Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
133
Penayangan
10
Bab

Ini kisah anak remaja yang penuh dengan suka duka dan euforia, namanya juga darah muda. Seperti kata sang Raja Dangdut Rhoma Irama, bahwa darah muda darahnya para remaja. Aku menuliskan kisah mereka, sebab mereka akan mengajakmu untuk mengingat kembali betapa manisnya masa remaja yang penuh dengan gejolak di dada. Kau bisa bernostalgia seraya mengingat kepingan-kepingan kisah masa lalu. Namun kurasa kau tak pernah tau betapa panjang dan peliknya kisah anak Adam-Hawa versiku, sampai kau bersedia membacanya. Merasakan kembali setiap dinamika rasa yang tercipta di dada saat remaja.  Aku tak sabar ingin membagikan kisahnya. Ku harap kaupun tak sabar untuk membacanya :)

Bab 1 1. Ice boy

"Gak semua yang kamu lihat itu benar adanya. Sebab kebenaran tak hanya sebatas diindera oleh mata."

-The Young Bloods-

Adam itu sok ganteng, sok dingin dan sok gak peduli-- itulah yang ada di pikiran Hawa. Seperti beberapa menit sebelumnya, lelaki itu melenggang pergi meninggalkannya begitu saja.

Oh iya, dan satu lagi, Adam itu juga tidak peka dan menyebalkan! Kesal Hawa dalam hati.

Saat dia mengatakan bahwa Juna ingin mengantarnya pulang, bukankah Adam harus melarangnya dan tetap mengajaknya pulang bersama seperti biasa? Tapi sekarang apa?! Hawa harus rela pulang bersama Juna-- kakak kelasnya yang sok famous seantero sekolah-- dalam keadaan mulut tertutup rapat. Yah, Hawa terpaksa menerima ajakan Juna.

Syukurlah, mobil yang dikendarai sopir Juna, sudah memasuki kawasan perumahan Indah Permai, itu artinya Hawa akan segera tiba di rumahnya.

"Rumah Hawa di blok A, ya Pak. Jadi berhenti di sini saja ga pa-pa. Udah deket soalnya." Jelas Hawa mencondongkan tubuhnya ke depan seraya menunjuk ke sisi kiri jalan.

"Kak Juna makasih, ya, udah repot-repot nganterin Hawa" Hawa menoleh ke sang supir dan mengatakan terima kasih juga, sebelum ia benar-benar masuk ke halaman rumah di hadapannya.

"Sama-sama Wa, Kakak senang bisa nganter kamu. Kakak pulang ya. Bye!" Jawab Juna dengan kedua ujung bibir tertarik saking senangnya, yang selanjutnya hanya dibalas senyum terpaksa di bibir gadis itu.

Setelah mobil berwarna silver benar-benar hilang di telan kejauhan, Hawa membalas ucapan Juna dengan suara rendah,

"Bye."

Hawa beranjak dari depan gerbang untuk memasuki rumahnya yang saat ini tertutup rapat. Kemana orang di dalamnya? Pikirnya heran.

"Kak?! Ke sini dulu aja!" Suara seorang wanita cantik yang ada di halaman rumah tetangganya, itu berhasil mengintrupsi langkah gontai Hawa. Wanita dengan pipi tirus dan gigi ginsul itu adalah Bundanya--Loly--.

"Iya Bun. Nanti Hawa ke sana. Hawa mau ganti baju dulu, ya Bun"

Sudah Hawa duga, Ayah Bunda dan si adik kecilnya itu sedang bertamu ke rumah tetangga mereka, siapa lagi kalau bukan rumah Syifa dan Ridwan.

"Eh, Kakak tadi kenapa gak barengan sama Adam, pulangnya?" Tanya bundanya penasaran.

"Males! Udah ah, Hawa masuk dulu Bun." Entah kenapa, pertanyaan Bundanya berhasil membuat Hawa kembali sebal mengingat lelaki sok dingin dan tidak peka macam Adam!

***

Hawa sebenarnya malas sekali jika harus bertemu dengan Adam. Akan tetapi, ia juga tak mau jadi anak pembangkang dengan mengabaikan permintaan Bundanya yang menyuruhnya untuk ke rumah tetangga mereka. Siapa lagi kalau bukan rumah si lelaki tidak peka, Adam.

Keluarga Adam dan Hawa memang sudah sangat dekat, bahkan Kakek-Nenek sampai kedua orang tua pun tidak hanya sekadar rekan kerja, tetapi juga sahabat.

Tak heran jika mereka bahkan tinggal di satu perumahan yang sama, bahkan rumah mereka hanya dipisahkan oleh taman.

Hampir dua belas tahun ia selalu bertatap muka dengan anak pertama Tentenya itu, dan hampir setiap hari pula ia dibuat kesal karena Adam acap kali melihatnya sedang tak mengenakan khimar. Fyi, kamar mereka sama-sama terletak di lantai atas rumah masing-masing. Bahkan balkon mereka pun berhadapan satu sama lain.

"Adam! bisa gak sih, gak usah liatin Hawa kalo Hawa lagi gak pake khimar!"

"Gak bisa. Adam punya mata buat ngeliat."

"Ish! Adam ngeselin!"

Dsrettt! Kaca yang memisahkan kamar dengan balkon Hawapun ditutupnya dengan kuat.

Tiap kali Hawa ingat kejadian itu, ia selalu kesal dengan wajah Adam saat itu. Mata lelaki itu bahkan tak berkedip sepersekian detik, membuatnya kelimpungan mencari keberadaan khimar instan yang biasa ia pakai-- yang sayang saat itu ia sedang mengeringkan rambut dan lupa kalau kaca jendelanya masih terbuka lebar-- lalu terjadilah kejadian tak mengenakkan itu.

Jujur, Hawa tidak suka dan sangat takut sesaat setelah kejadian itu. Meskipun dia belum baligh, tapi tetap saja ia merasa kesal jika ada lelaki bukan mahram yang memandang auratnya seperti itu, termasuk Adam sekalipun. Untuk itu, Hawa selalu memastikan jendela kamar serta gordennya tertutup rapat.

"Wa, kok tadi gak barengan sama Adam kenapa? Hawa lagi berantem sama Adam, iya nak?" Kekesalannya pada Adam terasa kembali menyeruak, saat wanita dengan mata bulat yang besar itu bertanya seperti Bundanya tadi.

Kenapa orang-orang sangat peka jika ada yang tidak beres dengannya dan Adam? Segitu kelihatan kah?

"Eng-Enggak kok Tan. Hehe tadi kebetulan aja, Kak Juna--kakak kelas Hawa-- nawarin buat pulang bareng. Hawa gak enak nolak terus soalnya."

"Oh seperti itu, kirain ada apa-apa gitu. Eh siapa tadi nama Kakak kelasmu?"

"Kak Juna, Tan"

"Tapi, Tadi Ayahmu tanya sama Adam, katanya kamu pulang sama Juned? Juna sama Juned itu kembar, atau gimana?" Tanya Syifa polos.

"Hah? Juned? Mungkin maksudnya Juna, Tan. Soalnya Kak Juna gak ada kembaran setahu Hawa."

"Ah, sepertinya iya. Adam ini ada-ada saja!" Syifa hanya terkikik geli mengingat kelakuan anak pertamanya itu.

"Hawa pasti belum makan, kan? Ke meja makan gih! Tante masak banyak. Si Adam juga lagi makan. Barengan aja sekalian."

"I-iya Tante. Nanti Hawa ke sana"

"Jangan nanti Wa, sekarang aja. Hawa gak boleh telat makan siang."

"Baik Tan. Hawa ke sana sekarang."

***

Kemudian di sinilah Hawa berada, di meja makan bersama lelaki yang tadi siang meninggalkannya begitu saja di sekolah.

Baik Hawa maupun Adam, sama-sama menyantap makan siang dalam diam. Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu, bisa-bisanya ia tak mengatakan apapun setelah meninggalkan Hawa begitu saja.

"Adam! Tadi siang kenapa ninggalin Hawa gitu aja?" Hawa angkat bicara duluan dengan nada menggebu gebu, membuyarkan keheningan yang sempat menyelimuti mereka.

"Bukannya Hawa bilang, Hawa pulang sama si Juned? Kok jadi Adam yang salah, sih?!" Adam tak mau kalah, nada bicaranya pun menjadi tak santai. Perempuan tuh ribet banget sih! Pikir Adam saat menatap gadis dengan wajah ditekuk di hadapannya ini.

"Adam! Gak boleh ganti nama orang sembarangan! Namanya Juna. Kak Ju-na, bukan Juned!"

Adam hanya memutar bola mata dengan malas. Bukannya Juned lebih bagus, ya? Pikir lelaki itu tanpa dosa.

"....."

"Lagian, Hawa juga lebih suka pulang sama Adam kok, bukan sama Kak Juna."

"Terus, kenapa tadi ikut si Juneeed?!" Gemes Adam pada gadis di hadapannya kini.

"Adam tuh gak ngerti banget sih! Hawa kan, gak enak nolak ajakan Kak Juna terus-terusan. Harusnya Adam dong yang larang Hawa ikut kak juna!."

"Kalau gak mau? Harusnya bilang gak mau! Gak usah ribet kayak gini."

"Harusnya Adam tuh peka!" Sunggut gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Katakan saja dia cengeng! Entah kenapa air matanya selalu mendesak ingin keluar saat dirinya sedang kesal dan sakit hati seperti ini.

Hening seketika. Adam, lelaki itu menghela nafas berat. Gadis ini benar-benar membuatnya serba salah.

"Adam minta maaf, kalau gitu." Adam menyerah, namun gadis itu tetap diam. Membuatnya semakin merasa bersalah.

"...."

"Adam gak maksud ninggalin Hawa, kok"

"Hiks! Hiks!"

Gadis itu menangis? Membuat Adam mengusap wajahnya frustrasi.

"Adam janji gak bakalan ninggalin Hawa lagi!"

"...."

"Jan-Janji?!" Gadis itu mendongak dan menodongkan jari kelingking mungilnya di hadapan Adam.

"Iya, janji!"

Entah kenapa, Adam selalu merasa lemah saat melihat gadis-- yang jari kelingking kecilnya itu sedang bertautan dengan kelingking besarnya-- ini menangis. Pertahanan yang ia bangun susah payah, seolah dapat dirontokkan begitu saja hanya karena tangisan seorang Hawa.

Adam tak habis pikir. Kenapa ia harus mewarisi kelemahan Buyanya itu.

Lihatlah! Bukankah Hawa benar? Adam itu sok dingin. Padahal aslinya lelaki ini begitu hangat bukan.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku