"Assalamu'alaikum, Nek."
Salmah mengetuk daun pintu mewah di hadapannya. Hingga beberapa kali barulah muncul si pemilik rumah yang dipanggil Salmah dengan sebutan Nenek.
"Wa'alaikum salam. Siapa?" daun pintu pun dibuka.
Wajah wanita tua itu terlihat tidak senang dengan kehadiran Salmah. Tanpa basa-basi ia langsung ingin menutup kembali pintu. Akan tetapi Salmah berusaha menahannya agar tetap pada kondisi terbuka.
"Tunggu, Nek! aku mohon!" wajah Salmah mengiba pada wanita tua itu.
"Apa lagi? pasti ingin menyusahkan lagi," ketus Wanita tua itu yang tidak lain adalah Nenek kandung Salmah.
"Ibu sedang sakit Nek, tolong pinjam uang untuk bawa ibu berobat!"
"Sudah Kuduga," sinis tatapan sang Nenek. Lalu ia melanjutkan ucapannya, "Tidak ada yang namanya pinjaman! Itu resikonya kalau durhaka kepada orang tua. Dibilang jangan menikah dengan Ayahmu itu.
Hidupnya miskin melarat, mana bisa membahagiakan Ibumu. Sekarang jalani saja! Toh itu pilihannya sendiri. Sudah sana kamu pulang!"
Pintu ditutup dengan keras hingga membuat Salmah terkejut.
Ini bukan yang pertama kali, namun tidak membuat Salmah jera. Kepada siapa lagi ia akan meminta bantuan kalau tidak kepada keluarga sendiri. Namun yang dianggap keluarga, tidak pernah sedikitpun peduli.
Begitu juga dengan Bibi dan Pamannya yang lain. Mereka semua sama saja, selalu menghina Ayah dan Ibu Salmah.
Menurut mereka, Ibu Salmah tidak ada lagi hubungan keluarga antara mereka semenjak Ibu Salmah memilih menikahi Ayah Salmah.
Menurut mereka, Ayah Salmah tidak sederajat dengan mereka.
Sepanjang perjalanan menuju pulang, uraian air mata berlinang di pipi Salmah.
Ia tidak habis pikir mengapa ada keluarga seperti itu?
Mungkin bisa dibenarkan semua sikap mereka karena rasa kecewa terhadap anak mereka. Namun adakah hati orang tua sekeras itu, membiarkan anaknya sendiri dalam kesusahan?
Salmah berdiri lesu di ambang pintu rumahnya yang reot. Terlihat Sang Ayah sedang menuntun ibunya keluar dari rumah reot mereka itu.
"Salmah, dari mana saja kamu nak?" ujar Pak Zainal melihat pada wajah putri bungsunya.
"Dari rumah Nenek Ayah."
Winda langsung menegakkan kepalanya. Menatap Salmah penuh marah.
"Apa yang kau harapkan di rumah itu, Salmah? sudah berapa kali Ibu melarangmu? lupakan mereka! anggap kita tidak punya keluarga di sini."
"Tapi, Bu. Ibu sedang membutuhkan biaya untuk berobat."
"Salmah, apa kamu tidak mencintai Ayahmu? apa kamu akan melukai hatinya dan pergi merendahkan harga dirinya di depan keluarga yang tidak menyukai Ayahmu ini?"
Air mata Winda berlinang. Ia terkulai lemah dalam dekapan suami yang selama ini sudah menjadi nahkoda dalam mengarungi samudera rumah tangga.
Meskipun Zainal tidak kaya seperti yang diharapkan orang tua Winda. Meskipun hidupnya dalam garis kemiskinan, namun Winda tidak pernah menyesal menikah dengan Zainal.
Bahkan ia sangat bahagia, karena Zainal selalu memperlakukan dia dengan baik dan lemah lembut.
"Sudah, Buk. Jangan marah, kamu lagi tidak sehat."
Zainal mencoba meredam amarah sang istri. Meskipun ia selalu tersakiti oleh keluarga Winda, tidak sedikit pun ia ingin menaruh dendam di hati. Menurutnya itu hanya akan membuat dirinya sendiri tidak tenang. Ia hanya mencoba mengikhlaskan semuanya kepada Sang maha kuasa.
"Maafkan Salmah, Ibu! Salmah hanya sangat khawatir dengan kondisi Ibu." Salmah meremas jari-jari tangannya dan menundukkan kepalanya, ada penyesalan di dalam hatinya saat ini.
"Ya sudah, kita bawa Ibumu ke puskesmas sekarang!"
Zainal menggendong Winda hati-hati. Berjalan setapak demi setapak menuju puskesmas terdekat. Salmah pun mengekori langkah sang Ayah dari belakang.
Setibanya di puskesmas, Winda langsung diperiksa.
Seorang Dokter muda lagi tampan yang kini memeriksa Winda saat ini. Di sampingnya pun terdapat beberapa orang Dokter muda juga.
/0/5959/coverorgin.jpg?v=543782c8ea248f792ca58290f3555fb4&imageMogr2/format/webp)
/0/19676/coverorgin.jpg?v=196c69bd67dd3749b9c2cc6f107083e1&imageMogr2/format/webp)
/0/5547/coverorgin.jpg?v=4029339d32ff0a77581a3df9e0c22aa7&imageMogr2/format/webp)
/0/3935/coverorgin.jpg?v=f23138bd86c6874af158b7eaa8a3a28c&imageMogr2/format/webp)
/0/5875/coverorgin.jpg?v=c6e5154480ac7a0afa70cb6bba42651a&imageMogr2/format/webp)
/0/17202/coverorgin.jpg?v=6ad645ff16bdfaca14f54eb1d2546bc1&imageMogr2/format/webp)
/0/22564/coverorgin.jpg?v=35c749934942f3459ec216751c43fdb1&imageMogr2/format/webp)
/0/23011/coverorgin.jpg?v=38fc038bd3669a53b93dab90eabfc2c3&imageMogr2/format/webp)
/0/29680/coverorgin.jpg?v=346a0775ae965b8a2e39f055e0123249&imageMogr2/format/webp)
/0/29163/coverorgin.jpg?v=c354ec2c6aed2db5390990818807a52d&imageMogr2/format/webp)
/0/2039/coverorgin.jpg?v=3d8cd84ad4908aa3769b5756d0bf67a8&imageMogr2/format/webp)
/0/27200/coverorgin.jpg?v=b250a528e180dbffa54c6e5df87dedc1&imageMogr2/format/webp)
/0/27225/coverorgin.jpg?v=afa14fbaade9b3a9d0c65a8433138a3b&imageMogr2/format/webp)
/0/27132/coverorgin.jpg?v=8a62a4074b9bfa878363e400e61cfb66&imageMogr2/format/webp)
/0/26710/coverorgin.jpg?v=b1cd94986537d9e613cddf067ac78116&imageMogr2/format/webp)
/0/29189/coverorgin.jpg?v=0833a9cb8133e62e2ac8bb4be13fef96&imageMogr2/format/webp)
/0/16078/coverorgin.jpg?v=c3990aa00c0bc5f2524051abfe2f061d&imageMogr2/format/webp)
/0/16886/coverorgin.jpg?v=c9265175ed17d54078e183f1c3216577&imageMogr2/format/webp)
/0/15510/coverorgin.jpg?v=dc3cc79b18515863a006a3df9c4993fa&imageMogr2/format/webp)