Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
•••••
" Untuk sementara, Ayah akan menitipkan mu pada teman Ayah. Selama Ayah pergi,"
" Maksudnya gimana, Yah?" Bingung Arlina menatap sang Ayah.
" Begini, untuk beberapa waktu Ayah akan pergi ke desa orang tua Ayah." Albern menghela nafas lebih dulu, sebelum kembali melanjutkan ucapanya.
" Ada beberapa urusan yang harus Ayah selesaikan di sana nantinya. Jadi, Ayah pikir lebih baik kamu Ayah titipkan saja.pada teman Ayah itu."
" Kenapa sih harus di titipin segala? Ayah pikir aku barang apa? Lagi pula aku udah dewasa, aku bisa kok tinggal di sini sendiri," tolak Arlina.
" Tidak bisa!" Bantah Albern. Dia tak mungkin membiarkan putri satu - satunya itu tinggal sendiri di kota seperti ini.
" Ayah akan tetap menintipkan mu pada teman Ayah. Ayah percaya dia bisa menjagamu selama Ayah tinggal nantinya."
" Tapi, Ayah!"
" Tidak ada bantahan, Arlina Albern! Cepat kemasi barangmu sekarang juga. Bawa saja yang nanti akan kamu butuhkan, Ayah tunggu di sini." Titahnya tak ingin di bantah.
Dengan rasa malasnya, Arlina mau tak mau menurut perintah Albern. Dia beranjak dari duduknya lalu pergi masuk ke dalam kamarnya untuk segera berkemas. Sebelum nantinya sang Ayah akan kembali mengomelinya lebih pedas dari tadi.
••••
" Turun!"
Kini keduanya sama - sama turun dari dalam mobil. Arlina menatap rumah dua lantai di depanya itu. Rumah yang bisa di katakan mewah nan elegan bergaya eropa klasik tersebut.
Ternyata teman Ayahnya adalah orang kaya, dia pikir hanya sebatas orang biasa saja. Tak pernah terpikirkan jika sang Ayah memiliki teman yang orang berada.
" Ayo!" Ajak Albern pada Arlina, yang di angguki oleh gadis itu.
Mereka berjalan menuju teras rumah, dan belum sempat mengetuk atau bahkan menekan bell rumah. Pintu rumah tersebut sudah terbuka menampilkan seorang pria tampan.
" Selamat siang, Bara!" Sapa Albern
" Ckk! Kenapa harus sok menyapa segala." Decak pria tampan sang pemilik rumah itu.
" Aku hanya basa - basi saja," kekeh Albern lalu menepuk pundak temanya itu.
" Masuklah ..."
Dia mempersilahkan anak dan Ayah itu untuk masuk ke dalam rumah. Arlinya hanya menurut saja, mengikuti langkah Ayahnya yang terlihat seperti sudah terbiasa datang ke rumah ini.
Saat sudah sampai di dalam, Arlina ikut duduk di sofa ruang tamu yang cukup luas. Matanya seakan meneliti seisi ruangan, mencoba melihat - lihat apa saja yang ada.
" Oh, ya Bara. Seperti yang aku bilang waktu itu. Ini dia Arlina putriku. Aku minta tolong padamu titip dia, karena aku harus pergi ke desa."
Bara menoleh menatap Arlina yang masih sibuk memperhatikan seisi ruangan. Bara mengangguk paham, karena sebelumnya Albern sudah menghubunginya lebih dulu dan menjelaskan maksud kedatanganya saat ini.
" Arlina," Albern menyenggol lengan tangan putrinya.
Arlina pun tersadar mendapati Ayahnya memanggilnya. Menoleh seakan bertanya " apa?"
" Kenalin ini Om Bara,"
" Oh, hay Om aku Arlina." Ujarnya seadanya.
Bara tersenyum simpul menyambut ucapan Arlina. Arlina sedikit terpukau di buatnya, saat mendapat senyuman simpul dari Bara. Rasanya hangat dan dia menyukai senyum manis pria itu.
" Jadi kapan kau pergi?" Tanya Bara.
" Sore ini, makanya aku langsung mengajak Arlina datang kemari sekaligus membawa barang yang nantinya akan dia butuhkan selama tinggal di sini."
" Secepat itu?" Tanyanya lagi,
" Bukankah lebih cepat lebih baik? Aku juga tak ingin terlalu lama merepotkanmu."
" Kau ini seperti dengan siapa saja?"
" Arlin, Ayah harap kamu akan baik - baik saja di sini dan tak merepotkan teman Ayah ini yang sudah berbaik hati mau di titipimu."
" Ayah, sudah aku bilang aku bukan anak kecil lagi. Ayah tidak perlu khawatir, aku tak akan membuat kekacauan selama Ayah pergi," cebik Arlina merasa kesal sekali. Ayahnya sungguh sangat berlebihan padanya.
" Ya sudah kalau begitu Ayah pamit,"
" Loh, kata Ayah perginya nanti sore?"
" Iya memang, tapi Ayah harus bersiap lebih dulu" sahutnya enteng.