Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Dikejar Oleh Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Jangan Main-Main Dengan Dia
Rintik hujan jatuh beriringan mendung pun masih menggelanyut manja memayungi bumi. Satu persatu peziarah kubur mulai melangkah pergi, menyisakan beberapa orang yang masih berada di dekat makam basah mendiang Kusno Hesnandar yang baru saja dikebumikan. Tampak satu orang wanita dengan wajah sembab memandang kosong pusara Kusno, bibirnya berkomat-kamit seperti membaca bacaan doa sementara satu tangannya membelai lembut batu nisan. Dia adalah Ningsih, 33 tahun, istri dari mendiang Kusno.
Kepergian Kusno yang begitu mendadak akibat terlibat kecelakaan siang tadi seperti kiamat kecil bagi kehidupan wanita cantik itu. Kini dirinya hanya seorang diri menanggung beban dunia yang ditinggalkan oleh Kusno.
"Ayo nduk kita pulang, ikhlaskan suamimu, dia sudah tenang di sana.” Ucap Pak Jali, mertua Ningsih, senyumnya tipis mengembang, tampak tak ada kesedihan mendalam meskipun putera semata wayangnya telah tiada.
"Iya Pak, sebentar lagi.” Balas Ningsih, disingkirkannya tangan keriput Pak Jali dari pundaknya, ada perasaan risih ketika mertuanya itu menyentuh bagian tubuhnya.
Pak Jali hanya tersenyum kecut mendapat penolakan dari menantunya itu, pria itu mulai menjaga jarak. Tak lama rintik hujan mulai bertambah deras, orang-orang berhamburan meninggalkan area makam, tapi tak begitu dengan Ningsih , dia masih duduk bersimpuh di depan pusara mendiang suaminya, menyesali kepergian suami tercintanya itu.
*******
7 HARI KEMUDIAN
Ningsih duduk termangu, di hadapannya ikut duduk 2 orang pria dengan tampang sangar. Kedua pria itu adalah orang suruhan Koh Alung, rentenir terkenal di desa tempat tinggal Ningsih.
"Jadi gimana Mbak Ningsih? Kapan kira-kira hutang Pak Kusno bisa dibayar ?” Tanya salah satu orang pria itu dengan sopan, Jayadi namanya. Nigsih menghela nafas panjang, mencoba mencerna tiap kata yang keluar dari mulut Jayadi. Pikiranya kacau, apalagi ketika dia diperlihatkan catatan hutang yang ditinggalkan oleh mendiang suaminya.
“Saya usahakan secepatnya Mas, tapi tolong beri Saya waktu untuk melunasi hutang-hutang Mas Kusno.” Ucap Ningsih lirih, dia sama sekali tidak mengetahui bagaimana cara untuk mendapatkan uang sebanyak itu, apalagi selama ini dia hanya tinggal di rumah tanpa bekerja.
“Saya sih nggak apa-apa Mbak, tapi kalau semakin lama, bunga hutangnya akan semakin besar. Itu akan semakin memberatkan Mbak Ningsih nantinya.” Kata Jayadi.
“Iya Mas, Saya mengerti, tapi untuk saat ini Saya belum memiliki uang sebanyak itu. Tolong mengerti.” Balas Ningsih, raut wajahnya berubah, panik dan kesal menghadapi kenyataan pahit.
“Mungkin di sini ada yang bisa dijual ?” Sahut pria satunya lagi, Darno. Jayadi melirik tajam ke arah wajah Darno, seolah memberi tanda agar diam.
“Ini semua bukan milik Saya Mas, ini milik mertua Saya. Nanti Saya akan merundingkannya dulu dengan beliau.” Balas Ningsih pasrah.
“Baiklah kalau begitu Mbak Ningsih, Kami pamit dulu. Minggu depan Kami akan kembali lagi, semoga minggu depan uangnya sudah ada.” Jayadi lalu menarik kasar tangan Darno, kemudian pergi meninggalkan rumah Ningsih.
“Kau ini kenapa sih? Tumben banget ramah pas nagih hutang? Heh?” Celetuk Darno.
“Ssssttt! Mbak Ningsih masih berduka, apa pantas kita menagih hutang waktu dia masih 7 hari ditinggal mati suaminya?” Balas Jayadi santai.
“Aaaalaahhh!! Alasan doang ! Aku tau, Kau ingin menidurinya kan? Hahahahaha !”
“Hust ! Jaga mulutmu !” Hardik Jayadi, keduanya lalu menaiki sepeda motor untuk kembali menuju rumah para penghutang Koh Alung, menjalankan tugas sebagai penagih hutang.
Ningsih masih terduduk lemas, dibacanya sekali lagi kertas catatan hutang yang tadi diberikan oleh Jayadi. 48 juta, angka itu yang tertera, sebuah nominal yang sekali lagi membuat dada Ningsih sesak. Bagaimana mungkin mendiang suaminya bisa meninggalkan hutang sebanyak ini? Apalagi selama 2 tahun menikah tak sekalipun mendiang suaminya itu bercerita tentang hutang piutang. Lalu buat apa uang sebanyak ini untuk mendiang suaminya itu? Pikiran Ningsih kacau, bingung mencari jalan keluar atas semua permasalahan ini.
“Kamu kenapa nduk? Kok keliatannya lagi mikirin sesuatu?” Suara Pak Jali mengagetkan Ningsih, pria tua itu lalu duduk mendekati Ningsih. Wanita sintal itu beringsut menjauh.
“Eh Bapak, nggak ada apa-apa kok Pak.” Ucap Ningsih sambil menyembunyikan kertas catatan hutang mendiang suaminya.
“Itu apa nduk? Coba Bapak lihat.” Tanya Pak Jali, matanya mengarah pada selembar kertas yang coba disembunyikan oleh Ningsih.
“Bukan apa-apa Pak, cuma tulisan biasa.” Kata Ningih, masih mencoba menyembunyikannya dari mertuanya itu. Tapi sikap Ningsih itu membuat Pak Jali semakin penasaran, dia semakin merangsek maju lalu meraih tangan Ningsih agar menyerahkan selembar kertas yang digenggamnya. Kasar, Ningsih tak kuasa menahan keingintahuan Pak Jali.
“Apa ini nduk? Hmmm...?” Tanya Pak Jali sekali lagi sambil mulai membaca rincian catatan hutang mendiang anaknya, terkejut, reaksi itulah yang pertama kali terlihat dari wajah Pak Jali.