Rea sudah mencintai Jeno selama 13 Tahun, 11 Tahun cintanya yang terpendam, dan 2 Tahun perjuangannya mendapatkan cinta pria itu di dalam sebuah pernikahan yang dia paksakan. Namun, Rea harus menyerah pada akhirnya. 2 Tahun menyia-nyiakan hidup mengabdikan diri pada pria yang dia cintai, ternyata tak cukup membuat Jeno luluh. Pria itu tetap mencintai mantan kekasihnya yang ia jadikan selingkuhan. Usaha Rea seakan tak berarti hingga ia memutuskan untuk ingin bercerai. Di saat itulah Jeno merasa kehilangan sosok Rea yang selalu mencintainya meski sikapnya selalu kasar pada wanita itu. Rea berubah dingin, dan Jeno baru menyadari jika wanita itu begitu berharga. Jeno & Rea Author NityShu Cover from Pinteres by @Dalgona
"Ih, kamu nakal banget sih!"
"Habis kamu ngegemesin sih, Sayang. Uuh!" Pria itu mencubit pipi sang wanita sangat genit, dan tertawa gembira bersama memasuki pintu sebuah kamar hotel.
Semua seakan terjadi begitu cepat, wanita cantik bernama Rea memergoki seorang wanita yang ia kenal tengah check in bersama seorang pria. Dia mengenalnya sebagai kekasih pria yang sangat ia cintai sejak lama, tapi jika dia melaporkan hal ini padanya langsung apakah pria itu akan percaya?
Wanita itu memutuskan keluar dari hotel tempat ia baru saja menghadiri pesta bisnis keluarganya. Rea masuk mobil dan mengendarainya untuk kembali ke rumah, tapi di tengah perjalanan dia mendapati pemandangan yang mengejutkan. Jeno Bramantio dan mobilnya berada di tepi jalan, pria itu seperti sangat panik.
Rea menepi untuk menanyakan apa yang terjadi, meski ia yakin kalau Jeno tidak lagi mengenalinya. "Maaf, kenapa dengan mobilnya?" tanya Rea, pria itu mengangkat wajah dan menatap Rea.
"Ban mobilku kempis, dan aku sedang terburu-buru menuju ke rumah sakit untuk melihat keadaan ibuku," jawab Pria itu seraya menatapi ban mobilnya.
Wajah pria itu terlihat lelah dan cemas, terlihat dari penampilannya yang terkesan berantakan, tapi tidak mengurangi ketampanannya sama sekali.
"Jika kamu mau mari aku antar," tawar Rea.
Jeno tertegun menatap wanita itu, tidak ada pilihan lain sudah tidak ada waktu mengganti ban, atau memanggil sopir. "Terima kasih, jika boleh biar aku yang bawa mobilmu."
Rea tersenyum dan memberikan kunci mobil pada Jeno. Mereka lantas segera masuk mobil dan wanita itu terkesiap saat Jeno langsung tancap gas tanpa aba-aba lebih dulu.
***
Rea menoleh pada pria tampan yang duduk sedikit jauh dari sisinya, dia tidak berubah masih tampan dan dingin, tapi berhati lembut. Itu kenapa ia sangat menyukainya dan bermimpi ingin menikah dengannya. Namun, sayangnya setelah Jeno kembali dari luar negeri dan berpacaran dengan Aruna.
"Miris sekali, kamu di sini mencemaskan ibumu, sementara kekasihmu bersama pria lain, Jeno," batin Rea.
Dokter keluar dari ruang ICU dengan wajah cemas, secepatnya Jeno berdiri dan memburu pria berjas putih itu. "Bagaimana dengan keadaan ibuku, Dok?"
Dokter menghela napas, menatap Jeno dengan rasa menyesal. "Ginjal ibu Anda sudah tidak bisa berfungsi lagi. Cuci darah pun sudah tidak banyak mempengaruhi, Anda harus segera mencarikan donor ginjal untuk ibu Anda."
"Kalau begitu, ambillah ginjalku, Dok. Aku anaknya, pasti akan cocok," sahut Jeno dengan cepat, seperti tidak berpikir panjang lagi.
"Belum tentu juga, Tuan. Namun, mari kita cek dulu." Dokter mengajak Jeno pergi untuk ke ruang pemeriksaan, dua perawat juga ikut untuk membantu, sementara Rea ditinggal sendiri di depan ruang ICU.
Wanita itu melangkah mendekati pintu ruangan yang terdapat kaca, terlihat seorang wanita paruh baya tampak tertidur tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Hati Rea tersentuh, sebagai anak yang telah ditinggalkan ibu sejak kecil tentu Rea sangat mendambakan sosok seorang ibu untuk memberikannya kasih sayang.
Di tengah lamunannya ia terkejut akan teriakan Jeno, pria itu memukul dinding dengan marah membuat Rea khawatir, apalagi melihat luka memar di tangan Jeno. "Apa yang kamu lakukan? Lihat tanganmu luka begini." Tanpa ia sadari meraih tangan pria itu untuk melihat lukanya.
Namun, Jeno menariknya kasar membuat Rea merasa tidak enak. "Ma-maaf," lirihnya seraya mengangguk.
Jeno tidak menggubrisnya, pria itu malah merogoh kantung celana dan mengambil ponsel dari dalamnya untuk menghubungi seseorang. "Hallo, Bibi. Maukah Bibi datang ke rumah sakit untuk donor ginjal buat ibuku?"
"...."
"Aku mo--"
Panggilan diputus secara sepihak, bahkan adik ibunya sendiri tidak peduli. Keluarganya sangat besar, tapi tidak ada yang peduli pada ibunya satu pun. Dia satu-satunya harapan malah tidak bisa membantu.
"Apakah ginjalmu tidak cocok?" tanya Rea hati-hati.
Jeno terdiam, menatap Rea dengan tatapan waspada, tapi pada akhirnya dia mengangguk juga. "Kondisiku tidak memungkinkan untuk jadi pendonor, aku ada darah rendah," jawab Jeno, lantas Rea mengangguk paham. "Pulanglah, kukira kamu sudah pulang tadi, tapi ternyata masih di sini juga," lanjutnya mengusir Rea.
"Itu karena aku ...."
"Pergilah, terima kasih sudah membantuku. Besok, aku akan membayarmu sepuluh kali lipat." Tanpa menoleh lagi, Jeno melangkah masuk ruangan meninggalkan Rea sendirian, dan hanya menatap pintu yang tertutup.
Rea menghela napas pelan, berbalik badan dan pergi.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 11:15 menit malam. Tim dokter masuk ruang ICU membuat Jeno yang memang belum tidur pun merasa terkejut. "Dokter ada apa?" tanyanya lantas berdiri dari duduk.
"Ibu Anda akan segera menjalani operasi transplantasi ginjal, jadi kami harus segera membawanya ke ruang operasi."
Jeno tertegun sejenak mendengar jawaban dokter, tapi siapa yang rela membantu dan ginjalnya cocok dengan ibunya? Jeno tersenyum, mengira jika salah satu keluarganya yang telah datang membantu.
"Apakah keluarga ibuku yang bersedia, Dok?" tanya Jeno tak sabaran, pria itu terlampau bahagia sekali.
"Dia mengatakan begitu. Ya sudah kami harus segera membawa ibumu pergi, lebih cepat lebih baik," sahut Dokter itu.
Jeno mengangguk para perawat segera mendorong brankar keluar ruangan diikuti Jeno. Ibunya masuk ruang operasi, dan pintu ditutup. Jeno tidak tahu keluarganya yang mana yang pada akhirnya bersedia memberikan kepedulian pada sang Ibu, intinya Jeno berjanji akan memberikan seperempat saham perusahaan milik keluarga besar Bramantio padanya.
Jeno merasa resah dan gelisah, kadang dia duduk dan berdiri lantas menatap lampu di atas pintu yang menyala merah. "Tuhan, aku mohon buat operasi ibu lancar dan ibu bisa kembali sehat," gumamnya.
Pria itu terus berjalan mondar-mandir, sungguh Jeno tak bisa tenang menunggu proses operasi ibunya selesai. Bagi dia Maryam adalah segalanya, kepergian sang Ayah sejak ia masih kanak-kanak membuatnya jadi kekurangan kasih sayang seorang Ayah.
Kadang dia selalu merasa iri pada teman-teman sekolahnya yang selalu diantar jemput Ayah mereka, tapi dirinya tak pernah sekali pun, itu yang membuat Jeno tumbuh jadi orang yang dingin dan pemarah.
Sepeninggal ayahnya, katanya Maryam tak ingin menikah lagi. Wanita itu yang berusaha keras tetap berjuang demi membesarkan Jeno buah hatinya.
Pintu ruang operasi dibuka. Brankar ditarik dan didorong, wajah ibunya tampak pucat, tapi sepertinya lebih baik dari sebelumnya. "Syukur, operasinya berhasil," kata Dokter membuat Jeno tersenyum senang. "Nyonya Maryam akan dibawa ke ruang rawat inap lebih dulu, kamu bisa menungguinya."
Tanpa pikir panjang, Jeno mengangguk lalu melangkah mengikuti para perawat membawa brankar sang Ibu. Dia sampai lupa menanyakan siapa nama orang yang telah menolong ibunya.
Setelah kepergian Jeno, kali ini brankar kedua didorong keluar dan ternyata Rea yang berbaring di atasnya.
***
Esok hari yang cerah, Jeno begitu bahagia melihat ibunya kini sudah siuman. Dia akan menemui orang yang telah mendonorkan ginjalnya untuk sang Ibu. Saat ini juga ada Aruna yang datang menjenguk dengan membawa buket bunga lili putih kesukaan calon ibu mertua.
Namun, sayangnya Maryam tidak pernah menganggap Aruna sebagai calon istri putranya, tak lebih hanya seorang sekretaris saja.
"Bu, aku akan segera kembali," pamit Jeno, Maryam pun mengangguk dengan senyumnya yang masih lemah.
"Aku juga pamit, Nyonya," kata Aruna juga dengan sedikit membungkukkan punggung, dan Maryam hanya menjawab dengan anggukan lagi.
Keduanya keluar ruangan rawat Maryam, dan menuju ruangan lain. Menurut info orang yang telah mendonorkan ginjal untuk ibunya dirawat tak jauh dari ruangan ibunya.
Mereka sampai di sebuah pintu kamar yang diduga kamar milik Rea, pria itu menekan handle dan membukanya. Jeno terkejut saat yang ia lihat wanita yang semalam ia suruh pulang dengan sedikit judes, tapi mengapa sekarang dia terbaring di sini?
"Kamu?" Jeno masuk ruangan dan melangkah mendekat ke ujung ranjang Rea yang berbaring dengan sedikit duduk menyandar. "Ada apa denganmu? Semalam kamu baik-baik saja pada saat aku suruh kamu pulang?" cecar Jeno.
Rea tersenyum, dia menatap Jeno dan wanita di sampingnya. Kasihan Jeno, mungkin dia tidak tahu apa-apa tentang skandal Aruna, Rea tidak pernah rela jika Jeno jatuh ke tangan wanita yang salah dan sekotor Aruna. "Apa dokter ibumu tidak mengatakan sesuatu?"
Jeno terdiam sejenak sebelum ia bereaksi. "Jadi kamu yang telah ...." Rea mengangguk. "Karena kamu sudah mendonorkan ginjalmu untuk ibuku, aku akan memberikan seperempat saham perusahaanku padamu," kata Jeno dengan gampangnya.
Rea terdiam, wanita itu menatap Jeno dengan seksama. "Aku tidak butuh uang, keluargaku memiliki harta tak kalah banyaknya denganmu."
Jeno merasa bingung. "Lalu apa yang harus aku berikan sebagai gantinya?"
"Aku butuh kamu, menikahlah denganku."
Mendengar hal itu membuat Jeno merasa direndahkan harga dirinya sebagai pria. Bisa-bisanya wanita ini meminta dirinya menikahi dia untuk alat tukar-menukar.
"Baik," jawab pria itu dengan rahang yang mengeras, Jeno tiba-tiba saja merasa jijik melihat Rea, baginya wanita itu sangat tidak layak untuk dia hormati, apalagi dijadikan seorang istri.
Meski Aruna berteriak tidak terima, Jeno tetap berdiri kaku menatap Rea yang terlihat tersenyum puas. Hati Jeno terluka karena Aruna menangis tak terima, tapi lihatlah wanita itu. Rea begitu sangat menikmatinya, Jeno mengepalkan kedua telapak tangan dan berjanji akan membuat wanita itu menyesal telah memberi keputusan untuk menikah dengannya!
Bab 1 Membuatnya Menyesal
31/01/2023
Bab 2 Setelah 2 Tahun
31/01/2023
Bab 3 Tidak Berhak Mengaturnya
31/01/2023
Bab 4 Jangan Singgung Dia
31/01/2023
Bab 5 Apa Kamu Cemburu
31/01/2023
Bab 6 Dia Memang Gila
31/01/2023
Bab 7 Dijadikan
31/01/2023
Bab 8 Kendalikan Rasa Cemburumu!
31/01/2023
Bab 9 Kamar Pengantin Untuk Suamiku
31/01/2023
Bab 10 Apa Salahku
31/01/2023
Bab 11 Sejak Kapan Dianggap Istri
01/03/2023
Bab 12 Ingin Membakar Mimpi
03/03/2023
Bab 13 Ingin Bercerai
03/03/2023
Bab 14 Tatapan Kebencian
03/03/2023
Bab 15 Kearogansian Jeno
03/03/2023
Bab 16 Antara Cinta dan Benci
04/03/2023
Bab 17 Kesalahan Dari Awal
04/03/2023
Bab 18 Rasa Yang Berbeda
04/03/2023
Bab 19 Tuduhan Aruna
04/03/2023
Bab 20 Melihat Tingkahnya
04/03/2023
Bab 21 Ditagih Janji
20/06/2023
Bab 22 Tak Bisa Tidur
20/06/2023
Bab 23 Bekas Cinta Semalam
20/06/2023
Bab 24 Bertemu Kekasih Gelap
20/06/2023
Bab 25 Menarilah Di Atas Tubuhku
20/06/2023
Bab 26 Harus Terpisah Lagi
20/06/2023
Bab 27 Pria Tak Punya Hati
20/06/2023
Bab 28 Menyadari Perasaannya
20/06/2023
Bab 29 Merasa Tersisih
20/06/2023
Bab 30 Memperkenalkannya Sebagai Istri
20/06/2023
Bab 31 Masih Pria Yang Sama
20/06/2023
Bab 32 Terus Mengekangnya Dalam Kendali
20/06/2023
Bab 33 Salah Jatuh Cinta
20/06/2023
Bab 34 Kritis
20/06/2023
Bab 35 Sadar Telah Jatuh Cinta
20/06/2023
Bab 36 Tidak Menerima Rasa Iba
20/06/2023
Bab 37 Akhirnya KAU Mencintaiku
20/06/2023
Bab 38 Menyembunyikan Kebenaran
20/06/2023
Bab 39 Surya Akhirnya Tahu
20/06/2023
Bab 40 Cemburu
20/06/2023