Karena kesalahannya, Devan mendadak dikirimi bayi di depan rumahnya. Dan, dalam surat dinyatakan bahwa bayi itu adalah putrinya. Seketika, kehidupan masa muda Devan hancur karenanya. Kehadiran bayi itu menghambat kebebasan yang selama ini diam-diam dia curi. Devan makin kelimpungan saat putrinya mulai menanyakan keberadaan mamanya. Devan terpaksa mencari mama pura-pura untuk sang putri. Dan Kiaralah wanita tersebut.
"Wow! Akhirnya queen of late kita datang juga."
Kiara tersenyum tipis menanggapi ledekan Ayu. Napasnya masih tersengal karena berlarian tadi.
Queen of late, atau ratu telat. Yah, itu julukannya. Tidak ada hari tanpa datang terlambat. Untung saja pak Dedi-presdir perusahaan GF Corp-bossnya tidak terlalu memperdulikan hal tersebut. Asal tidak sampai merusak jadwal meetingnya.
"Gila lo, Ra. Ini hari pertama beliau loh. Gak takut kena damprat lo?" tukas Nadia.
"Buah jatuh gak jauh dari pohonnya. Semoga aja beliau bisa memaklumi gue, kayak pak Dedi," jawabnya santai.
"Ya, tapi kan setidaknya lo bikin kesan yang baik dong. Hari pertama, Kiara," ujar Ayu gemas. Mungkin heran saja dengan kesantaian gadis itu.
"Belum tahu aja dia, kejadian pagi tadi." Nadia tersenyum tipis, melirik ke arah Ayu.
"Bener. Buruan gih, ke ruangan beliau sekarang!"
Kiara mengangkat bahu, nanti saja. Keringatnya masih belum hilang. Ya kali, hari pertama ketemu sama boss baru dengan bau keringat. Makanya itu dia masih setia menikmati hembusan ac.
Jarak rumah Kiara ke kantor jauh banget. Itu pun harus naik bis dan berdempetan dengan penumpang lain. Sangat bersyukur dia punya boss sebaik pak Dedi. Tapi sayangnya beliau sekarang digantikan oleh anaknya.
Yah, semoga aja boss barunya sebaik pak Dedi. Dan bisa memaklumi keadaannya, dia cuma bisa berharap.
"Lo tahu, Ra. Beliau bahkan udah datang pagi-pagi banget. Gue aja kaget, pas baru tiba kok nemu orang guanteng. Eh, ternyata boss baru kita," tutur Ayu, matanya berbinar saat menyebut boss baru itu. Sesekali melirik ruangan di depan ruangan mereka. Ya, ruangan milik presdir. Mereka adalah karyawan atas dan langsung berurusan dengan presdir. Makanya ruangan mereka berada di lantai yang sama.
"Gila. Ganteng banget. Gue kira malah pangeran nyasar."
"Lebay lu, Nad." Kiara tertawa kecil. Seganteng apa sih boss baru itu. Sampek segitunya.
"He'eh. Gue langsung fallin love at first sigh. Kalau saja beliau gak ...."
"Ra, lo dipanggil ke ruangan pak Devan sekarang."
Satrio, orang kepercayaan pak Dedi tergesa-gesa memanggil Kiara, memotong perkataan Ayu tadi. Dia baru saja keluar dari ruangan presdir. Raut wajahnya terlihat buruk. Kiara menoleh ke arahnya.
"Pak Devan? Siapa?" Dahinya mengernyit, belum pernah denger nama itu, pikirnya.
"Ck. Presdir kitalah. Cepetan! sebelum beliau murka."
Satrio mendorong bahu Kiara padahal gadis itu kan masih ngeblank.
Apa mungkin pak Devan presdir baru itu? Pengganti pak Dedi. Hm, siap-siap pasang senyum terbaik. Siapa tahu beliau luluh, dan memaafkan keterlambatannya.
Kiara melenggang ke ruangan sang presdir dengan percaya diri.
.
.
Kiara ketuk pintu ruangan presdir barunya tersebut.
"Masuk!" terdengar suara berat dari dalam.
"Huft!" Gadis itu menarik napas dan mengeluarkannya, demi menetralkan perasaannya yang mendadak dagdigdug. Satu ulasan senyum tertarik di bibir tipisnya, sembari mendorong pelan pintu.
"Selamat pagi pak. Eh!"
Kiara terlonjak kaget mendapati seorang pria muda menghadang tepat di depan pintu. Tangannya bersidekap dengan tatapan tajamnya yang terlihat dingin.
"Siapa kamu!"
"Eh? A-anu ... Sa-saya sekretaris ..."
"Bukan urusanku."
Lah kok?
"Saya ...."
"Siapa kamu sehingga bisa berangkat lebih siang daripada saya!" tekannya. Bukan seperti pertanyaan, tapi lebih mirip penekanan.
Kiara menunduk. Aura-aura mengerikan sepertinya mulai mengelilinginya. Kiara, sepertinya kamu salah besar. Putra pak Dedi sama sekali tidak mirip dengan papanya.
"Maaf pak, saya tadi ketinggalan bis. Dan saya ...."
"Saya tidak peduli."
Pria itu membalikkan badannya. Lalu beranjak duduk di kursi kebesarannya. Dan kembali menatap gadis itu tajam.
"Kamu tahu kan? Tidak ada perusahaan yang mentolerir ketidak disiplinan. Datang terlambat bukannya cepat menemui saya malah berleha-leha, ngobrol santai. Kamu kira ini kantor milikmu?" tekannya.
Kiara menunduk. Dia tahu itu.
"Ini masih hari pertama saya disini saja, kamu sudah membuat saya kecewa. Kamu terlambat satu jam. Tahu?"
"Tahu pak." Kiara masih menunduk.
"Haish!" Pria itu membuang napas kesal.
"Tapi, saya biasanya juga terlambat pak. Dan pak Dedi memakluminya. Rumah saya jauh, harus naik bis dan ...."
"Hey! Saya gak nanya!"
Kiara langsung terdiam.
Mimpi apa dia semalam. Kenapa mendadak dapat boss jadi killer gini.
"Kalau pak Dedi memaklumimu, itu dulu, urusanmu dengan beliau. Tapi tidak dengan saya. Saya tidak suka ada karyawan yang tidak disiplin dan selalu menjawab. Apalagi bertindak sesukanya hanya karena sebuah kata 'maklum'. Hanya berpangkat pegawai saja kamu bertingkah. Bagaimana kalau jadi boss?" tatapannya tajam sekali. Kiara benar-benar menunduk. Tenggorokannya tercekat. Boss barunya mengerikan.
"Ah, bagaimana mungkin orang yang menjadikan terlambat sebagai kebiasaan bisa jadi boss. Imposible." Dia menyeringai, meremehkan. Yang membuat sang gadis semakin menunduk.
Ya Tuhan, kata-katanya menyakitkan. Air matanya yang hampir jatuh. Kiara menahannya kuat-kuat. Menggigit bibir bawahnya seiring dada yang kian menyesak.
"Hari ini kamu saya maafkan. Lain kali, kalau sampai terlambat, bahkan satu detikpun ..." tatapnya tajam.
"Jangan harap ada toleransi!" Intonasinya, dingin.
"Baik pak," jawab Kiara lirih.
Sorot matanya mengisyaratkan agar gadis itu segera keluar.
Dengan langkah gontai, Kiara melangkah keluar.
.
.
"Sabar, Ra. Jangan nangis dong."
Dinda dan Ayu yang melihat Kiara keluar dari ruangan presdir langsung menghampiri Kiara. Tanpa dia sadari, mereka tadi mengintip.
"Hiks ... hiks ... hiks ... Dia kejam. Huwaa!!"
"Udah, Ra. Boss kita emang kelihatannya garang gitu. Tapi dia ganteng kok."
"Hush!" Ayu memberi isyarat pada Nadia. Nadia nyengir.
"Dia cowok kok mulutnya pedes banget sih. Huhuhu... Gue mana betah kerja sama dia..."
"Tinggal keluar saja. Kamu kira saya peduli?"
"Eh."
Mereka langsung menunduk kikuk. Devan menatap mereka dengan wajah tanpa ekspresi. Salah satu tangannya dimasukkan ke saku. Sehingga menambah kesan keren sekaligus bossy nya.
"Maaf pak, tadi kami hanya bercanda kok. Hehe," Nadia nyengir.
"Iya pak. Benar. Cuma akting," tambah Ayu, takut-takut.
Ekspresi pria itu tidak berubah.
"Misi pak,"
Nadia dan Ayu melipir meninggalkan Kiara bersama boss barunya kembali ke meja mereka masing-masing.
"Asem, gue malah ditinggal sendirian," batin Kiara kesal.
"Kenapa diam saja? lanjutkan saja ngocehnya," ujarnya dengan tetap menatap tajam Kiara.
Kiara menghela napas. Kesal, tapi bagaimana lagi. Dia tetap pegawai, dan Devan adalah boss. Mau melawan sama saja cari mati.
Tangannya terulur menyeka air matanya yang tadi sempat turun.
"Maaf pak. Saya cuma sedikit kesal tadi."
Kiara diam saja. Tatapannya masih sama.
"Kesal? Bukannya harusnya saya. Baru hari pertama sudah mendapat karyawan mengecewakan sepertimu," ujarnya lalu kembali ke ruangannya lagi.
Blam!
Kiara berjingkat.
"Eh anjir! copot! copot!" racaunya. Kiara menatap pintu ruangan, geram.
"Aish! Bisa santai gak sih! Bikin orang jantungan saja," gerutunya.
----
GF Corp adalah salah satu dari tiga perusahaan besar di Indonesia. Perusahaan ini di bangun oleh Dedi Wibowo dari nol. Kini perusahaan itu di wariskan pada putranya.
Siapa sih yang bisa menyangkal pesona ganteng dari pemuda itu. Tubuh tingginya menyimpan badan yang kekar di balik jasnya. Wajahnya bersih dan rapi juga dengan rahang yang tegas. Sorot matanya tajam dan tegas.
Sayang, galak. Itu kesan pertama yang di tangkap oleh Kiara dan rekan-rekannya.
Pagi tadi saja, mereka kena semprot karena ada sesuatu yang tidak pas dengan prinsipnya. Apalagi Kiara, yang biasa datang terlambat, makin membuatnya tidak suka.
Sepertinya, dengan kedatangan Devan ini, bakal membuat keadaan di perusahaan GF Corp. berubah.
----
"Berkas untuk rapat besok sudah beres?" tanya Devan.
"Sudah pak." Kiara menyodorkan setumpuk berkas untuk pertemuan dengan kolega mereka besok.
Devan meraih berkas itu dan membacanya. Tangannya membuka lembaran demi lembaran. Semakin kesana, ekspresinya makin buruk. Dahinya mengernyit.
"Jangan bilang dia minta revisi. Semoga aja dia setuju. Please." Kiara meremas jemarinya, menahan napas.
"Itu usaha gue semalaman penuh. Jangan sampek berakhir di kotak sampah. Please," batinnya ketar-ketir.
"Huft!" Devan melepas kacamata yang tadi dipakainya. Mendorong tumpukan berkas.
"Bisa kau bacakan point 3"
"Ba-baik pak."
Kiara meraih berkas itu, lalu membaca yang di suruh bossnya itu.
"5!"
"7!"
"10!"
Begitu berkali-kali. Lama-lama kesal juga.
"Ck! Apa sebatas ini kemampuanmu?" tanyanya tajam.
"Saya sudah mengerahkan kemampuan saya pak."
"Kemampuan? kamu bilang kemampuan? Ck!"
Kiara menunduk. Meremas ujung blazernya.
"Besok temui orang ini." Tangannya menyodorkan sebuah kertas dengan alamat. Kiara meraihnya, dan melihat sejenak. Keningnya mengernyit. Untuk apa presdirnya itu menyuruh dirinya menemui orang ini.
"Dia yang akan membimbingmu belajar lagi."
"Ck! Bagaimana bisa papa bertahan dengan sekretaris sepertimu, dengan kemampuan yang hanya segitu?" lirihnya meremehkan.
"Maaf, Pak."
Kiara diam-diam meremas kertas yang diberikan oleh Devan. Menggerutu dalam hati.
"Sabar, Ra. Lo pasti kuat. Bertahan. Anggep aja itu mulut kayak comberan. Abaikan!"
"Perbaiki yang saya coret tadi. Dan jangan sampai ada yang salah."
"Baik, Pak."
"Nanti bawa lagi ke saya."
"Baik, Pak."
Apalagi kata yang pas untuk berucap 'baik' pada atasan bukan?
Kiara mengambil berkas tadi dan beranjak keluar. Namun, ketika dia hendak membuka pintu, tangannya tertahan. Ada yang membuka lebih dulu.
Seorang anak perempuan kecil. Berlari melewatinya.
"Papa!" teriaknya dan langsung menghampiri pria itu. Seorang wanita muda tersenyum pada Kiara, yang ia balas dengan senyum canggung. Pikirannya seketika tertuju pada panggilan anak itu.
"Pa-papa?" gumam Kiara.
Jadi pria itu sudah ...
Kiara menoleh.
Devan menyambut anak perempuan itu dengan wajah bahagia. Sorot wajahnya berubah lembut. Dia berjongkok dengan senyum manis yang belum pernah dilihat Kiara. Membuatnya terlihat lebih tampan dan berbeda.
"Rara kangen papa," ujar gadis kecil itu sambil memeluk Adam. Sepertinya bocah tersebut baru bisa ngomong 'R' terlihat dari aksennya.
"Aih anak papa, manjanya." Devan tertawa, tangannya mencubit hidung gadis kecil itu. Mereka tertawa-tawa.
Kiara tertegun.
Papa? Anak itu putrinya presdir? dan wanita ini ....
"A-apa itu benar ..."
Wanita muda itu tersenyum dan mengangguk.
"Benar. Dia Rara. Putri tuan Devan," jelasnya. Kiara makin syok.
"Ada yang bisa saya bantu nona?" tanya wanita itu lagi.
"La-lalu, istrinya? Apa itu anda?"
Perempuan itu malah tertawa.
"Bukan. Saya baby sitter Rara. Tuan Devan, beliau orang tua tunggal."
"Orang tua tunggal? maksudnya ..."
"Nin! Ayo makan siang," ajak Devan, memotong perkataan Kiara.
"Baik, Tuan."
Devan menggendong Rara dengan Nina berjalan beriringan. Seperti keluarga muda. Devan melewati Kiara yang masih terpaku. Sementara Nina masih meninggalkan senyum.
Beberapa detik, dia masih syok dengan kenyataan dan begitu sadar, dia langsung beranjak dari tempatnya.
.
.
"Ya ampun, jadi presdir kita sudah punya anak?"
Di luar ternyata gosip lebih panas lagi. Kiara yang masih syok hanya bisa terdiam, meski telinganya tetap menangkap obrolan mereka.
"Dan berapa tadi umurnya? what! masih dua enam? gila. Anaknya saja sepertinya berusia empat tahun. Jadi presdir punya anak saat berumur dua dua? Gila gilaaa!"
Kiara mengenggam tangannya sendiri. Umur yang sama. Matanya memejam kuat. Bayangan anak kecil itu justru semakin terlihat jelas di pelupuk matanya.
"Tapi, omong-omong gue mau sih jadi istrinya pak Devan. Secara ganteng gitu. Duh, papa muda."
"Gue juga mau. Yah, meski galak, tapi sepertinya dia penyayang. Nyatanya anaknya tadi terlihat senang kan saat mau menemui pak Devan."
"Benar. Sepertinya dia tipe penyayang."
"Eh, tapi ngomong-ngomong perempuan tadi siapa? jangan-jangan istrinya? Duh. Jangan deh."
"Bukan, itu tuh baby sitternya."
"Berarti dia duren dong."
"Bukan duda, tapi kabarnya itu anak hasil ...."
Cukup!
Kiara tak tahan lagi. Dia butuh ketenangan. Dia meletakkan tumpukan berkasnya tadi ke sembarang meja dan berlari ke toilet.
Bab 1 Petaka Boss Baru
17/05/2022
Bab 2 Hari yang Sial
17/05/2022
Bab 3 Awkwark moment
17/05/2022
Bab 4 Calon Mama
17/05/2022
Bab 5 (Diam-diam) Tidak (Peduli)
17/05/2022
Bab 6 Wanita Bulan
17/05/2022
Bab 7 Perawat Galak
17/05/2022
Bab 8 Masalalu Kelam
17/05/2022
Bab 9 Kenapa Baru Merasa
17/05/2022
Bab 10 Lorong Gelap Malam itu ...
17/05/2022
Bab 11 Seratus Ribu
19/05/2022
Bab 12 Bertemu Kembali
19/05/2022
Bab 13 Dendam
19/05/2022
Bab 14 Bandrol Harga
19/05/2022
Bab 15 Honey Moon
19/05/2022
Bab 16 Not First
19/05/2022
Bab 17 Semakin Dekat
19/05/2022
Bab 18 Teror
19/05/2022
Bab 19 Pasangan Serasi
19/05/2022
Bab 20 Taki
19/05/2022
Buku lain oleh FitriElmu
Selebihnya