/0/24556/coverorgin.jpg?v=e0382313514f34ff68f24fcc2520eda8&imageMogr2/format/webp)
Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang keemasan memantul lembut di jendela Balai Desa. Hari Minggu itu suasana desa sangat lengang. Biasanya ramai dengan warga yang berkumpul untuk rapat atau sekadar berbincang, namun kali ini, tak ada satu pun yang terlihat. Hanya suara angin yang sesekali meniup dedaunan di pohon-pohon yang mengelilingi halaman balai.
Aku baru saja selesai mengirimkan pesan kepada salah satu pegawai desa, meminta izin untuk mengambil buku profil desa yang diperlukan oleh kelompok kami. Kami sedang KKN di sini, di sebuah desa kecil yang indah namun penuh misteri. Pegawai tersebut, Mas Adi, menyarankan agar aku mengambil buku itu di ruang kepala desa. Tidak ada yang bisa mengantarku karena hari libur, tapi dia bilang ruangan itu terbuka, jadi aku bisa masuk kapan saja.
Dengan hati sedikit ragu, aku melangkah menuju Balai Desa. Pintu depannya terbuka, memberikan kesan mengundang, namun entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Perasaan tak nyaman itu semakin kuat saat aku mulai berjalan di koridor yang mengarah ke ruang kepala desa. Cahaya lampu yang sedikit redup menambah kesan seram.
Di depan pintu ruangan kepala desa, aku berhenti sejenak. Dari dalam, samar-samar terdengar suara. Aku memiringkan kepala, mendengarkan lebih seksama. Lenguhan. Seperti suara seseorang yang menahan nafas atau mungkin... kesakitan? Jantungku berdebar. Apakah aku mendengar dengan benar?
Rasanya seperti dunia berhenti sesaat. Tanganku mulai gemetar, tapi aku harus menyelesaikan tugas ini. Kami butuh profil desa itu untuk presentasi besok, dan tak ada waktu lagi untuk menunda. Aku menarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri. Mungkin hanya imajinasiku yang terlalu liar. Ya, itu pasti.
Aku mengetuk pintu pelan. "Permisi, Pak Kades?"
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang membentang setelah ketukan itu. Aku menelan ludah, kemudian mengetuk lagi, kali ini lebih keras.
"Pak Kades, maaf saya mau mengambil buku profil desa," suaraku sedikit bergetar, mencoba terdengar tenang.
Tak ada balasan. Hanya suara lenguhan itu, kali ini terdengar lebih jelas. Ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba dorongan kuat muncul dalam hatiku, memaksaku untuk membuka pintu itu. Tanganku meraih gagang pintu, sedikit ragu, tapi aku tahu aku tak punya pilihan lain. Harus kulihat apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika pintu terbuka perlahan, suasana dingin menyambutku. Ruangan itu tampak kosong. Lampu di sudut ruangan menyala, memberikan cahaya temaram. Meja kerja Pak Kades tampak rapi, berkas-berkas tersusun dengan baik. Namun, tidak ada orang di sana. Tidak ada tanda-tanda apa pun yang menunjukkan kehadiran seseorang.
Aku melangkah lebih dalam. Di sebelah kanan, lemari besar yang penuh buku dan dokumen desa berdiri kokoh. Di situlah buku profil desa disimpan, menurut Mas Adi. Tapi pandanganku teralihkan oleh sesuatu di sudut ruangan.
Sebuah kursi besar menghadap ke jendela yang tertutup tirai tebal. Dari balik kursi itu, samar-samar aku mendengar lagi suara lenguhan. Suara itu seolah berasal dari balik kursi, atau mungkin dari bawahnya.
Dengan hati-hati aku mendekat. Setiap langkah yang kuambil membuat jantungku berdegup semakin kencang. Tanganku berkeringat, namun aku tetap melangkah. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini.
"Pak Kades?" Aku memanggil lagi, kali ini lebih pelan.
Aku berhenti di depan kursi, menatapnya dengan hati-hati. Ada perasaan mencekam yang menyelimutiku, namun aku memaksakan diri untuk bergerak. Perlahan, aku berjalan ke samping kursi, berharap menemukan jawaban atas suara misterius itu.
Saat aku melihat ke balik kursi, pemandangan yang kulihat membuat darahku membeku. Di lantai, tergeletak seorang pria, mengenakan baju dinas desa, wajahnya penuh dengan keringat dan matanya tertutup rapat. Lenguhan yang kudengar ternyata berasal darinya. Pak Kades.
Dia terbaring tak berdaya, seolah baru saja melalui sesuatu yang sangat melelahkan. Aku terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Ada apa dengannya? Apa yang terjadi?
Dalam kepanikanku, aku segera berjongkok di sampingnya. "Pak Kades! Apa yang terjadi?!" Aku mencoba mengguncang tubuhnya dengan pelan.
Pak Kades membuka matanya perlahan. Tatapannya kosong, seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Dia berusaha bangun, tapi tubuhnya terlalu lemah. Aku membantunya duduk di kursi, walau dengan susah payah.
"Tolong... air..." bisiknya dengan suara serak.
Aku segera bangkit dan mencari botol air yang ada di meja. Setelah memberikannya, dia meminumnya dengan tergesa-gesa, seolah-olah baru saja berjalan melewati gurun tanpa setetes air pun.
"Terima kasih..." katanya akhirnya, setelah berhasil menenangkan diri.
Aku masih bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
"Apa Anda baik-baik saja, Pak Kades? Saya dengar suara... lenguhan tadi," tanyaku hati-hati.
Pak Kades menghela nafas panjang, matanya masih tampak lelah. "Aku... hanya kelelahan. Mungkin terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."
Jawaban itu terasa tidak memuaskan. Ada sesuatu yang disembunyikan, tapi aku tak berani bertanya lebih jauh.
Pak Kades tersenyum lemah. "Kau mau mengambil profil desa, kan? Lihat saja di lemari itu, ada di rak kedua dari atas."
Aku hanya mengangguk, masih terkejut dengan apa yang baru saja kulihat. Aku berjalan ke lemari dan menemukan buku yang kucari. Namun, rasa penasaran masih mengganggu pikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi di ruangan ini sebelum aku datang?
Saat aku keluar dari ruangan itu, perasaan tak nyaman masih menyelimuti. Aku tidak tahu apa yang baru saja kulihat, tapi satu hal yang pasti: ada rahasia yang tersimpan di balik pintu ruang kepala desa. Rahasia yang mungkin lebih gelap dari yang kubayangkan.
Langkahku terasa berat saat keluar dari ruang kepala desa. Buku profil desa yang kubawa di tangan terasa lebih berat dari yang seharusnya. Bukan karena bobot fisiknya, tetapi karena beban pikiran yang kini memenuhi benakku. Ada sesuatu yang aneh di balik pintu itu, sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan. Suara lenguhan, tatapan kosong Pak Kades, dan sikapnya yang seolah menutupi sesuatu membuatku gelisah.
Balai desa yang sepi menambah aura misterius, setiap langkah kaki terasa menggema di ruangan yang kosong. Aku berjalan cepat, ingin segera keluar dari tempat itu, tetapi setiap bayangan yang melekat di dinding seolah memperhatikanku. Mungkin aku hanya terlalu banyak berpikir, terlalu banyak terjebak dalam imajinasiku sendiri. Namun, bisikan kecil di sudut pikiranku terus mengingatkanku bahwa ada sesuatu yang salah.
Sesampainya di luar, angin sore menyambut dengan lembut, tapi udara sejuk itu tidak mampu menghilangkan rasa dingin di tengkukku. Jalanan desa yang biasanya penuh dengan suara anak-anak bermain kini sunyi. Aku melihat ke sekitar, tak ada siapa pun. Bahkan angin yang meniup dedaunan pun terdengar lebih jelas dari biasanya.
Aku mempercepat langkah menuju posko KKN kami. Tempat itu tidak jauh, hanya beberapa ratus meter dari Balai Desa, tapi perjalanan pulang kali ini terasa seperti berkilo-kilometer jauhnya. Setiap bunyi ranting patah atau hembusan angin membuatku menoleh, seolah-olah ada sesuatu yang mengikutiku. Namun, saat kulihat ke belakang, tidak ada apa-apa selain jalanan yang kosong.
Ketika akhirnya tiba di posko, teman-temanku sudah menunggu. Rina, salah satu anggota kelompokku, yang sejak tadi sudah gelisah, segera menghampiriku.
"Gimana, Ra? Sudah dapat bukunya?" tanyanya dengan nada cemas, seakan-akan merasakan kegelisahan yang sama seperti yang kurasakan.
/0/21651/coverorgin.jpg?v=296b929f550865724fb42d621e4a0dde&imageMogr2/format/webp)
/0/2889/coverorgin.jpg?v=e01850068f65fbdbdf4ff55d53c9c070&imageMogr2/format/webp)
/0/15325/coverorgin.jpg?v=bc443b2fe4f706c1171c34a92edb313f&imageMogr2/format/webp)
/0/19443/coverorgin.jpg?v=95e7007e82c82d4c266985cb26a7872d&imageMogr2/format/webp)
/0/2969/coverorgin.jpg?v=5a035c662c8898ee5d3415573bb1b085&imageMogr2/format/webp)
/0/10770/coverorgin.jpg?v=143999bee5a72468bd4e014e47a473dc&imageMogr2/format/webp)
/0/14636/coverorgin.jpg?v=888c69f49a2f856d33586726848ecbde&imageMogr2/format/webp)
/0/6503/coverorgin.jpg?v=afda2728b97c81c32c6edc17c36624a5&imageMogr2/format/webp)
/0/15368/coverorgin.jpg?v=199ea0e3a62e7a87c12cf428676dde62&imageMogr2/format/webp)
/0/23377/coverorgin.jpg?v=9d7c40a81a4c3d6fb6c283bcbc67269f&imageMogr2/format/webp)
/0/28795/coverorgin.jpg?v=bc9886bdf6a06f6c3f6f1537fdcf11fe&imageMogr2/format/webp)
/0/17300/coverorgin.jpg?v=65252dd7284e2eebffbc10c9450c4d82&imageMogr2/format/webp)
/0/20168/coverorgin.jpg?v=20250423204922&imageMogr2/format/webp)
/0/22445/coverorgin.jpg?v=662fcc633e4f66f261acb816aa0ad00b&imageMogr2/format/webp)
/0/16286/coverorgin.jpg?v=50b3e3f6bff299b91fb512578e017c81&imageMogr2/format/webp)
/0/27674/coverorgin.jpg?v=81ab1c0773e46226f8541a8af4ac8005&imageMogr2/format/webp)
/0/17104/coverorgin.jpg?v=8b7a3244b40f4c389fa63385cc90018e&imageMogr2/format/webp)
/0/12963/coverorgin.jpg?v=308a6ac4b11d4165816f683b8ae466c6&imageMogr2/format/webp)
/0/18084/coverorgin.jpg?v=8825ac4e801b6d3a274b6a66cdc6f36e&imageMogr2/format/webp)