/0/23011/coverbig.jpg?v=38fc038bd3669a53b93dab90eabfc2c3&imageMogr2/format/webp)
"Sakit, mas...." Jeritku tertahan saat tubuh lelaki yang bergelar suami itu mendorong tubuhku. Tidak sedikitpun dia peduli seberapa banyak airmata yang tertumpah dan bibirku yang merintih menahan sakit. "Ini kan, yang kamu ingin?" Dengan sangat kasar, dia berikan nafkah batinnya padaku. Nafkah yang aku dapatkan dengan cara merendahkan diri tidak ubahnya bagai pengemis. Aku tahu, dia menikahiku karena terpaksa. Dan aku juga mengerti, cinta dalam hatinya adalah untuk wanita lain. Namun, jika memang dia tidak bisa menganggapku sebagai seorang istri, tak bisakah dia memandangku sebagai seorang perempuan yang pantas untuk dihormati dan dimuliakan?
"Kalau begitu, ayo kita lakukan sekarang!" Suara Mas Ammar terdengar seperti gemuruh petir yang tertahan di langit mendung. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras, dan matanya menyala oleh bara yang tak kunjung padam.
Tangannya mencengkeram pergelangan tanganku, dingin dan kaku. Dia menarikku dengan paksa, menyeretku mendekati ranjang seolah aku tak lebih dari barang tak bernyawa. Bahunya menekan bahuku, kuat dan mengancam. Dalam sekejap, tubuhku terdorong ke belakang, kehilangan keseimbangan, lalu terhempas di atas tempat tidur dengan tubuh gemetar.
Aku tergugu, tak mampu bergerak. Seakan dunia berhenti berdetak. Nafasku sesak. Ketakutan menyergap seperti kabut yang pekat. Saat dia naik ke atas ranjang, hatiku mencelos. Tubuhku kaku. Satu-satunya hal yang mampu kulakukan hanyalah memejamkan mata-berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang segera berakhir.
"Bukankah ini yang kamu inginkan?" gumamnya, dengan suara yang lebih dingin dari angin malam. Jemarinya mencengkeram daguku, memaksa wajahku menengadah.
"Buka matamu dan tatap aku!" bentaknya. Aku bergetar. Kedua pipiku ditekan keras, hingga rasa nyeri menjalar ke rahang. Aku mencoba menggeleng, namun usahaku sia-sia.
"Sakit, Mas..." ucapku lirih. Namun suaraku tenggelam dalam kemarahan yang menutup telinganya. Seakan rasa sakitku adalah sesuatu yang pantas ia abaikan. Justru tekanan di wajahku semakin dalam, membuatku nyaris tak mampu bicara.
"Apakah kamu pikir aku akan memperlakukanmu dengan lembut? Dengan cinta? Jangan bermimpi!"
Dengan kasar, dia melepas cengkeramannya dari pipiku, membuat kepalaku terhuyung. Aku menahan perih dengan isakan tertahan. Air mata tak mampu kucegah. Mengalir seperti sungai di musim badai. Hati ini seperti ditampar berulang kali oleh kenyataan yang tak bisa kutolak: aku istri yang tak dianggap.
Setiap perkataannya adalah luka. Setiap tatapannya adalah cambuk bagi harga diriku sebagai perempuan. Sungguh, dia memperlakukanku seolah aku adalah beban, bukan pasangan hidup. Seolah aku hanyalah alat yang bisa dia gunakan untuk melampiaskan kekesalannya terhadap takdir.
Ketika dia akhirnya menjauh dariku, bukan kelegaan yang kurasa. Justru rasa hampa yang lebih menusuk. Aku mengusap pipi yang memerah karena tekanan. Tubuhku masih bergetar, dan hatiku jauh lebih remuk daripada ragaku. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis dalam diam, menanggung semua rasa sakit yang tak dapat kulukiskan.
"Jangan pernah meminta lagi kecuali aku yang menginginkan," ucapnya, dengan suara dingin yang mengiris lebih tajam dari belati.
Aku terdiam. Apa maksudnya? Apakah aku hanya pelengkap syarat semata dalam hidupnya? Tidakkah dia sadar, bahwa hubungan suami istri seharusnya dilandasi kasih dan ridha, bukan paksaan dan kebencian?
Ini bukan hanya tentang tubuh. Tapi tentang hati. Tentang luka yang dia ukir dalam-dalam di dalam batinku. Dia mengira semua akan selesai begitu saja, bahwa aku tak akan menyimpan apa-apa. Tapi nyatanya, setiap kata dan perbuatannya telah membekas. Mengendap di relung jiwa.
Sejak malam pertama kami, kamar ini sunyi. Bukan sunyi yang menenangkan. Tapi sunyi yang menyayat. Mas Ammar selalu datang larut malam, setelah semua energinya terkuras oleh berbagai alasan. Dia tidur di sofa, membelakangiku. Tidak pernah menyentuhku, apalagi menyapaku.
Di hadapan Abah dan Ummi, dia memerankan suami sempurna. Mencium keningku di pagi hari. Menggenggam tanganku dengan penuh kasih. Bahkan memuji masakanku di hadapan mereka. Tapi ketika pintu kamar tertutup dan hanya kami berdua, wajahnya berubah. Semua keramahan itu lenyap. Yang tersisa hanyalah kebisuan dan penolakan.
Apakah salah jika aku berharap dicintai oleh suamiku sendiri? Apakah aku terlalu naif menginginkan rumah tangga yang hangat dan penuh kasih?
Aku sudah mencoba segalanya. Belajar memasak makanan kesukaannya. Mencoba tampil cantik meski hati tak menentu. Menyapanya dengan lembut. Tapi dia tetap dingin, tetap menjauh. Seakan setiap usahaku hanyalah sia-sia.
Aku tahu, hatinya masih tertambat pada perempuan lain. Tapi tak bisakah dia sedikit saja membuka ruang untukku? Untuk cintaku? Atau setidaknya menghormati keberadaanku sebagai perempuan?
Setiap malam, aku bertanya pada Tuhan... untuk apa pernikahan ini jika hanya mendatangkan luka? Apakah rumah tangga ini hanyalah panggung sandiwara demi menyenangkan hati orang tua?
Masih jelas dalam ingatanku malam pertama itu. Saat aku menunggu dalam balutan harap dan degup bahagia. Tapi harapan itu diruntuhkan dengan satu kalimat yang menyayat:
"Pernikahan kita hanya sebatas di atas kertas. Jadi, jangan pernah berharap aku menganggapmu sebagai istri yang sesungguhnya."
Aku masih ingat suara hujan di luar jendela. Dentingnya bersahutan dengan degup jantungku yang meredup. Aku memeluk diriku sendiri di tengah malam yang dingin, meringkuk seperti anak kecil yang kehilangan rumah.
Sejak saat itu, aku tahu... cintaku akan terus diuji. Tapi aku tidak pernah menyangka, ujian itu akan sekejam ini.
Bukan hanya hatiku yang dia hancurkan. Tapi juga harapanku. Harga diriku. Dan kemanusiaanku.
Kini, yang tersisa hanyalah pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban.
Jika dia tak mencintaiku, mengapa dia menikahiku?
Jika dia tak menganggapku istri, mengapa dia memperlakukan tubuhku seperti miliknya?
Dan jika pernikahan ini hanya pura-pura, tidakkah dia sadar bahwa yang dia sakiti bukan hanya tubuhku... tapi seluruh jiwaku?
Bab 1 Bukan Malam Pertama
03/03/2025
Bab 2 Cairan Hangat
03/03/2025
Bab 3 Hanya Di Atas Kertas
03/03/2025
Bab 4 Mari Kita Akhiri!
03/03/2025
Bab 5 Terhalangi
03/03/2025
Bab 6 Tangis Dalam Diam
03/03/2025
Bab 7 Tak Sanggup Lagi
03/03/2025
Bab 8 Jangan Mencariku!
03/03/2025
Bab 9 Sing Tatag, Nduk!
03/03/2025
Bab 10 Merenda Nestapa
03/03/2025
Bab 11 Kelimpungan
03/03/2025
Bab 12 Tidak Ada Pilihan Lain
03/03/2025
Bab 13 Seberapa Batas Sabar
03/03/2025
Bab 14 Beri Dia Waktu
07/04/2025
Bab 15 Bilang Kalau Selingkuh
08/04/2025
Bab 16 Jalan Surga yang Lain
09/04/2025
Bab 17 Jangan Bicara Etika
10/04/2025
Bab 18 Kembalilah!
11/04/2025
Bab 19 Kau Harus Pulang
13/04/2025
Bab 20 Lepaskan Jika Tidak Cinta
18/04/2025