/0/24057/coverorgin.jpg?v=fd1094b94f91e88087ae939108913a37&imageMogr2/format/webp)
PRANG!
Suara kaca pecah membuatku terlonjak dari kamar. Hati berdegup kencang, aku segera melangkah keluar. Di halaman, ibu dan ayahku sudah muncul, wajah mereka tegang. Rizky dan Ridho ikut berdiri di samping mereka, matanya membesar melihat keributan yang tak biasa.
Di depan rumah Pak Jaya, Andri berdiri dengan bambu di tangan, wajahnya merah padam, amarahnya menyala seperti api yang siap membakar. Tubuhnya gemetar, napasnya tersengal-sengal, matanya menatap tajam ke bapaknya Fitri.
"Ini apa-apaan! Lu sudah menghina gue? Menghancurkan hubungan gue dengan Fitri, anak lu yang sudah gue bina selama dua tahun?!" teriak Andri, suaranya menggema di halaman, membuat beberapa tetangga menoleh penasaran. Andri memang arogan.
Fitri berdiri di pintu, bibirnya tampak gemetar, matanya berkaca-kaca. Ia menunduk, tak berani menatap Andri, seolah terperangkap antara cinta dan kewajiban pada keluarganya. Tubuhnya tampak kecil, rapuh di tengah keributan yang begitu besar.
Pak Jaya, ayah Fitri hanya diam, menunduk, wajah pucat. Ayah dan ibuku tampak menahan diri, sepertinya tak ingin menambah keributan. Napas semua orang terasa tercekat; bahkan beberapa tetangga mulai berkumpul di halaman, menyaksikan adegan dramatis itu, bergumam pelan dan saling menatap.
Andri melangkah maju, bambu di tangannya bergetar karena kemarahan yang tak tertahan.
"Lu pikir cuma Haji Atma aja yang berhak bahagia! Gue gak bakal diam? Fitri bukan barang yang bisa lu jual-belikan Jaya!" teriaknya lagi, suara kerasnya membuat beberapa jendela rumah seolah ikut bergetar.
Aku menahan napas, jantung berdegup kencang, merasa seperti menonton pertunjukan yang terlalu nyata, menegangkan, dan... menyedihkan. Dunia yang selama ini terasa aman dan biasa, mendadak berubah kacau hanya dalam beberapa detik.
Andri melangkah lebih dekat, hampir menepuk bahu Fitri, tapi ditahan oleh beberapa lelaki dewasa.
"Fitri, kamu bilang cinta... tapi kenapa bisa secepat ini diberubah ke Haji Atma? Kamu tak peduli perasaanku, Fitri!" suaranya pecah, menembus malam yang sunyi, seolah menahan tangis dan kesal.
Fitri hanya bisa menunduk, air matanya bercucuran di kedua pipinya.
"Aku... aku... aku harus menurut... keluargaku, Ndri... Maafkan aku..." ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.
PRANG!
Sekali lagi suara benda keras menghantam sesuatu-mungkin sisa kaca. Andri mengamuk, tubuhnya seakan meledak dalam amarah yang lama tertahan. aku, yang menyaksikan dari kejauhan, merasakan jantungnya berdetak kencang. Dunia kampung yang biasanya tenang, kini berubah menjadi panggung ketegangan penuh emosi yang sulit dipercaya.
Tiba-tiba terdengar suara lantang seorang bapak-bapak, Bang Karta, memotong keributan.
"Andri... tenang, jangan macam-macam di sini!" serunya, berusaha menenangkan Andri yang masih memegang bambu dengan tangan gemetar.
Namun Andri tak mengalah. Matanya masih menyala merah, amarahnya meledak-ledak. "Gue nggak mau tenang! Kalian pikir bisa seenaknya menghancurkan gue begitu saja?!" bentaknya, suaranya mengguncang udara sore itu.
Bang Karta melangkah lebih dekat, mencoba meredam kemarahan Andri. Tapi Andri tiba-tiba menepis tangan Bang Karta, tubuhnya kaku menahan rasa ingin meledak. Kedua lelaki itu saling menatap, napas saling memburu, seolah siap saling bentak atau lebih buruk lagi.
Tak ayal, keributan pun meluas. Warga kampung yang awalnya cuma menonton, mulai berteriak-teriak, berusaha melerai dan menenangkan kedua kubu.
"Eh, jangan sampai berantem di sini!" terika seseorang.
"Tarik si Andri bawa pergi!" teriak yang lainnya.
"Bang Karta, hati-hati!" seru seorang Bapak, suasana mendadak cheos.
Dalam sekejap, Andri ditarik menjauh oleh beberapa pemuda yang mencoba menahannya, tapi ia tetap menolak, berusaha membebaskan diri sambil terus berteriak. Sementara Bang Karta juga ditarik ke belakang oleh kelompok lain, wajahnya tegang, mulutnya masih berteriak menenangkan Andri.
Aku berdiri terpaku, jantungku berdegup kencang, merasa dunia di sekitarku mendadak gaduh dan tak terkendali. Suara teriakan, bentakan, dan gerakan panik warga bersatu jadi kekacauan yang membuat napasku tercekat. Semua terjadi begitu cepat, dan aku hanya bisa menonton dari dekat rumahku, tak tahu bagaimana ini akan berhenti.
/0/27459/coverorgin.jpg?v=abb8cd6f59192cdac901eb13b84400e6&imageMogr2/format/webp)
/0/17119/coverorgin.jpg?v=73661def9a299c57658e64aedfbdf6f5&imageMogr2/format/webp)
/0/27912/coverorgin.jpg?v=1a1205edeecb792ca45e89fe9788a14e&imageMogr2/format/webp)
/0/16630/coverorgin.jpg?v=af4949d7071372674c01b7daf4fa5b8a&imageMogr2/format/webp)
/0/18040/coverorgin.jpg?v=102fa469860503835501d205a0d6f199&imageMogr2/format/webp)
/0/19023/coverorgin.jpg?v=ece7031e039dc2359eb734b7e124c242&imageMogr2/format/webp)
/0/24216/coverorgin.jpg?v=2947d09921e477a3d573a773a8ae9132&imageMogr2/format/webp)
/0/4719/coverorgin.jpg?v=fc25b76c1d502f9d28df8a3d710735a0&imageMogr2/format/webp)
/0/13204/coverorgin.jpg?v=3affc6e83d29d46f1fb1f9f98f89a743&imageMogr2/format/webp)
/0/2924/coverorgin.jpg?v=e04338abf21ffe69c7f334fed521390c&imageMogr2/format/webp)
/0/5360/coverorgin.jpg?v=62bd91f4a9813a16945cda2b0151a6ec&imageMogr2/format/webp)
/0/14672/coverorgin.jpg?v=3a1589c2904e7cb10d4aa31536b5e4cb&imageMogr2/format/webp)
/0/27627/coverorgin.jpg?v=cceed6c9095742d7fde0699b0a5f3796&imageMogr2/format/webp)
/0/17472/coverorgin.jpg?v=0f8e7448c85466b72ec61a947bc22be7&imageMogr2/format/webp)
/0/17754/coverorgin.jpg?v=4d5a67dc7a5e4d37924eb8d66f2e5cfd&imageMogr2/format/webp)
/0/19450/coverorgin.jpg?v=0d58fb09e02e2897aea3954fe01e9dfd&imageMogr2/format/webp)
/0/23122/coverorgin.jpg?v=e07f203525618a6f8d7e40b58e3f2b5b&imageMogr2/format/webp)
/0/16712/coverorgin.jpg?v=6446d851c8c0d77c944e63be16a4d2b4&imageMogr2/format/webp)
/0/18456/coverorgin.jpg?v=508aa5da97bdece14220356f455d15a0&imageMogr2/format/webp)