Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Bu … darimana kita mendapatkan uang sebanyak ini? Dan … uangnya Ibu pakai untuk beli apa? Perabotan rumah Ibu biasa aja. Semua Elang yang belikan. Emas juga Ibu hanya pakai satu cincin dan itu pun Elang yang beli saat lebaran dua tahun lalu. Terus ini? Lima puluh lima juta uangnya Ibu pakai untuk apa?” lelaki berusia tiga puluh tahun itu terduduk pasrah di kursi ruang tamu ibunya. Secarik kertas tagihan berada di tangannya. Tagihan yang dia tidak tahu kapan ibunya meminjam dan ke mana larinya uang itu.
“Lang, Ibu’kan kreditin barang-barang sama tetangga kanan kiri. Awal-awal bayarnya pada benar. Jadi, Ibu pinjam ke Bu Rima, karena cepat cairnya. Kalau pinjam ke bank, Ibu harus pakai jaminan. Eh, malah orang yang kredit ke Ibu bayarnya pada susah. Ada yang kabur, ada yang ngeles mulu. Gak bisa ditagih pokoknya. Jadi, Ibu juga kredit macet bayarnya ke Bu Rima” jawab Bu Latifah tanpa berani menatap wajah anak lelaki satu-satunya.
Elang meremas rambutnya kasar. Kopi buatan ibunya yang selalu menjadi kopi terbaik di mulutnya, menjadi tidak menarik. Asap sudah tidak mengepul di atasnya, menandakan minuman itu telah dingin untuk beberapa jam lamanya. Bu Latifah mencuri pandang menatap anaknya. Ada perasaan bersalah menyelimuti hatinya, tapi wanita itu tidak punya pilihan. Elang yang selalu menghormati dan tidak pernah sekalipun membantah ucapannya. Pasti kali ini pun sama.
“Bu, Ibu tahu’kan kerjaan Elang hanya tukang servis AC, TV, dan kulkas? Semua masih menjadi tanggungan Elang, Bu. Darimana Elang bisa membayar utang Ibu lima puluh lima juta dalam waktu satu minggu. Jikalau mati pun, uang takziah dari tetangga belum bisa membayar utang Ibu yang sebanyak ini.” Elang merengek pada ibunya. Belum lama dia harus membayar sewa toko servisnya sebesar dua juta sebulan. Kontrakan ibu dan juga kontrakannya bersama istrinya. Biaya hidup lainnya, semua dia yang harus usaha. Lalu, apa yang harus dia lakukan? Merampok? Begal?
Bu Latifah menggigit bibirnya. Wanita itu juga nampak gelisah dengan memilin ujung baju batik yang dia kenakan. Untuk beberapa saat, tak ada satu pun dari keduanya yang bersuara. Wajah Elang pucat dengan bahu yang melemah. Kepalanya ia sandarkan di punggung kursi, seraya memejamkan mata.
“Begini, Lang. Bu Rima menawarkan solusi.” Seketika Elang duduk tegak. Memandang ibunya dengan tatapan penasaran.
“Apa itu, Bu?” tanya Elang. Lelaki itu menggeser duduknya agar lebih dekat dengan ibunya.
“Kamu menikahi Huri. Putri bungsu Bu Rima.” Suasana hening seketika.
“Ha ha ha … Saya jual diri untuk bayar utang Ibu? Astagfirulloh, Bu. Saya anak Ibu satu-satunya dan udah punya istri. Ada Kiya istri saya, Bu. Duh, Ibu … jangan aneh-aneh deh!” Elang masih tergelak sambil menggelengkan kepalanya. Tenggorokannya mendadak kering karena ucapan orang tua yang tidak masuk akal. Diraihnya cangkir kopi yang telah dingin, lalu diteguknya hingga tersisa ampasnya saja.