Mengejar Cinta Calon Janda

Mengejar Cinta Calon Janda

Pena_Riri

5.0
Komentar
1.9K
Penayangan
34
Bab

Rajendra Christian Darius tak sengaja menyeret perempuan yang sedang sama-sama mabuk dan membawanya dalam malam yang begitu panas. Setelah keduanya sama-sama sadar, Darius-sapaan lelaki itu rupanya menyukai Arawinda Divya Jovanka. Namun, sayangnya perempuan itu sudah memiliki suami. Tidak ada yang bisa Darius harapkan dari Divya. Namun, ia selalu mencari tahu tentang kehidupan Divya. Sampai akhirnya ia tahu bila rumah tangga perempuan itu sedang tidak baik-baik saja. Dalam diam, Darius menunggu janda perempuan itu dan akan selalu ada untuk Divya.

Bab 1 Tidak akan Bertemu lagi

"Ough!"

Tubuhnya menyatu sempurna di bawah sana bersama dengan wanita yang tidak ia kenal. Sama-sama dalam keadaan mabuk, Rejandra Christian Darius menyetubuhi perempuan cantik bernama Arawinda Divya Jovanka.

Dalam permainan yang mematikan dan ganas itu, tubuh Divya dihentak keras oleh Darius. Betapa nikmatnya ia rasakan.

"Oh my God! You look so amazing, Baby!" raung Darius-sapaan lelaki berusia dua puluh sembilan tahun yang terus menghentak keras tubuhnya di bawah sana.

"Stop it! Oughh ...." Divya mengerang keras. Tubuhnya seperti tersengat listrik sebab permainan yang semakin menggila oleh lelaki itu.

"Never stop, Baby. Kamu nikmat sekali. Aku ingin bermain lagi dan lagi denganmu, Sayang."

Darius semakin menggila. Tubuhnya sangat hebat mendorong di bawah sana. Sampai tidak peduli dengan erangan dan jeritan yang keluar dari mulut Divya.

Hingga satu jam berlalu. Keduanya sudah sama-sama lemas. Sampai akhirnya Darius pun menumpahkan semua lahar putihnya di bawah sana.

Lalu terbaring tak sadarkan diri di samping Divya sebab teler yang masih ia rasakan. Pun dengan perempuan itu. Keduanya sama-sama tidak sadarkan diri dan tertidur dalam keadaan tidak mengenakan apa pun.

Di pagi harinya. Jam sudah menunjuk di angka sembilan pagi. Divya membuka matanya dengan rasa pengar dan tubuh yang rontok ia rasakan.

Kemudian menolehkan matanya ke kanan dan kiri. "Aaw!" keluhnya pelan sembari memegangi pundaknya yang terasa pegal.

Tangan kekar merayap di tubuhnya membuat Divya tersentak kaget. "Aaaaaa!!" teriaknya kala melihat sosok laki-laki asing tidur di sampingnya.

"Siapa kamu?" teriaknya lagi kemudian melihat tubuhnya yang tidak mengenakan apa pun. Lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

Darius membuka matanya lalu menguceknya pelan. "Heuh? Di mana ini?" tanyanya dengan suara seraknya.

Ia lalu menoleh ke samping dan mengerutkan keningnya. "Oh! Kamu, yang udah disewa Anton buat nemenin saya di sini? Sorry! Semalam saya mabuk dan belum kasih kamu tip."

"Hah? Gila kamu! Saya tidak pernah jual diri!" teriaknya kembali.

Darius terkekeh pelan. "Kenapa, setelah saya pakai malah bicara seperti itu?"

"Intinya kamu salah orang. Saya tidak pernah jual diri dan saya tidak berniat melakukan itu."

"Kalau begitu, kenapa kamu ada di sini, hem? Jangan mengelak lagi. Tunggu di sini, saya mau mandi dulu."

Darius beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi dengan langkah gontainya sebab rasa mabuk masih menyuat dalam dirinya.

Divya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan. "Nggak. Nggak mungkin. Aku gak pernah berniat melakukan itu meskipun aku memang kesepian. Tapi, kenapa aku dan dia ...."

Divya melihat lagi tubuhnya yang belum mengenakan apa pun itu. Lalu merasakan tubuhnya yang rontok akibat pergumulan yang dilakukan olehnya semalam.

Ia masih mencerna kejadian ini. Mengapa ia dan Darius ada di dalam satu kamar dan tidur dalam keadaan tidak mengenakan apa pun.

"Haiissh! Semalam aku mabuk. Mana mungkin ingat kejadian itu," ucapnya dengan pelan.

Sepuluh menit kemudian. Darius keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk menutupi bagian bawah tubuhnya.

"Berapa, uang yang kamu butuhkan?" tanyanya sembari mengambil dompet di atas nakas.

"Sudah saya bilang, saya bukan pelayan lelaki!" ucapnya tegas. "Ini hanya kesalahpahaman. Mungkin kamu yang sudah menyeretku ke sini dan melakukan itu."

Darius terkekeh pelan. "Jelas-jelas semalam saya sewa perempuan untuk melayani saya. Dan itu kamu. Kenapa kamu menyangkal seperti ini, hm?"

"Karena saya tidak merasa jual diri. Saya punya pekerjaan yang lebih buat saya nyaman. Jadi, jangan pernah mengira saya pelayan laki-laki!"

Darius menghela napasnya. Ia kemudian menghubungi Anton-asistennya. Untuk menanyakan tentang perempuan yang masih menyangkal bila dirinya adalah bukan wanita panggilan.

"Selamat pagi, Pak. Anda masih di kamar club?" tanyanya kemudian.

"Sepertinya iya. Wanita ini, tidak mengaku kalau dia adalah wanita yang aku minta ke kamu, Anton."

"Hah? Kok bisa? Kamar nomor dua puluh, kan?"

Darius menaikan kedua alisnya kemudian mengambil kunci pintu dan melihat nomor yang tertera di sana.

"Nomor sembilan belas, Anton. Kamu ini gimana sih! Terus, wanita yang ada di kamar ini siapa?" tanyanya sembari melirik ke arah Divya.

"Waduh! Kurang tahu kalau begitu, Pak. Mungkin Anda salah masuk kamar. Sudah saya minta kan, ke Anda. Agar saya temani. Malah mau pergi sendiri."

"Ck!" Darius menutup panggilan tersebut kemudian menoleh ke arah Divya yang masih duduk menutupi tubuhnya dengan selimut tebal.

Darius mengatup bibirnya lalu meringis pelan. "Maafkan saya, karena sudah salah masuk kamar. Saya akan bertanggung jawab karena kejadian ini," ucapnya dengan pelan dan merasa bersalah.

Divya geleng-geleng kepala kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri tanpa mengatakan apa pun kepada Darius.

Sementara lelaki itu duduk di tepi tempat tidur sembari mengatup dagunya dengan kedua tangannya.

"Cantik," ucapnya kemudian tersenyum tipis. "Dia mau gak ya, dijadikan istri? Sepertinya cocok, untuk kujadikan istri."

Tak lama kemudian, Divya sudah kembali keluar dengan pakaian lengkap yang ia pungut tadi sebelum masuk ke dalam kamar mandi.

"Darius." Lelaki itu mengenalkan dirinya kepada Divya.

"So?" tanyanya kemudian.

"Perkenalan diri. Nama kamu siapa?" tanyanya ingin tahu.

"Kita gak akan ketemu lagi dan sepertinya tidak perlu memberi tahu siapa nama saya. Hari ini saya ada acara grand opening di toko sahabat saya."

Divya kemudian mengambil tasnya dan pergi dari tempat itu tanpa memberi tahu namanya kepada Darius. Sebab pertemuan itu cukup sampai di sana.

"What? Dia ... gak tertarik sama sekali? Oh my God! Padahal sudah kuubek-ubek tubuhnya."

Darius tampak frustasi. Ia kemudian mengusap wajahnya dengan pelan dan mengembuskan napasnya dengan panjang.

Sementara di kediaman Divya. Perempuan itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah tanpa harus was-was sebab sang suami masih berada di luar kota.

"Jam segini baru pulang."

Divya menoleh ke samping kanan di mana Luna-sang mertua tengah duduk di ruang tengah sembari melipat tangan di dadanya.

"Mami? Kok gak bilang, kalau mau ke sini?" tanyanya lalu menghampiri mertuanya itu.

Luna menghela napas kasar. Ia lalu beranjak dari duduknya dan menatap datar wajah Divya.

"Mentang-mentang Zion tidak ada di rumah, dengan seenaknya kamu pulang tidak beraturan seperti ini. Habis dari mana, huh?"

Divya menelan salivanya dengan pelan. "Nginep di rumah Sheril, Mi. Hari ini grand opening toko kuenya dan aku diminta untuk nemenin dia," jawabnya bohong.

Karena ia tidak tahu jika kejadian semalam bisa terjadi padahal itu bukan keinginannya bermalam dengan laki-laki lain.

Luna menatap wajah Divya dengan tatapan datarnya. "Kamu masih belum ingin menutup butik kamu dan memberi Mami cucu?"

"Mi. Udah aku bilang berkali-kali, Mas Zion yang mencegah aku hamil. Mami tolong percaya sama aku sekali aja."

"Halah! Di mana-mana yang tidak mau punya anak itu dari pihak perempuannya, Divya!" ucap Luna sedikit berteriak.

Divya mengangkat kedua tangannya kemudian menghela napasnya. "Terserah Mami. Karena sampai kiamat pun Mami nggak akan percaya sama aku."

Divya kemudian pergi meninggalkan mertuanya itu dan masuk ke dalam kamar.

"Divya! Mami belum selesai bicara!" pekiknya memanggil Divya.

Namun, perempuan itu tidak peduli. Ia tetap masuk ke dalam kamarnya karena ia harus menghadiri acara sahabatnya itu.

"Halo, Dyv. Elo jadi ke sini, kan? Semalam gue telepon kagak diangkat-angkat." Sheril menghubungi Divya.

"Jadi, Sher. Gue masih di kamar dan lagi ganti baju. Acaranya jam satu, kan? Sebentar lagi gue selesai."

"Oke, gue tunggu. Jangan mampir ke mana-mana dulu!"

"Iya, iya." Divya kemudian menutup panggilan tersebut dan mengambil hells-nya. Ia kembali keluar dari kamarnya.

Melihat sang mertua sudah tidak ada di sana membuatnya lega. "Jangan sampai manusia tidak punya hati itu ke sini lagi," gerutunya kemudian segera melangkahkan kakinya dengan sangat lebar.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Pena_Riri

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku