Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Arman duduk di meja makan, memandang piring sarapan yang belum disentuhnya. Maya, istrinya, sedang sibuk dengan urusan dapur, menyusun sarapan seperti biasa, dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Namun, ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan di balik mata Arman-sebuah kehampaan yang begitu dalam.
Maya meletakkan secangkir kopi di depan Arman. "Kenapa diam aja, Mas? Ada masalah di kantor?" tanyanya, mencoba menyelami pikiran suaminya.
Arman mengangkat wajahnya dan tersenyum lemah. "Tidak, Maya. Hanya... capek saja," jawabnya dengan suara datar, mencoba menghindari tatapan istrinya yang tajam.
Maya duduk di sebelahnya, meletakkan tangannya di atas tangan Arman. "Mas, kita sudah lama bersama. Kalau ada yang mengganggu, ceritakan. Jangan ditahan-tahan," katanya lembut, matanya memancarkan kehangatan yang selalu membuat Arman merasa bersalah.
Arman memejamkan matanya sejenak, berusaha mengumpulkan kata-kata. "Maya, kadang aku merasa seperti terjebak dalam rutinitas. Semua berjalan begitu biasa... aku rasa, aku butuh sesuatu yang berbeda."
Maya menarik napas panjang, dan mengangkat wajahnya. "Apa maksudmu, Mas?" suaranya terdengar cemas, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.
Arman menatapnya, mencoba menjelaskan perasaannya. "Aku mencintaimu, Maya. Tapi aku merasa ada yang hilang... aku tak tahu harus bagaimana." Ia merasa lelah dengan kata-katanya yang berputar-putar. Tidak ada kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang ia rasakan.
Maya menunduk, bibirnya terkatup rapat, menyembunyikan perasaan yang mulai kacau. Dia tahu Arman bukan tipe pria yang mudah mengungkapkan perasaan. "Mas, jika ada yang mengganggu, kita bisa cari jalan keluar bersama. Aku akan selalu ada untukmu," ucapnya dengan suara rendah, namun penuh makna.
Namun, meski kata-kata Maya penuh kasih, Arman merasa semakin terasing. Ia tak tahu lagi bagaimana menjelaskan apa yang sedang menggerogotinya. Ada sesuatu yang kosong, bukan hanya dalam hidupnya, tetapi juga dalam dirinya.
Sambil menatap keluar jendela, ia berkata pelan, "Aku butuh... sesuatu yang membuatku merasa hidup lagi."
Maya memandangnya dengan penuh perhatian. "Apa maksudmu, Mas? Apakah aku tidak cukup membuatmu bahagia?"
Arman terdiam, seolah kata-katanya terhenti di tenggorokannya. Ia tidak ingin melukai hati istrinya, namun kenyataan bahwa ia merasa terjebak dalam pernikahannya semakin membuatnya bingung. "Bukan itu, Maya. Ini bukan tentang kamu... Aku hanya merasa... kosong."
Maya terdiam, menatap suaminya dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Kamu tidak sendiri, Mas. Aku akan selalu di sini. Kita bisa melewati ini bersama."
Namun, Arman tak bisa mengabaikan perasaan yang semakin mendalam. Sesuatu yang lebih dari sekadar kebosanan. Sesuatu yang ia tak bisa jelaskan, tapi perlahan mulai mengisi kekosongan hatinya. Keinginan untuk merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup.
Saat itu, ponsel Arman berbunyi, memecah keheningan di antara mereka. Ia meraih ponselnya dan melihat nama yang muncul di layar-Laras.
Maya tidak melihatnya, tetapi Arman tahu. Ia tahu ada satu lagi yang akan merubah hidupnya-seseorang yang memberi perasaan yang ia cari, meski dalam bayang-bayang.
Dengan sebuah napas berat, Arman menatap ponselnya lebih lama, sebelum akhirnya menekan tombol terima panggilan. "Halo?" Suaranya terdengar jauh, seperti ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan orang di seberang sana.
"Mas Arman," suara Laras terdengar ceria, namun ada sesuatu yang menggoda di balik kata-katanya. "Gimana kalau kita ketemu malam ini? Aku ingin ngobrol lebih banyak."
Arman menggigit bibirnya. Ia tahu persis apa yang dimaksud Laras, dan meskipun hatinya penuh kecemasan, ada perasaan lain yang lebih kuat-rasa ingin tahu, rasa yang ia kira telah lama hilang.
"Baiklah," jawabnya akhirnya, suaranya rendah. "Aku akan datang."
Maya, yang kini berdiri di dapur, merasakan adanya ketegangan di udara. Ia menoleh sebentar, hanya untuk melihat Arman menutup ponselnya dengan ekspresi yang tak terbaca.
"Mas, kamu baik-baik saja?" Maya bertanya dengan lembut, tetapi kali ini Arman merasa seolah-olah ada tembok yang terbangun di antara mereka.
"Ya," jawabnya singkat, berusaha tersenyum, meskipun ia tahu itu hanya kebohongan kecil.
Maya mengangguk pelan, lalu kembali ke dapur tanpa berkata lebih banyak. Arman menatap punggung istrinya yang kini beranjak menjauh, dan rasa bersalah mulai memenuhi dadanya. Namun, seiring dengan gema suara Laras di kepalanya, ia merasakan sebuah dorongan yang lebih kuat-sesuatu yang tak bisa lagi ia hindari.
Dan malam itu, takdir akan membawa Arman pada pilihan yang tak bisa ia mundurkan lagi.
Ia menatap secangkir kopi yang mulai dingin, namun pikirannya jauh melayang. Ponsel yang baru saja ia simpan kembali bergetar, dan hati Arman berdebar seiring nama Laras muncul lagi di layar. Hanya sebuah pesan singkat, namun itu sudah cukup untuk mengguncang segalanya.
"Kamu jadi datang malam ini kan? Aku menunggumu."
Arman menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan dirinya. Seolah semua rasa bersalah, keraguan, dan kekosongan yang ia rasakan terpendam di antara kata-kata Laras. Maya, istrinya yang setia, tidak tahu apa yang terjadi. Ia tidak tahu bahwa ada dunia lain yang mulai terbuka baginya. Dunia yang penuh dengan kebebasan, gairah, dan perasaan yang ia kira sudah mati dalam pernikahannya.