rumahnya. Usaha yang sudah ia geluti bertahun-tahun, untuk menghidupi anak-anaknya setelah suaminya meninggal.

Eliza menurut. Lagipula, ia tidak tega meninggalkan ibunya tinggal sendiri. Beliau pasti akan kesepian.

Begitulah yang ada dalam pikiran Eliza. Akaj tetapi, bukan berarti dia enak-enak saja menerima harta satu-satunya yang dianggap warisan oleh Eva. Rumah tua milik orang tuanya itu, sudah rusak di sana ini. Eliza dan Agung pun, sudah mengeluarkan banyak uang untuk merenovasi.

"Ya, begitulah ...."

"Jika memang begitu yang kalian inginkan, baiklah," jawab Eliza, sembari menatap dua saudara yang ada di hadapannya. Keduanya sama saja. Hanya menampilkan wajah yang datar, tanpa ekspresi rasa bersalah sedikitpun.

---

Sudah tiga tahun berlalu, sejak peristiwa itu. Hanya Eliza yang selalu sabar mengurus Minah. Kedua kakaknya, tidak pernah berinisiatif untuk menggantikan tugas Eliza. Semua beban yang berat itu, hanya terbeban di pundak Eliza seorang. Bahkan, ketika anak keduanya lahir, tidak sedikitpun mengubah keadaan. Edo dan Eva tetap bertahan pada keadaan yang membuat mereka nyaman. Tanpa sedikitpun memikirkan bagaimana Eliza menjalani beratnya hidup.

Yang mereka berikan hanyalah berbentuk uang, untuk keperluan sang ibu. Membeli diapers, susu, hingga vitamin dan obat-obatan. Itupun tidak rutin. Terkadang, jika tidak diingatkan, Edo dan Eva akan lalai.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku