/0/25091/coverorgin.jpg?v=32fc9b36aa4ede9f3eedb3c97ca99daa&imageMogr2/format/webp)
“Kau tak lebih dari wanita mandul dan sakit-sakitan!”
“Kau hanya memanfaatkan kekayaan kami dan uang Kaito untuk memperkaya diri!”
“Tapi kau sendiri tidak berguna!”
“Dasar wanita sial!"
Ayu menutup telinganya, sambil memejamkan mata. Berharap bisa memblokir ucapan keji yang diserukan ibu mertuanya. Tapi perbuatan itu percuma. Ucapan itu bukan sedang terjadi saat ini. Seruan jahat itu hanya ada dalam kepala Ayu. Meneror meski dirinya sedang tidak berada di rumah.
Saat sedang diam, memori Ayu dengan otomatis mengulang raut wajah murka dan juga kata-kata keji itu. Seperti rekaman drama buruk yang dengan terpaksa harus terus dilihat.
“Apa Anda baik-baik saja?” Supir taksi yang melihat Ayu menekuk tubuhnya dan menutup telinganya tentu khawatir. Takut jika tiba-tiba Ayu pingsan.
“Ya. Saya baik-baik saja.” Ayu menjawab dengan sopan, lalu memaksakan diri untuk tersenyum dan menegakkan tubuh, agar terlihat lebih normal.
“Tolong turunkan saya di rumah yang itu.” Ayu menunjuk rumah berpagar abu-abu dengan gerbang kayu dengan ornamen shinto yang antik.
Sekian lama melamun, ternyata taksi yang ditumpangi Ayu sudah sampai di rumah yang menjadi tujuannya.
“Di sini?” tanya supir taksi itu. Setelah berhenti tepat di depan gerbang.
“Benar. Arigatou gozaimasu” (Terima kasih)
Setelah menyerahkan ongkos taksi, Ayu turun dan merapatkan mantel. Angin larut malam saat musim gugur di Tokyo cukup menggigit.
Ayu menatap gerbang rumah yang sudah hampir dua tahun ini tidak pernah dilihatnya, dengan penuh nostalgia. Itu adalah rumah tempatnya tumbuh. Ayu menekan bel yang terletak di samping plat nama bertuliskan Tanaka. Nama itu juga menjadi nama belakang Ayu. Tapi sekarang tidak lagi, karena Ayu telah menikah.
“Ya!” Terdengar sahutan, dan pintu gebang itu terbuka.
“Ayu!” Sambutan ceria membahana.
Seorang wanita yang berusia enam tahun lebih tua dari Ayu, memeluknya dengan hangat. Wajah wanita itu mengingatkan Ayu pada wajah ibunya. Karena memang wanita itu adalah adik bungsu dari ibunya, bibi Karin.
Jarak umur Karin dan ibu Ayu memang cukup jauh. Jadi usia Karin lebih mendekati Ayu.
“Masuklah… Aku sudah menunggumu sejak tadi. Aku sudah khawatir kau tidak jadi datang.”
Karin mendahului, lalu menggeser pintu depan yang terbuat dari shoji ke samping. Rumah itu memang memiliki gaya tradisional Jepang, jadi hampir seluruh dinding rumahnya terbuat dari shoji, rangka kayu berlapis kertas transparan.
Ayu mengikutinya sambil tersenyum samar. Mendengar Karin berbicara memakai bahasa Indonesia membuat Ayu merasa hangat oleh rindu. Sudah sangat lama Ayu tidak mengobrol memakai bahasa ibunya itu.
Karin membawanya ke ruang tamu, memintanya duduk pada salah satu bantal yang tersedia. Ruang tamu itu juga bergaya tradisional, jadi Ayu duduk bersimpuh di samping meja kayu rendah yang mulus terpoles.
“Kau seharusnya meninggalkan rumah itu sejak lama, Ayu. Kau terlalu baik. Aku geram setiap kali mendengar kisahmu,” kata Karin, sambil mengelus bahu Ayu. Mengawali obrolan tanpa basa-basi.
Sudah beberapa lama ini Karin membujuk Ayu untuk meninggalkan Kaito—suaminya, tentu dengan alasan ibu mertuanya yang kejam itu. Tapi Ayu tidak sanggup mengambil keputusan seberani itu. Kini rasa sakit hati yang sejak tadi sebenarnya sudah tertahan, kembali muncul karena sentuhan simpati itu. Penghiburan dan kasihan itu, memancing air mata Ayu.
“Aku masih mencintainya,” bisik Ayu di antara isakan.
“Ck, aku tidak yakin pria itu masih mencintaimu.” Karin terdengar kesal, tapi Ayu tidak memiliki pembelaan kali ini, karena bisa jadi hal itu benar.
Ayu selalu menimbang dan menunda karena tidak ingin pernikahannya berakhir begitu saja, tidak ingin cintanya kandas.
Tapi hari ini Ayu tidak tahan lagi. Ibu mertuanya kembali menghina dan terus mencaci ketika mengetahui Ayu tidak juga hamil untuk kesekian kali.
/0/16363/coverorgin.jpg?v=fc2287daa4fb56ce42b3af69b4cc5a3e&imageMogr2/format/webp)
/0/24606/coverorgin.jpg?v=994e4596e20ab94cb8758451e031c0e5&imageMogr2/format/webp)
/0/3379/coverorgin.jpg?v=6bc187d431596e2a88388566fb53191f&imageMogr2/format/webp)
/0/10494/coverorgin.jpg?v=e02de930abcaaa20dd89fca529e4b56b&imageMogr2/format/webp)
/0/2688/coverorgin.jpg?v=1ab12dca281f711783f15f8596fab2fb&imageMogr2/format/webp)
/0/27913/coverorgin.jpg?v=faf2b47c68929ed5a61adc53187cd08a&imageMogr2/format/webp)
/0/6067/coverorgin.jpg?v=84de099c7f4d10a4fb67081f0bc62a75&imageMogr2/format/webp)
/0/18405/coverorgin.jpg?v=eba93979e9cd1f3b9657cb9be96177fa&imageMogr2/format/webp)
/0/19430/coverorgin.jpg?v=3bb9ee9327cc3ca3fceda12011ae3123&imageMogr2/format/webp)
/0/5427/coverorgin.jpg?v=5c98c390153178972cc76f6842603e36&imageMogr2/format/webp)
/0/28740/coverorgin.jpg?v=40455ec149f7d27e2a2428973465f2bc&imageMogr2/format/webp)
/0/23096/coverorgin.jpg?v=1839ff21b00af1808f1d2cf892e508f6&imageMogr2/format/webp)
/0/26812/coverorgin.jpg?v=b70aedd283d1498e21fd556e90f4c3c9&imageMogr2/format/webp)
/0/28864/coverorgin.jpg?v=ea2dee007ad4e0ae33ded56bdb1cfb1d&imageMogr2/format/webp)
/0/29395/coverorgin.jpg?v=dcfb7aaab60b671da9ef4d6eecb60e1f&imageMogr2/format/webp)
/0/3081/coverorgin.jpg?v=9a6e554bcaa7a45079ce24a6f2a592d4&imageMogr2/format/webp)
/0/14510/coverorgin.jpg?v=bb6ef97f7daf000e88fd854ec695eab7&imageMogr2/format/webp)
/0/14091/coverorgin.jpg?v=a5ecb5399684b4c79af52f1abb7507e1&imageMogr2/format/webp)