Istri sang Tuan Muda Lumpuh

Istri sang Tuan Muda Lumpuh

Senja melingkar

5.0
Komentar
Penayangan
12
Bab

WARNING!! Mengandung unsur kedewasaan, intrik keluarga, dan tema-tema dewasa. Harap bijak dalam memilih bacaan!! ____""____ "Nona, kamu yakin mau memberikannya kepada saya?" Bisik Tuan muda Sooya. Bola mata Fyorin yang indah menatap dalam manik mata Tuan muda Sooya yang berada beberapa senti di atasnya, tatapannya sayu, dengan suara yang bercampur dengan deru nafasnya Fyorin berusaha menyahuti. "Iya, Tuan... Saya akan memberikannya," ucapnya nyaris berbisik. Setelah mendapatkan jawaban dari Fyorin, ia lantas menurunkan kain penutup terakhir yang tadi sengaja ia sisakan demi untuk memastikan lagi sang pemilik benar-benar mengijinkan. Pun dengan miliknya sendiri yang sekarang sudah tidak berpenghalang lagi. Bola mata Fyorin membelalak lebar. Sebuah tongkat besar dan panjang berdiri dengan gagah di hadapan matanya. Belum pernah ia melihat benda seperti itu sebelumnya. Apalagi ia tiba-tiba membayangkan benda itu harus menerobos memasukinya. Belum apa-apa Fyorin sudah ngeri sendiri. "Tuan, kenapa bes4r sekali?" Cicit Fyorin dengan polosnya dengan mata yang melebar menatap kearah benda itu. Tuan muda Sooya terkekeh, dan lagi-lagi ini adalah pertama kalinya Fyorin melihat kekehan laki-laki itu. "Kenapa kamu polos sekali, Nona? Apakah hal seperti itu harus kamu tanyakan di saat-saat seperti ini?" Ujarnya. "Tapi itu, sebesar itu? Saya jadi takut," sahutnya. "Kalau kamu takut kamu pejamkan mata saja, jangan dilihat," Fyorin mengangguk. Ia pun memejamkan matanya dengan erat. Kedua tangannya berpegangan pada tepian bantal yang menjadi alas kepalanya.

Bab 1 1. Terjebak Surga Dunia

"Bangun!!"

Suara laki-laki itu menggema tajam di telinga Fyorin, menembus kabut tipis di antara sadar dan tidak. Suara itu begitu keras, seperti datang dari jarak yang dekat, memaksa pikirannya untuk kembali ke dunia nyata.

Kelopak matanya bergetar, perlahan terbuka dengan berat. Cahaya lampu yang redup menampar pandangannya, membuatnya menyipit. Dengan sisa tenaga, ia berusaha mengangkat kepalanya, namun rasa sakit yang menusuk di pelipis membuatnya meringis.

Oh, kepalaku sakit sekali... rintihnya dalam hati, satu tangan terangkat pelan menyentuh keningnya.

Bayangan samar seorang laki-laki mulai terlihat di sisi tempat tidurnya. Ia tinggi, berkulit putih, mengenakan kemeja yang tampak rapi meski beberapa kancing terlepas di bagian atas. Garis wajahnya tegas, dan matanya menatap Fyorin dengan dingin.

Oh... tampan sekali laki-laki ini? Apa aku sudah ada di surga? pikirnya kacau, pandangannya masih kabur, seolah otaknya belum sepenuhnya kembali bekerja.

Ingatan- ingatan kacau menabrak pikirannya, potongan gambar tak berurutan: sebuah mobil hitam, dua pria asing, dan rasa takut yang menyesakkan. Lalu... kehangatan pelukan seseorang? Aroma tubuh yang asing tapi lembut.

Ah, aku baru saja tidur dengan laki-laki tampan... tubuhnya wangi sekali. Aku masih bisa merasakan pelukannya... hangat. Dia pasti penghuni surga yang menemani aku tidur semalaman. Orang-orang jahat itu pasti sudah berhasil membunuhku dan mengirimku ke surga... pikirnya setengah linglung, matanya berusaha fokus pada sosok di depannya.

"Hey, wanita bodoh! Bangun!!"

Nada kasar itu menyambar lagi. Fyorin terdiam beberapa detik, menatap kosong. Dalam pikirannya yang setengah kabur, ia sempat bertanya lirih, apakah di surga ada orang sekasar itu?

"Coba sebut nominal yang kamu butuhkan! Saya akan memberikannya secara cuma-cuma, tanpa harus kamu menjual diri kamu seperti ini!"

Fyorin terlonjak. "Menjual diri?!" serunya refleks. Ia bangkit duduk, namun gerakan itu membuat kepalanya kembali berdenyut hebat. Ia menahan diri sejenak, memegangi keningnya, napasnya memburu.

"Kamu dengar saya?!"

Ia menatap laki-laki itu dengan bingung, matanya mencari jawaban di wajahnya. "Apa ini di surga? Terus apakah di surga boleh berkata-kata kasar seperti itu?" tanyanya polos, dengan nada yang terdengar benar-benar serius - seperti seseorang yang belum sepenuhnya sadar di mana dirinya berada.

"Surga? Surga mana yang kamu maksud? Kalau yang kamu maksud adalah surga dunia, tentu saja kata-kata kasar diperbolehkan," sahutnya dingin.

"Surga dunia?" Fyorin mengulang lirih, masih berusaha menormalkan kesadarannya.

"Iya, di sini salah satunya, kamar hotel!"

Kata itu-hotel-terdengar seperti tamparan. Fyorin menatap sekeliling, perlahan. Langit-langit putih. Lampu gantung elegan. Tirai besar menutup rapat jendela. Di sisi ranjang, ada meja dengan vas bunga segar.

Hotel? pikirnya. Jantungnya berdebar lebih cepat. Kenapa aku bisa ada di kamar hotel?

Ia menatap laki-laki di depannya. Berdiri dengan tangan terlipat di dada, dagu terangkat, auranya dingin dan berjarak. Pakaian yang ia kenakan-kemeja mahal, celana bahan rapi, jam tangan berkilat-semuanya berteriak "orang kaya".

Dia bukan orang sembarangan, pikir Fyorin getir.

Laki-laki itu berbicara lagi, nada suaranya datar tapi tajam.

"Sebenarnya kamu butuh uang berapa sampai kamu nekat menjual tubuh kamu seperti ini?!"

Fyorin menoleh cepat. Seketika wajahnya menegang. Ia melompat turun dari tempat tidur, meski tubuhnya sempat oleng. Tangannya terangkat menahan diri agar tidak jatuh, lalu berdiri tegak dengan mata menyala.

"Tuan! Saya tahu uang anda banyak! Dan mungkin memang Tuan bisa memberi saya banyak uang. Tapi bukan berarti Tuan bisa seenaknya menghina saya dan merendahkan saya seperti ini!" Suaranya meninggi, nadanya gemetar antara marah dan takut.

Laki-laki itu tak bergerak. Hanya mengamati, lalu melipat kedua tangannya lebih erat, pandangannya menelusuri wajah Fyorin dari atas sampai bawah.

"Jadi, kamu lebih suka mendapatkan uang dari hasil menjual diri daripada diberi secara cuma-cuma?" tanyanya datar.

Fyorin mengerutkan kening, napasnya naik-turun. "Apa maksud anda berbicara seperti itu? Saya tidak pernah merendahkan diri saya sendiri dengan cara menjual diri, Tuan! Anda jangan kurang ajar!" suaranya meninggi lagi.

Laki-laki itu menahan senyum miring. "Lalu kamu pikir kamu berada di tempat ini untuk apa?"

Fyorin terdiam. Ia menatap sekeliling lagi-setiap detail kamar itu kini terasa asing sekaligus mengancam. Dinding krem lembut, sprei putih, aroma parfum maskulin samar di udara. Ia menggigit bibir. Oh iya... aku di mana sebenarnya?

Pikiran Fyorin melayang cepat. Ia mencoba mengingat. Terakhir kali... ia di jalan. Dua debt collector mendekatinya, memaksa. Mereka menyeretnya ke seseorang-seorang pria tua dengan perut buncit dan tawa menjijikkan. Setelah itu, semuanya gelap.

"Ah! Sepeda motorku!" serunya spontan, menepuk dahinya.

Gambaran kejadian terakhir semakin jelas di kepalanya. Dua orang penagih hutang. Ayahnya yang dipenjara karena uang judi. Kakaknya yang terpaksa bekerja di kapal jauh, bertahun-tahun tak pulang. Dan dirinya-terjepit dalam kekacauan itu semua.

Ia memejamkan mata sesaat, lalu mendesah pelan. "Pasti sepeda motorku diambil oleh mereka..." gumamnya dengan nada frustrasi.

"Mereka? Siapa yang mengambil sepeda motor kamu?" tanya laki-laki itu, suaranya tenang tapi tajam seperti sedang menginterogasi.

Fyorin tersentak, kembali menatapnya. Tatapan laki-laki itu membuatnya kikuk sejenak, tapi ia buru-buru memalingkan wajah.

"Bukan urusan anda!" jawabnya ketus, mencoba terdengar tegas meski nadanya goyah.

Laki-laki itu tidak menanggapi. Ia berjalan pelan menuju sofa besar di sisi ruangan dan duduk dengan tenang. Kaki kanannya ia naikkan di atas kaki kiri, menyandarkan tubuh ke sandaran sofa dengan sikap santai tapi berwibawa. Pandangannya tetap tertuju pada Fyorin, seolah sedang menilai setiap gerakannya.

"Sebenarnya anda siapa? Kenapa tiba-tiba anda ada di ruangan ini? Terus kenapa saya juga ada di sini?!" serang Fyorin. Suaranya terdengar tinggi, namun matanya masih memantulkan rasa bingung dan panik.

"Oh, jangan-jangan anda culik saya?!" tambahnya cepat, menunjuk laki-laki itu dengan jari telunjuk gemetar.

Ia baru sadar betapa tajamnya mata laki-laki itu. Rambutnya yang disemir keunguan membuat wajah dinginnya tampak kontras dengan kulit putihnya. Ada tahi lalat kecil di pangkal hidung mancungnya-ciri khas yang membuatnya mudah diingat.

Laki-laki ini... terlalu tampan untuk jadi orang biasa, pikir Fyorin, tapi cepat-cepat ia mengusir pikiran itu.

Laki-laki itu justru tersenyum samar, nada suaranya datar saat berkata,

"Saya melakukan permainan dengan teman saya dan saya menang. Lalu saya dihadiahi menginap di hotel ini olehnya. Dia pemilik hotel ini. Saya juga sebenarnya tidak tahu kalau ternyata dia menghadiahi teman tidur untuk saya."

Sudut bibirnya terangkat licik, membuat senyumnya lebih seperti ejekan.

Fyorin menatapnya tidak percaya. "Te-teman tidur?! Ma-maksudnya?!"

"Kamu," jawab laki-laki itu ringan sambil menunjuk ke arahnya.

Seketika darah di tubuh Fyorin seperti berhenti mengalir. Ia menatap laki-laki itu dengan mata membulat, lalu spontan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Napasnya memburu, wajahnya memanas.

Apa tadi dia bilang aku teman tidurnya? pikirnya tak percaya.

Sejak kapan aku-?!

Bayangan terakhir sebelum pingsan menari di kepalanya. Laki-laki tua buncit itu, tawa menjijikkannya, rasa takut yang begitu kuat, lalu gelap.

Ia menggigit bibir.

Sejak kapan aku beralih profesi jadi pelacur? Aku cuma kurir makanan!

Matanya berkaca-kaca. Ah! Dunia jahat sekali! umpatan itu hanya keluar dalam hati, menahan semua amarah dan malu yang mendesak naik ke tenggorokannya.

Fyorin menunduk. Tangannya gemetar memegangi dada yang naik turun cepat, berusaha mengatur napas yang tidak juga stabil.

Laki-laki itu masih duduk santai di sofa, memperhatikannya tanpa ekspresi. Hanya matanya yang bergerak, seolah membaca seluruh ketakutan Fyorin dengan mudah.

"Aku... aku bukan orang seperti itu," ucap Fyorin pelan, hampir berbisik, tapi nadanya mengeras di akhir. Ia menatap tajam ke arah laki-laki itu, air matanya berkilat di bawah cahaya lampu kamar hotel.

"Aku bukan perempuan murahan seperti yang kamu pikir!"

Laki-laki itu hanya menaikkan alis sedikit.

"Lalu kenapa kamu ada di kamar hotelku?" tanyanya datar.

Pertanyaan itu menampar keras. Fyorin ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Ia sendiri tidak tahu kenapa dirinya bisa ada di sini.

Terakhir ia ingat hanya dinginnya jalan malam, suara tawa jahat dari belakang, lalu-gelap.

---

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Senja melingkar

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku