/0/20687/coverorgin.jpg?v=cd1175ed73971d72d14a9d65cc1c01ff&imageMogr2/format/webp)
"Kembalikan! Tolong kembalikan kalung itu!" seru seorang wanita dengan hidung pesek pada seorang perempuan lain yang mengenakan seragam pelayan.
"Ini punya saya! Bagaimana bisa Nona Adelia mengaku kalung ini milik Anda," ujarnya menepis tangan perempuan tersebut.
"Kalung itu punyaku, Sarah. Satu-satunya harta yang kumiliki, kumohon jangan ambil!" Adelia berlutut dan memegang lutut di depan pelayan yang mengenakan seragam hitam putih.
Perempuan dua puluh tiga tahun itu tidak perduli meski harus berlutut dan mengemis di hadapan pelayan tersebut. Dirinya hanya menginginkan kalung yang dibawa oleh Sarah, ART di rumah sang suami.
Adelia tidak perduli kalau Sarah mengambil perhiasan miliknya yang lain. Akan tetapi, kalung tersebut satu-satunya benda yang tidak akan dia serahkan begitu saja.
Sarah, perempuan keturunan Sunda dengan hidung mancung itu menepis tangan Adelia kemudian berjongkok. Dia mencengkram wajah kusam sang majikan, mengabaikan jika perempuan itu meringis kesakitan.
"Anda lupa peraturannya, Nyonya Adelia?" tanya Sarah penuh penekanan. "Apa yang sudah di tangan saya, menjadi milik saya." Sarah melepaskan cengkeramannya dengan kasar dan kembali berdiri.
"Ambil yg lain! Tetapi jangan yang satu kalung itu, kumohon," iba Adelia sembari memegang ujung baju Sarah.
"Lepas! Jauhkan tangan kotor Anda dari tubuh saya!" teriak Sarah sembari menendang Adelia.
Brak!
"Ada apa ini?! Kenapa kalian membuat keributan!" Terdengar sebuah suara, memberikan secercah harapan untuk Adelia. "Kamu lupa apa yang kukatakan padamu, Sar! Di depan lagi ada acara, pastikan jalang ini untuk diam!" seru seorang pria yang masuk dengan wajah kesal.
Sarah menunduk. "Ma-maafkan saya, Tuan. Nyo-nyonya Adelia berusaha meminta kalung saya," gagap Sarah membuat wajah Adelia pucat seketika.
Adelia menggeleng, memandang sosok yang berdiri di samping Sarah ketakutan. "Bo-bohong, Mas. Sarah mengambil kalungku, hartaku satu-satunya," cicit Adelia beringsut mundur.
"Lihat kan, Tuan. Nyonya mengakui kalung saya sebagai miliknya." Sarah memandang sinis Adelia.
"Kalung itu memang milikku! Pemberian dari Kak..."
Plak!
Wajah Adelia berpaling akibat tamparan dari pria di depannya, bibir perempuan itu bahkan terluka. Pria tersebut berjongkok dan mencengkram wajah Adelia, memaksa wanita itu untuk menatapnya.
"Diam! Kamu bisa membuatku malu karena teriakanmu!" desis pria tersebut. "Kamu mau semua orang tahu kalau aku mengucilkan istriku di sini, hah!"
Napas Adelia tercekat, perih pada bibir dan panas pada pipinya tidak seberapa dibandingkan dengan hatinya. Bahkan setelah bertahun-tahun menikah, Bagas Radithya Wijaya masih sama kasarnya ketika ia baru tiba di rumah ini sebagai istrinya.
Air mata Adelia mengalir kencang, meringis ketika sang suami mengeratkan cengkraman nya. Sama seperti sebelumnya, ia semakin di dorong ke dalam jurang keputusasaan oleh keluarganya sendiri.
Bagas melepaskan cengkeramannya dengan kasar kemudian menarik rambut Adelia. Membuat wanita itu mendongak dan mengerang kesakitan.
Adelia dapat melihat Sarah menyeringai dan memandangnya dengan tatapan mengejek. Dirinya tidak lebih dari tawanan yang tinggal menunggu hukuman mati.
"Sa-sakit, Mas...am-ampunn!!" rintih Adelia, membuat Bagas semakin mengeratkan jambakannya.
"Berhenti mengeluarkan suara, mengerti!" peringat Bagas sembari memandang Adelia dengan tatapan tajamnya. "Mengerti, Lia!" Bagas menarik kuat rambut Adelia ketika tidak ada kata yang terucap dari bibir perempuan itu.
"Astaga! Berhenti menyakiti saudaraku, Bagas!" seru sebuah suara membuat Bagas melepaskan tangannya dari rambut Adelia.
Bagas mengibas-ngibaskan tangannya dengan ekspresi jijik ketika beberapa helai rambut Adelia menempel di tangannya. Pria bermata besar itu berbalik dan tersenyum, menghampiri wanita yang baru saja masuk.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Rose? Pestanya kan di rumah utama." Bagas mengecup pipi perempuan cantik dengan rambut bergelombang.
Perempuan yang dipanggil Rose tersenyum memandang Adelia cukup lama. Melewati Bagas begitu saja dan berjongkok kemudian mengamati wajah perempuan dengan tubuh kurus tersebut.
Adelia memandang Rose dengan wajah yang bersimbah air mata, berjengit ketika perempuan di depannya menyentuh lebam di pipinya. Tanpa kata, Rose membantu Adelia berdiri kemudian menatap Bagas dengan tatapan tajam.
"Kenapa kamu memukulnya, Bagas. Bukankah sudah kukatakan jangan pernah memukulnya!" seru Rose, membuat Bagas mendesah. "Kamu tahu dengan pasti apa yang membuatku mau menjadi madu dari saudaraku sendiri!"
"Ro-rose..."
"Jangan bela suami kita lagi, Lia. Lihatlah apa yang dilakukannya padamu," ujar Rose sendu, membawa Adelia ke ranjang dan mendudukkannya.
"Ayolah, Rosella sayang. Dia membuat keributan, aku hanya memberinya sedikit pelajaran," sahut Bagas malas. "Tidak perlu mengurus perempuan kumal itu. Ayo kita kembali ke pesta." Bagas menadahkan tangannya ke arah Rosa.
Rose hanya memandang tangan Bagas dengan wajah datar kemudian mengalihkan tatapannya pada Adelia. Perempuan yang dinikahi sang suami setahun lebih dulu, tetapi hanya menjadikannya istri simpanan.
"Keluar, Mas. Aku ingin berbicara dengan adikku," pinta Rose tanpa menoleh.
"Tetapi..."
"Keluar! Atau tidak ada jatah buat nanti malam!" potong Rose, membuat hati Adelia tersayat.
"Ap...Oh, tidak adil!" sentak Bagas, tetapi ia tetap mengikuti ucapan sang istri dan keluar dari kamar Adelia.
"Kamu juga, Sar," pinta Rose, menoleh ke arah Sarah.
Sarah mengangguk dan mengikuti Tuannya keluar dari kamar Adelia. Melihat Sarah yang akan keluar masih membawa kalung miliknya, membuat Adelia beranjak dari duduknya, berniat untuk menghalangi Sarah.
Akan tetapi, Rose menarik tangannya, memaksa Adelia untuk duduk di bibir ranjang dan memeluknya erat. Perempuan dengan mata besar itu tertegun kemudian terisak dan memeluk Rose.
"Jangan membuat keributan, Lia. Kamu tahu kan kalau suami kita temperamen," nasihat Rose sembari mengelus punggung Adelia. "Kamu nggak mau kan dia memukulmu lagi?"
"Kalungku. Kalung dari Lio di ambil Sarah, Ros," lirih Adelia, membuat Rose mengurai pelukannya. "Kumohon, cuma kalung itu satu-satunya hartaku, Ros. Tolong ambilkan." Adelia memandang Rose, kakak tiri sekaligus madunya.
Rose memandang Adelia sejenak kemudian mengangguk. "Aku akan berbicara dengan Sarah, tetapi tidak bisa menjanjikan apa-apa," ujar Rose.
"Tidak bisakah kamu memerintahkan nya untuk mengembalikan kalungku?" tanya Adelia penuh harap.
Rose menggeleng. "Aku hanya bisa membujuknya, Lia. Maaf. Kamu tahu bukan, Sarah orang itu orang kepercayaan suami kita," sahut Rose.
Adelia menunduk dan mengangguk, perempuan itu tahu kalau Bagas suami mereka sangat mempercayai Sarah. Statusnya bahkan lebih tinggi di bandingkan pelayan-pelayan lain yang bekerja di rumah megah Wijaya.
Otoritas Sarah berada satu tingkat di bawah kepala pelayan di rumah ini. Bahkan Rose yg merupakan istri kesayangan Bagas, tidak dapat menyentuh perempuan berusia dua puluh empat tahun tersebut.
"Selama aku pergi, jangan membuat keributan, oke," pinta Rose, beranjak dari duduknya kemudian berjalan keluar dari kamar kecil Adelia.
"Rosella," panggil Adelia, menghentikan langkah Rose.
/0/20678/coverorgin.jpg?v=5fbb8a76d766ebd1ace2b33e737af578&imageMogr2/format/webp)
/0/16572/coverorgin.jpg?v=5915862c9bc9ea973978f6f0c7d0e7f0&imageMogr2/format/webp)
/0/4083/coverorgin.jpg?v=653b6e1aa37b4f4abbdfae79683999f3&imageMogr2/format/webp)
/0/5014/coverorgin.jpg?v=3c05b05ac56bbb4cb0181bb382404ae7&imageMogr2/format/webp)
/0/29164/coverorgin.jpg?v=fa78199f71e18c0b2e3389d6a47e832c&imageMogr2/format/webp)
/0/18602/coverorgin.jpg?v=6fb48e03f44cd2ceeaa5efa26bf5a88e&imageMogr2/format/webp)
/0/3066/coverorgin.jpg?v=1968055e65003abae00f1e114a907847&imageMogr2/format/webp)
/0/12649/coverorgin.jpg?v=903995fe26e676f36bfbe4edae7404bc&imageMogr2/format/webp)
/0/29604/coverorgin.jpg?v=a3359358d3db0445d6d905308118875a&imageMogr2/format/webp)
/0/2889/coverorgin.jpg?v=e01850068f65fbdbdf4ff55d53c9c070&imageMogr2/format/webp)
/0/5487/coverorgin.jpg?v=5f14fba69636ed885f8b73f7a02fe96c&imageMogr2/format/webp)
/0/16925/coverorgin.jpg?v=bcbcd6a509b2cae5e28e275b71d7ec56&imageMogr2/format/webp)
/0/12482/coverorgin.jpg?v=30cd622cf2af94dd3d755d74f05b49d4&imageMogr2/format/webp)
/0/19443/coverorgin.jpg?v=95e7007e82c82d4c266985cb26a7872d&imageMogr2/format/webp)
/0/2969/coverorgin.jpg?v=5a035c662c8898ee5d3415573bb1b085&imageMogr2/format/webp)
/0/6750/coverorgin.jpg?v=e80e5c9cae82761bc7184e9872fd545c&imageMogr2/format/webp)
/0/10770/coverorgin.jpg?v=143999bee5a72468bd4e014e47a473dc&imageMogr2/format/webp)
/0/10852/coverorgin.jpg?v=9e6ee1f26170e8b8a873ffd1db533e59&imageMogr2/format/webp)
/0/14636/coverorgin.jpg?v=888c69f49a2f856d33586726848ecbde&imageMogr2/format/webp)