Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Ada lamaran dari keluarga Hartono."
Seorang pria paruh usia, memulai pembicaraan. Dia duduk di kursi ruang keluarga. Disana, duduk anak dan juga istrinya. Di atas meja di hadapan mereka, tersaji makanan ringan dalam jar dan buah-buahan.
Sang istri menatap serius kepada sang suami. "Bagaimana profil anak dari keluarga Hartono?" tanya sang istri.
Sang suami menghela nafasnya, sedikit melirik ke arah anak perempuannya yang terlihat tidak tertarik. "Dari berita yang terdengar, dia terkenal dengan kekejamannya. Bahkan, ada beberapa kolega yang melamar pria itu untuk anaknya. Saat mereka mencoba untuk akrab dengan anak dari keluarga Hartono, kebanyakan dari mereka tidak sanggup berdekatan dengan pria itu. Akibat dia yang begitu dingin," jelasnya.
Sang anak tersenyum penuh arti, tidak berapa lama datang seorang wanita dengan nampan berisi minuman di tangannya. Senyum di wajahnya semakin merekah.
"Silahkan minumannya," ucap wanita yang tadi membawa nampan. Sambil meletakkan gelas jar berisi minuman di atas meja.
Anak perempuan itu lalu mengambil minuman di hadapannya. Dia menempelkan sedikit bibirnya pada tepi gelas. Setelahnya, hal yang tidak di inginkan wanita yang membawa nampan pun, terjadi. Minuman itu membasahi wajah dan juga tubuh bagian depannya. Dia tertunduk dalam, dengan tangan memegang nampan dengan erat.
"Minumannya kurang manis," sentak anak perempuan tersebut, sambil melempar gelas tepat ke arah wajah wanita itu. Gadis yang bernama Zivana tersenyum senang melihat sang kakak yang basah akibat ulahnya.
Ya, wanita yang membawa nampan tersebut adalah kakak dari Zivana, lebih tepatnya kakak tiri.
"Dasar, anak tidak berguna," cela sang ibu dengan wajah merah padam mengarah kepada wanita itu
"Maafkan saya!" ucapnya, dia segera membersihkan bekas tumpahan minuman yang membasahi lantai.
Zivana tersenyum mengejek ke arah sang kakak mendengar celaan dari ibunya, untuk sang kakak.
"Berikan saja lamaran tersebut kepada kakak. Sepertinya, dia lebih cocok menerima lamaran tersebut!" usul Zivana, dia tersenyum puas membayangkan bertapa wanita yang tengah membersihkan lantai itu, hidupnya akan semakin menderita.
Sang ayah hanya melirik tanpa mencoba mencegah sang istri dan anak yang mencemooh anak sulungnya. Hati pria itu seperti mati, tidak memiliki perasaan sayang sedikitpun kepada anak sulungnya.
Sementara Shanaya, nama dari wanita yang membawa nampan itu. Dia tertunduk dalam mendengar perkataan adiknya. Dia dengan cepat membersihkan noda di lantai. Diambilnya gelas yang tadi di lempar oleh adiknya, lalu meletakkan gelas tersebut ke atas nampan.
Dia lalu berdiri, sambil tertunduk dia berkata, "saya permisi ke belakang,"
"Kamu harus menggantikan adikmu untuk menerima lamaran dari keluarga Hartono," ucap sang ayah dengan nada dingin.
Shanaya yang sudah berbalik badan pun terhenti. Dengan bibir bergetar dan air mata yang hampir lolos. Dia menjawab tanpa menoleh.
"Baik, saya akan menerima lamaran keluarga Hartono," jawabnya.
Ibu dan anak itu melirik dengan senyum mengejek. Shanaya beranjak dari ruangan tersebut dengan langkah cepat. Dia berjalan menuju dapur dengan hati yang bergemuruh hebat.
Gelas di atas nampan hampir saja terjatuh, Ketika dia sampai ke dapur. Air mata yang sejak tadi di tahannya, tumpah. Dia menangis, meratapi nasibnya yang tidak disayangi oleh ayahnya sendiri.
Semenjak ibunya meninggal saat usianya satu tahun. Sejak itu pula ayahnya tidak lagi memperdulikan dirinya. Apalagi saat pria itu membawa wanita lain sebagai istri barunya. Semakin lah dirinya di perlakukan semena-mena.
"Apa salahku, Ma? Mengapa dunia seolah memperlakukan aku sesukanya!" serunya dengan nada lirih.
Seorang asisten rumah tangga menghampiri dirinya. Dia begitu prihatin dengan keadaan anak majikannya. Wanita cantik itu tak ubahnya seorang pembantu seperti dirinya. Tubuhnya begitu kurus, berbanding terbalik dengan tubuh Zivana. Wajahnya pun terlihat kusam, seperti bukan seorang wanita berusia 23 tahun.
Diusianya yang semestinya pergi keluar untuk hangout dengan teman sebayanya. Dia malah menghabiskan hidupnya dengan berbagai pekerjaan rumah tangga. Seperti memasak dan membersihkan rumah.
"Non Naya," panggilnya dengan lembut.
Shanaya menoleh, dia segera menghapus air matanya. Lalu memutar tubuhnya, tersenyum ke arah asisten rumah tangga yang selalu baik kepadanya itu.
"Mbok Rahma," ucapnya sambil tersenyum, Mbok Rahma terkesiap melihat wajah anak majikannya yang basah.