/0/21824/coverorgin.jpg?v=bf38f2fc2a18bd5b408ddaf505dc4c5f&imageMogr2/format/webp)
Dentuman musik di klub malam salah satu kota terbesar di sebelah utara Swiss, Zürich, terdengar menggema ke seluruh ruangan. Sepasang mata elang sedang menatap nanar foto yang ditampilkan layar ponsel. Tampak seorang perempuan berkerudung tersenyum ramah sedang memeluk remaja laki-laki berusia tujuh belas tahun. Remaja itu adalah dirinya.
Ada hal yang mengganggu pikiran pemuda itu hampir satu bulan belakangan ini. Lebih tepatnya sejak kejadian yang tidak terduga membuat ia sadar dengan perasaan sendiri. Perasaan yang tidak boleh ada.
“Beneran nggak minum, Zan?” tanya seorang mahasiswa yang berasal dari Indonesia.
Pria berkulit kuning langsat itu menggelengkan kepala. “No thanks!” sahutnya mengangkat tangan sekilas.
“Farzan mana mau minum-minum. Bisa diomelin kakak iparnya,” ledek yang lainnya.
Lelaki bernama Farzan itu melirik sekilas dengan tatapan malas. Dia sedang tidak ingin berdebat sekarang.
“Lo kenapa sih? Sejak balik dari Indo banyakan diam.”
Farzan mengangkat bahu singkat, tanpa menjawab pertanyaan tersebut. Dia mengunci layar ponsel, sehingga wallpaper bergambar dirinya dan seorang perempuan menghilang begitu saja. Tangannya terulur ke atas meja, mengambil jus melon yang tinggal setengah.
Sebuah senyum samar tergambar di bibir sedikit tipis di bagian atas dan penuh di bagian bawah milik Farzan, ketika melihat gelas yang ada dalam genggamannya. Jus melon adalah minuman kesukaan Arini, istri kakak tiri lelaki itu. Dia menarik napas berat ketika luapan perasaan seakan tak bisa lagi ditahan.
“Masih mikirin kejadian waktu itu?” Seorang pria berambut ikal mengajukan pertanyaan kepada Farzan, setelah dua orang lainnya keluar dari room yang mereka sewa.
Kepala yang dihiasi rambut model layered itu bergerak ke atas dan bawah. “Gue merasa jahat, Bram.”
Bramasta, sahabat Farzan, menepuk pundaknya. “Itu bukan salah lo, Zan. Kalau gue berada di posisi yang sama, mungkin nih ya, mungkin nggak bisa nolak juga.”
Pemuda berkacamata itu menarik napas singkat. “Apalagi kakak ipar lo cantiknya kebangetan. Bayangin, umur empat puluh tahunan masih awet kayak umur dua puluhan. Keturunan vampir kali ya.” Bram berdecak kagum.
“Beruntung banget abang lo nikah sama dia,” sambungnya geleng-geleng kepala.
Farzan tersenyum kecut membenarkan perkataan Bramasta. Arini Maheswari, kakak ipar yang kini bersemayam di hatinya memang memiliki kecantikan yang tidak pudar dimakan waktu. Wanita yang telah memiliki dua orang anak itu ibarat bidadari, seperti namanya.
“Kak Arini nggak hanya cantik, Bram.” Farzan mengangkat pandangan melihat plafon dengan seulas senyum lebar. “Dia baik banget, penyayang, perhatian dan ….”
“Dan?”
“Dan semua ekspektasi gue akan perempuan, ada dalam diri Kak Arini.” Farzan menoleh lagi kepada Bramasta.
“Makanya gue merasa jahat sama mas sendiri. Nggak kebayang kalau Mas Brandon tahu.” Tubuh Farzan bersandar lesu ke belakang.
“Cinta memang nggak ada logika, Zan. Nggak bisa ditebak.” Bram menumpu kedua tangan di atas kedua paha. “Jangan sampai mas lo tahu, bahaya!”
Farzan mengangguk singkat. Dia paham apa yang akan terjadi jika Brandon tahu kalau dirinya mencintai Arini. Apalagi ia juga terlahir dari sebuah kesalahan yang seharusnya tidak pernah ada di dalam keluarga Harun.
Baru saja ingin merespons perkataan sahabatnya, ponsel yang ada di saku celana jeans milik Farzan bergetar. Sebuah panggilan dari wanita yang dirindukan, membuat senyum mengembang di paras tampannya.
“Gue ke luar dulu.” Farzan menggoyangkan gadget yang memperlihatkan tampilan panggilan masuk. “Bisa tamat riwayat gue kalau Kak Arini tahu lagi ada di klub malam.”
Farzan bergegas keluar dari room yang tidak dibatasi dinding. Kakinya melangkah besar menuju sisi lain klub, agar suara musik tidak terdengar.
“Assalamu’alaikum, Kakak Cantik,” sapa Farzan setelah menerima panggilan.
“Wa’alaikumsalam. Gimana kabar di sana? Ujian lancar?” balas Arini terdengar khawatir.
Sorot mata elang Farzan tampak sendu mendengar pertanyaan kakak iparnya. Dia kembali ingat dengan penyakit yang diderita Arini. Karena penyakit inilah kesalahan manis terjadi saat ia pulang ke Jakarta.
“Aku udah ujian dua bulan lalu, Kak. Kondisi kakak gimana? Udah minum obat teratur, ‘kan?”
“Udah. Baru aja minum obat.” Terdengar tarikan napas panjang. “Kamu kapan pulang? Kakak kangen sama adik kesayangan.”
“Insya Allah enam bulan lagi pulang. Sekarang lagi sibuk bikin skripsi. Doakan aja semua lancar, trus bisa ketemu lagi sama Kakak cantik,” sahut Farzan semringah.
Meski tahu Arini hanya menganggapnya sebatas adik kecil yang dibesarkan dengan kasih sayang, tapi sudah cukup membuatnya senang.
“Yah. Sedih nih jadinya. Video call aja deh, biar bisa lihat kamu,” pinta Arini membuat Farzan kelimpungan.
Dia garuk-garuk bagian atas kepala, karena tidak mungkin melakukan video call sekarang. Bisa tamat riwayatnya jika Arini tahu di mana Farzan sekarang.
“Jangan, Kak! Nanti aja ya. Aku sekarang lagi di luar soalnya,” elak Farzan.
“Tumben. Biasanya kalau lagi di luar juga mau video call. Mencurigakan.” Arini diam beberapa detik. “Kamu lagi ngedate ya, Zan?! Ayo ngaku. Kenalin dong sama Kakak.”
Farzan tergelak mendengar tuduhan Arini. Ada rasa lega di hati ketika kakak iparnya normal seperti ini. Ya, wanita yang dicintainya divonis terkena Alzheimer dini oleh dokter. Kondisi di mana ia akan mudah lupa dengan kejadian yang dialami.
“Nggak kok. Aku lagi keluar sama teman-teman aja. Mau puasin senang-senang sebelum pusing mikirin skripsi,” jelas Farzan tidak ingin Arini salah paham.
“Yah kirain.” Nada suara Arini terdengar lesu. “Kamu nggak pernah loh kenalin pacar ke kakak sama mas.”
Pria itu kembali tergelak sambil mengedarkan pandangan ke sisi lain gedung klub malam. Tilikan mata elangnya berhenti ketika melihat seorang wanita berjalan terhuyung dari arah bar. Tak lama dua orang pria berjalan pelan di belakang, seperti mengintainya.
“Nanti aku telepon lagi ya, Kak. Kita video call kalau aku udah sampai di apartemen aja.”
“Oke. Jaga diri baik-baik ya. Jangan keluyuran,” nasihat Arini.
“Iya. Miss you, Kak.”
“Miss you too, Dek,” pungkas Arini sebelum panggilan berakhir.
Farzan kembali melihat perempuan muda berambut panjang dan hitam itu setelah mengantongi ponsel. Dari penampilannya tampak seperti orang asia. Dia mengamati gerak-gerik dua orang laki-laki bule yang sejak tadi mengikutinya.
Tiba di luar klub, kedua laki-laki itu langsung memegang tangan kanan dan kiri wanita muda tersebut. Sontak membuatnya meronta, berusaha melepaskan diri. Naluri lelaki Farzan terpanggil melihat kejadian itu.
/0/2673/coverorgin.jpg?v=01bcae8d5f147832ddb6f44dfb02cfa8&imageMogr2/format/webp)
/0/3782/coverorgin.jpg?v=257f762159c1268ce587f41a803191f4&imageMogr2/format/webp)
/0/24955/coverorgin.jpg?v=af2d787bcc8f396fff3d2354316deb53&imageMogr2/format/webp)
/0/9741/coverorgin.jpg?v=4e3a585933dc86c7a8933d2550549994&imageMogr2/format/webp)
/0/23510/coverorgin.jpg?v=5edef706926659f99d3ed836d274efb0&imageMogr2/format/webp)
/0/2422/coverorgin.jpg?v=c83a8546a26814221803f9f1aad1082a&imageMogr2/format/webp)
/0/3767/coverorgin.jpg?v=e122681d29ba31b9ab1160fc720c919a&imageMogr2/format/webp)
/0/2430/coverorgin.jpg?v=e353dc5146b63e5655e8e2db2ce9267e&imageMogr2/format/webp)
/0/16559/coverorgin.jpg?v=e2071e6c7a02478e542e0f7ba23df599&imageMogr2/format/webp)
/0/5379/coverorgin.jpg?v=4c202b2c3430a6aad7f3fb4ade33b625&imageMogr2/format/webp)
/0/15565/coverorgin.jpg?v=3cde752980ea4bd5c953ca89bc4cce98&imageMogr2/format/webp)
/0/14057/coverorgin.jpg?v=94c831b7f982301983c825857edf2680&imageMogr2/format/webp)
/0/3853/coverorgin.jpg?v=b9640e1bc4332274459607b536ffc0db&imageMogr2/format/webp)
/0/23705/coverorgin.jpg?v=6209c31bca2b5f0db9b5e010ebeac781&imageMogr2/format/webp)
/0/2850/coverorgin.jpg?v=97f0192d4a1aae7e692969c4bbac8de6&imageMogr2/format/webp)