Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Tentang Harapan

Tentang Harapan

Yolaagst

5.0
Komentar
145
Penayangan
35
Bab

Perjodohan yang di lakukan berulangkali hingga tak ada yang berhasil menjadikanku seperti seseorang yang tak memiliki harga diri. Di tuntut untuk menjadi yang sempurna di antara yang lain membuat tubuhku terasa di tusuk dengan berbagai macam mata pisau. Setiap pasang mata itu menatap sinis padaku, seakan tak ada celah untuk mengorek informasi diriku. Ini hanya tentang rasa yang aku alami selama aku menjalani hidup. Jadi, kumohon berikan aku sebuah topangan berupa dukungan. - Jihan Adiztya Disinilah, kisah Jihan Adiztya yang menerima tekanan dari kedua orang tuanya, dituntut harus menjadi paling sempurna di antara yang lain dan yang terpenting para lelaki harus tunduk di hadapannya. Jihan berasal dari keluarga yang cukup. Namun, karena tuntutan segala hal membuatnya dijodohkan dengan siapa pun yang selalu saja gagal membuat sang Papa murka. Sampai suatu hari Jihan bertemu seorang lelaki yang menariknya jauh dari dunia gelap dalam hidupnya.

Bab 1 Keadaan

Bertahan atau Tersiksa

Keduanya bukanlah sebuah pilihan, tetapi sudah menjadi tuntutan

»|«

Hari Sabtu yang ke 18 kalinya, dilingkari pada kalender itu. Pintu kamarnya di buka oleh Irma, Mamanya.

"Apa yang kamu lihat? Cepat mandi, jangan lupa bersolek secantik mungkin."

Jihan Adiztya, gadis yang akan menginjak usia 18 tahun tersebut menghela nafasnya kasar, berjalan dengan gontai ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hanya butuh waktu 10 menit, Jihan keluar dari kamar mandi dengan bathrobe yang di pakainya.

Setiap malam Minggu sudah menjadi rutinitas untuk dirinya berpenampilan cantik dari sore hingga tengah malam. Jihan merasa seperti putri Cinderella yang berubah menjadi cantik dalam sekejap hingga melupakan siapa dirinya sendiri.

Jihan menatap tubuhnya yang terbalut gaun mini berwarna fanta yang sangat kontras. Warna kulitnya tidak seputih susu, namun warna kulitnya bersih dan cocok untuk warna kulit di Indonesia.

Tubuhnya kecil dan berisi di usianya saat ini, wajahnya pun tergolong cukup menarik untuk di lihat. Tatapannya berubah menjadi buram tertutup oleh genangan air di pelupuk matanya.

Jihan menggeleng, mencoba mengedipkan matanya berkali-kali agar tak menangis. "Astaga! Lo udah buang-buang waktu."

Kaki jenjang yang menggunakan heels setinggi tujuh sentimeter itu menuruni anak tangga dengan langkah yang cukup tergesa-gesa. "Maaf, Pa, Ma."

"Enggak apa-apa, telat 5 menit masih bisa Papa beri toleransi asalkan kamu bisa menarik hati Bara, lelaki yang akan kamu temui malam ini," ucap Rehan, Papanya dengan nada yang dingin.

Perjalanan yang di lewati sangat lancar tanpa ada hambatan seakan mendukung untuk perjodohan kali ini. Jihan tersadar dari lamunannya, ketika Irma menarik tangannya yang kini posisinya menjadi di antara Irma dan Rehan.

"Ingat! Jaga sikap dan jadi seanggun mungkin, supaya perjodohan kali ini kamu enggak di tolak lagi."

Jihan mengangguk, lalu melebarkan senyumnya seolah tak ada apa-apa. Padahal jauh di lubuk hatinya ini sedang di landa kegundahan setiap kali ada pertemuan dua keluarga di lakukan.

Rehan dan Irma berdiri saat melihat kedatangan keluarga Rama. Hal tersebut membuat Jihan ikut berdiri dari duduknya menyambut mereka bertiga.

"Selamat malam, Pak Rama."

Rama tersenyum. "Tidak usah formal begitu, apalagi kita akan menjadi besan." Lelaki itu menoleh ke arah Bara. "Kenalkan diri kamu."

Bara tersenyum mengulurkan tangannya ke hadapan Jihan yang langsung di balas oleh gadis itu. "Perkenalkan saya Bara Baskara."

"Jihan Adiztya," balas Jihan dengan senyum manisnya yang membuat Bara terpesona selama beberapa saat.

"Sebelum berbicara ke masalah inti, lebih baik kita makan malam terlebih dahulu," ucap Rama.

»|«

Makan malam telah usai. Kini, saatnya untuk Rama dan Rehan berbicara penting mengenai hubungan kedua anak mereka ke depannya.

"Berhubung Bara setuju, saya tak ingin basa-basi lagi. Sebelumnya, Jihan setuju juga dengan perjodohan ini 'kan?"

Rehan tersenyum menatap Jihan seolah memberi kode dengan tatapan tajamnya itu. "Tentu saja, Jihan setuju sejak dia tahu kalau akan di jodohkan. Betul 'kan, nak?"

"Iya, Pak Rama. Jihan percaya dan menerima perjodohan ini karena Jihan yakin pilihan orang tua adalah yang terbaik."

"Masa remaja kamu, gimana?" tanya Nita seraya memegang tangan Jihan.

"Enggak apa-apa, Bu Nita. Jihan ikhlas selagi bisa menjadi istri yang di idamkan oleh Mas Bara."

Kelima orang yang ada di meja makan ini tersenyum mendengar jawaban dari mulut Jihan.

Bara memegang kedua tangan Jihan dengan senyum di bibirnya. "Saya percaya kamu yang terbaik untuk saya." Lelaki itu menoleh kepada kedua orang tuanya. "Percepat pernikahan kami bulan depan, Pa."

"Baiklah, dua bulan lagi setelah acara kelulusan Jihan, pernikahan segera di laksanakan di tanggal 11 Juli nanti."

»|«

Esok harinya.

Jihan menempelkan sticky notes yang sudah di tulisnya ke cermin rias yang ada di kamarnya. Tertulis sebuah tanggal dimana dia dan Bara akan melaksanakan sebuah pernikahan yang di dalamnya tak terdapat ikatan cinta. Pikirannya melayang saat acara makan malam kemarin.

Petir bergemuruh membuyarkan lamunan Jihan akan kejadian tadi malam. Dia berjalan ke belakang pintu kamarnya mengambil sepatu heels-nya lalu berjalan keluar kamar setelah memakainya.

"Ma, Jihan hari ini harus keluar rumah sebentar. Mas Bara ngajak Jihan makan di luar."

"Ya sudah, taklukan hati dia. Kalau perlu kamu jangan pulang ke rumah sebelum dia bertekuk lutut di hadapan kamu."

Jihan mengangguk berjalan keluar rumah untuk menemui Bara yang sudah berada di depan rumah. Tanpa menunggu lama, Jihan langsung masuk ke dalam mobil putih milik Bara. "Kita mau kemana, Mas?"

"Makan malam dulu, ya. Setelahnya kita jalan-jalan supaya kenal lebih dekat lagi."

"Iya, Mas."

Mobil Bara berhenti di salah satu restoran khas Jepang. Keduanya turun dari mobil dan berjalan dengan tangan yang saling berpegangan. Lebih tepatnya, Bara yang memegang tangan Jihan.

Selagi menunggu pesanan datang, Bara menatap Jihan yang membuatnya kembali terpesona hanya melihat wajahnya yang sedang menatap ke luar jendela.

"Jihan."

Jihan menoleh dengan senyum yang mengembang. "Iya, Mas?"

"Kamu enggak keberatan dengan perjodohan ini? Apalagi kamu masih sekolah."

"Enggak, Mas. Lagi pula menikah muda apa salahnya?"

Bara menggenggam tangan Jihan. "Jika ada masalah bisakah kamu berbagi dengan saya? Kita lewati bersama-sama."

Hal itu sontak membuat hati Jihan bergetar karena tak pernah mendapat perhatian khusus seperti ini.

"Terima kasih, Mas. Aku akan coba lebih terbuka lagi. Begitu pula sebaliknya, Mas juga bisa 'kan terbuka dengan Jihan?"

"Iya."

Percakapan itu terpotong karena pesanan mereka sudah datang dan memutuskan untuk menghabiskan makanan masing-masing.

»|«

Hujan deras mengguyur kota malam ini membuat Jihan dan Bara terjebak macet. Keduanya tak memiliki tujuan setelah makan malam tadi.

"Kayaknya cuaca malam ini kurang mendukung, kita pulang aja, ya?"

"Ehm– terserah, Mas Bara aja."

"Oke, saya antar kamu pulang lagi." Bara tersenyum seraya menoleh kepada Jihan.

Mobil Bara berhenti tepat di pekarangan rumah Rehan. Sebelum Jihan turun dari mobilnya, dia menahan sebentar gadis itu. "Besok pagi, saya jemput untuk berangkat ke sekolah kamu."

Jihan mengangguk seraya tersenyum. "Mas, enggak akan mampir dulu?"

"Enggak perlu, sudah terlalu malam buat bertamu. Setelah ini langsung istirahat, ya. Saya pamit pulang sekarang."

"Hati-hati, Mas." Tangan Jihan terulur untuk mencium punggung tangan Bara membuat sang empu melongo dibuatnya.

Setelah itu, Jihan keluar dari mobil Bara dan berjalan masuk ke dalam rumah saat mobil lelaki itu sudah menjauh.

"Kenapa pulang?"

Pertanyaan ini langsung di lontarkan oleh sang Mama membuat Jihan menatapnya diam.

"Mas Bara yang anter pulang, Ma. Lagi pula besok Mas Bara mau anter Jihan sekolah."

"Bagus, tandanya Bara sudah mulai tertarik dengan kamu," ucap Rehan seraya menepuk bahu putrinya.

"Jihan pamit ke kamar dulu."

Di kuncinya kamar itu, lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang kesayangannya.

"Ke depannya akan ada apa lagi yang terjadi?"

»|«

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Cris Pollalis
5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku