"Sakit, mas...." Jeritku tertahan saat tubuh lelaki yang bergelar suami itu mendorong tubuhku. Tidak sedikitpun dia peduli seberapa banyak airmata yang tertumpah dan bibirku yang merintih menahan sakit. "Ini kan, yang kamu ingin?" Dengan sangat kasar, dia berikan nafkah batinnya padaku. Nafkah yang aku dapatkan dengan cara merendahkan diri tidak ubahnya bagai pengemis. Aku tahu, dia menikahiku karena terpaksa. Dan aku juga mengerti, cinta dalam hatinya adalah untuk wanita lain. Namun, jika memang dia tidak bisa menganggapku sebagai seorang istri, tak bisakah dia memandangku sebagai seorang perempuan yang pantas untuk dihormati dan dimuliakan?
"Kalau begitu, ayo kita lakukan sekarang!" Suara mas Ammar berteriak tertahan. Gejolak amarahnya sudah tidak bisa dia bendung.
Mas Ammar mencekal pergelangan tangan kananku. Menarikku dengan paksa hingga mendekati tempat tidur. Lalu pria yang bergelar suami itu mencengkeram kedua bahuku. Lalu
Mendorong tubuh mungilku dengan bertenaga. Aku mundur hingga ke tepian ranjang. Sehingga membuat kedua kakiku tidak mampu lagi menopang tubuhku sendiri. Aku kehilangan keseimbangan. Terjerembab. Jatuh di atas pembaringan.
Aku menggigil ketakutan. Rasa takut yang menyelimutiku membuatku terpaku di tempat. Terlebih saat dia merangsek naik ke atas pembaringan.
Mataku terpejam. Tidak kuasa aku melihat tatapan matanya yang penuh dengan dendam dan amarah. Juga penuh dengan kebencian.
"Bukankah ini yang kamu inginkan?" Geramnya seraya memegang daguku dengan salah satu tangannya.
"Buka matamu dan tatap aku!"
Aku berjengkit ketakutan. Mas Ammar menekan kedua belah pipiku dengan ibu jari dan keempat jarinya yang lain. Memaksaku untuk menatap ke arahnya.
"Sakit, mas." Rintihku dengan suara yang nyaris tidak jelas terdengar. Namun mas Ammar tidak peduli. Dia justru semakin memperdalam tekanannya. Hingga untuk berbicara pun aku merasa kesulitan. Dan tentu saja itu membuatku kesakitan.
"Apakah kamu berharap aku akan memperlakukanmu dengan lemah lembut? Menyentuhmu dan membelaimu dengan penuh cinta?" Tanyanya mengintimidasi.
Seharusnya pertanyaan seperti itu tidak perlu dia lontarkan. Karena aku yakin, dia sudah mengerti jawabannya. Meski tanpa aku mengatakan. Wanita mana yang tidak ingin diperlakukan dengan lembut oleh suaminya?
"Jangan mimpi!!!"
Mas Ammar melepas tekanan di pipiku dengan mendorongnya secara kasar. Aku menjerit tertahan.
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis dan pasrah. Sungguh, mas Ammar telah memperlakukan aku dengan begitu buruk. Perintah Tuhan untuk memperlakukan istri dengan baik seolah hanya seperti dongengan saja. Dia begitu kasar. Seolah aku ini adalah wanita yang tidak memiliki harga diri dan perasaan saja. Sehingga dia bisa memperlakukan aku sesuka hatinya.
Setiap sentuhannya adalah amarah. Sorot matanya penuh nafsu bahimiyah.
Aku ini istrinya. Namun sedikitpun dia tidak pernah menganggap aku sebagai bagian dari kehidupannya. Cintanya tidak pernah ada sedikitpun untukku.
Aku mengusap kedua belah pipiku yang basah oleh air mata manakala mas Ammar bangkit. Dia melepas kungkungannya terhadapku. Namun tidak berhenti di situ. Dia justru beralih meremas bagian sensitif pada bagian dadaku dengan sangat kasar. Seolah dia memang sengaja ingin menyiksa jiwa ragaku. Mencederai seluruh bagian tubuhku.
"Sakit, mas." Erangku lagi.
Lagi airmata mengalir di pipi. Tidak hanya kesakitan fisik yang aku rasakan. Namun jiwaku juga tersakiti. Pipiku yang basah sedikitpun tidak bisa menggugah rasa iba dalam hatinya. Dia terus saja melancarkan aksinya. Seluruh penutup auratku dia lepas dengan paksa. Sungguh, dia telah memperlakukan aku saat itu seperti perempuan jalang saja. Jangankan kata cinta yang syahdu mendayu. Bahkan sentuhannya saja sungguh kasar dan menyakitkan.
"Kamu yang memintanya. Maka nikmati saja dan jangan mengeluh!"
Aku hanya bisa pasrah dengan apa yang dia perbuat. Sepasang suami istri seharusnya melakukan penyatuan jiwa raga dengan penuh cinta. Berawal dengan kata-kata manis merayu. Kemudian saling berpagut dalam kasih. Mendesah menikmati setiap sentuhan. Tapi itu tidak berlaku bagiku. Tidak. Sama sekali tidak. Setiap sentuhannya adalah siksaan. Yang hanya membuatku menjerit tertahan karena rasa sakit yang dia berikan.
"Bukankah kamu ingin menuruti permintaan abah dan ummi? Bukankah kamu ingin segera memberi mereka cucu?"
Di atas ranjang yang setiap malam aku tidur sendirian hampir tujuh purnama itu, dia lampiaskan amarahnya padaku. Dia cabik perasaanku sebagai seorang istri dengan perlakuan yang dipenuhi gelora syahwat bercampur murka. Dia koyak harga diriku. Seolah aku ini hanyalah wanita yang tidak memiliki kehormatan. Tidak pantas dimuliakan dan tidak pantas digauli dengan cara yang baik dan lemah lembut.
Rasa nyeri, perih, dan ngilu membuat air mataku semakin deras terdesak keluar. Aku menggigit bibirku sendiri karena rasa sakit itu. Bisa bayangkan bagaimana rasanya? Hal yang baru pertama kali dalam seumur hidupku, aku dapatkan dengan begitu kasar.
Sungguh ini jauh dari bayanganku. Khayalanku, impianku setiap hari adalah bercinta bersama suami dengan penuh kasih. Dihujani dengan sentuhan-sentuhan lembut dengah bisikan merdu kata-kata manis mengundang kehangatan karena nyala api cinta yang berkobar. Hingga melambungkan anganku melayang jauh ke atas awan. Menari di antara taburan bintang-bintang. Tapi, yang aku dapat justru sebaliknya. Tidak lain hanyalah rasa sakit yang berlebih. Sakit yang tidak hanya aku rasakan pada ragaku saja. Tapi juga pada hati dan jiwaku.
"Aku kira, sekali sudah bisa membuatmu hamil." Ucap mas Ammar tepat di depan wajahku. Wajah tegangnya mulai mengendur.
"Setelah ini jangan pernah kamu meminta lagi kecuali aku sendiri yang menginginkan." Lanjutnya lagi dengan penuh penekanan.
Apa dia bilang? Kecuali dia sendiri yang menginginkan? Bukankah itu sangat egois? Lalu aku ini dia anggap sebagai apa?
Aku menahan isak tangisku. Ini adalah sebuah proses yang sakral dalam upaya untuk melahirkan generasi penerusnya. Tapi kenapa dia tidak melakukannya dengan penuh cinta? Meski dia tidak mencintaiku, apakah tidak bisa dia menganggap ini sebagai satu bagian dari ibadah? Yang harus dilakukan dengan cara yang baik dan penuh khidmat?
Sejak malam pertama dia sudah menolakku. Dia tidak pernah mau menyentuhku. Hari-hari berlalu dengan begitu kaku. Terasa dingin dan beku. Tidak ada tawa canda ria selayaknya pengantin baru pada umumnya. Kamar ini selalu sunyi.
Segala upaya telah aku lakukan untuk membuat hatinya luluh. Lalu perlahan mulai mencintaiku. Tapi apalah dayaku? Upayaku selalu gagal.
Kehidupan yang kami jalani penuh dengan sandiwara. Apalagi di hadapan abah dan ummi. Di luar, aku dipaksa oleh mas Ammar agar berprilaku seperti seorang istri yang sebenarnya. Mas Ammar begitu manis dan romantis jika di depan abah dan ummi.
Dengan sangat lembut dia akan menciumku. Menggandeng tanganku tanpa rasa kikuk. Atau sekedar basa basi memuji masakanku. Atau memuji penampilanku. Tapi jika sedang berdua saja, maka dia akan menjauhiku. Seolah jijik terhadapku. Benar-benar munafik.
Dan ketika malam datang menyapa, dia akan masuk ke dalam kamar saat hari sudah sangat larut. Terkadang dini hari. Saat raganya sudah benar-benar lelah dan tidak ada lagi energi yang tersisa. Bukan dengan tidak sengaja dia melakukan itu. Aku tahu, dia memang menghindariku. Membentengi nafsu biologisnya dengan berbagai aktifitas yang menguras seluruh energinya. Lalu masuk ke kamar dan tidur di sofa.
Aku tahu jika dia masih menyimpan cinta sepenuh hatinya untuk perempuan lain. Namun tidak bisakah dia menyisihkan sedikit saja ruang untuk cintaku? Tidak bisakah dia sedikit demi sedikit belajar untuk menerimaku sebagai istrinya?
Atau jika memang dia tidak bisa menganggapku sebagai seorang istri, tak bisakah dia memandangku sebagai seorang perempuan yang pantas untuk dihormati dan dimuliakan?
Lalu menghilang ke manakah ajaran Tuhannya tentang cara menghormati dan menghargai perempuan? Apakah ilmunya hanya sebatas teori saja?
Bukankah mas Ammar tahu, jika pernikahan itu merupakan suatu organisasi kecil yang memiliki aturan dalam pengelolaannya? Bukankah seharusnya suami maupun istri itu hendaknya memperlakukan, menggauli, menjaga dan merawat pasangannya dengan cara yang ma'ruf?
Tapi sejak malam pertama kami, mas Ammar sudah memperlakukan aku dengan begitu buruk.
Masih terngiang di telingaku saat dia menolak malam pertama kami.
"Pernikahan kita hanya sebatas di atas kertas. Jadi, jangan pernah berharap aku menganggapmu sebagai istri yang sesungguhnya."
Perkataannya terdengar bagai sambaran petir di telingaku. Bahkan lebih keras dari suara petir yang menyambar di luar kamar pengantin kami. Diiringi oleh guyuran air hujan yang begitu deras.
Jangan kalian tanyakan bagaimana perasaanku saat itu. Tentu saja itu sangat menyakiti relung hatiku hingga ke dasar yang paling dalam.
Malam romantis yang aku dambakan saat itu, hanyalah impian belaka. Aku memeluk tubuhku sendiri yang kedinginan. Meringkuk seraya tak henti menangis.
Jika dia tidak mencintaiku, lalu kenapa dia menikahiku?
Tidakkah dia menyadari bahwa dia telah berbuat dzolim terhadapku dengan mempermainkan perasaanku?