/0/15547/coverorgin.jpg?v=c919da9d1068f2a65413c2b878183c94&imageMogr2/format/webp)
Erlan Levin, seorang CEO ternama berwajah tampan dan berwibawa. Yang merupakan pemilik sebuah perusahaan besar di Jakarta. Saat ini sedang menuju kantor kebesarannya.
Suasana kantor mulai padat pagi ini. Beberapa karyawan menyapanya ramah dan hanya dibalas anggukan oleh Erlan.
Sang CEO terus berjalan masuk ke dalam kantor. Lalu dia berhenti tepat di depan lift utama yang menghubungkannya dengan kantornya, yang berada di lantai paling atas.
"Selamat pagi, Tuan Erlan." sapa Rani, sekretaris setia yang mendampinginya selama ini.
Erlan hanya mengangguk.
"Saya punya jadwal apa hari ini, Rani?"
"Tidak ada yang mendesak, Bos." jawab, Rani. Hanya saja Tuan dan Nyonya Besar sedang menunggu Anda di ruangan saat ini.
"Papi dan Mami lagi di sini? Sejak kapan mereka sampai?" tanyanya.
"Sejak tadi pagi, Bos." Jawab, Rani.
"Baiklah, tolong katakan kepada Dio untuk menyiapkan mobil dengan segera. Saya ingin meninjau lokasi proyek yang ada di Tangerang." Setelah berkata begitu, Erlan langsung masuk ke dalam ruangan kebesarannya.
"Pagi, semua." Sapanya dingin kepada kedua orang tuanya. Lalu Erlan pun duduk di kursi kebesarannya.
"Ya ampun, Erlan! Kamu ini tidak sopan, ya? Masa kamu menyapa Papi dan Mami dengan cara seperti itu?" protes Nyonya Anisa.
"Aku sibuk, Mi." alasannya.
Sesibuk apa sih kamu, sampai-sampai tidak ada waktu untuk mengenal wanita?" Kali ini, Tuan Fred yang angkat bicara.
"Kok malah melenceng ke wanita sih, Pi?" Kesal, Erlan.
"Lho kenapa memangnya? Kamu itu nggak ingat umur apa? Tahun ini kamu genap berumur tiga puluh tahun. Akan tetapi kamu belum juga menikah. Para sepupumu semua telah menikah. Tinggal kamu yang belum, Erlan!" Tutur, sang mami.
"Apa kamu belum juga move on dari wanita itu? Atau jangan-jangan kamu menunggu mantanmu itu menjadi janda kah, baru kamu menikahinya?" Cecar sang mami lagi.
Dulu ada seorang wanita yang sangat Erlan kagumi. Namun sayangnya, wanita itu telah lebih dulu menikah dengan pria yang dirinya cintai. Dia hanya menganggap Erlan sebagai teman semata.
"Ini tidak ada hubungannya dengan dia, Mi! Tolong jangan kait-kaitkan dia lagi denganku! Dia sudah bahagia dengan keluarganya, jadi stop membahasnya!" Kesal Erlan kepada ibunya.
"Terus jika bukan karena perempuan itu, kenapa kamu masih belum juga menikah? Apakah kamu menunggu dia punya cucu dulu, baru kamu akan menikahi cucunya? Begitu kah maksud kamu, Erlan?" sergah sang mami, semakin kesal dengan anaknya.
"Mami!" hardiknya, semakin marah.
"Hei, kamu kok jadi membentak Mami?" tukas Tuan Fred membela istrinya.
"Papi dan Mami tidak mau tahu! Tahun ini kamu harus menikah! Jika tidak, Papi akan mencopot jabatanmu dan semua fasilitasmu akan Papi sita! Kali ini Papi serius! Tidak ada pengampunan lagi bagimu jika kamu membohongi Papi! Sudah cukup tahun lalu kamu mempermalukan Papi dan Mami dengan lari di hari perjodohanmu!" tegas Tuan Fred kepada putra semata wayangnya itu.
"Erlan, coba kamu berpikir sedikit. Kamu itu putra kami satu-satunya. Umurmu sudah semakin tua. Kapan kamu bisa memberi kami cucu? Apakah kamu tidak pernah berpikir, siapa nantinya yang mewarisi perusahaan kakekmu? Jika kamu masih betah sendiri? Mau sampai kapan kamu seperti ini, Erlan?" isak sang mami yang sungguh sangat menyayat hati setiap orang yang mendengarnya.
Tak terkecuali Erlan, yang langsung terdiam dan merasa terenyuh mendengar tangisan ibunya. Dia tidak mendengar jika ibunya menangis. Membuat hatinya menjadi sedih.
Erlan ingat betul saat ibunya menangisi dirinya yang mabuk-mabukkan saat masih belum bisa melupakan mantannya.
Fred lalu mendekati ibundanya dan berkata,
"Mi, berhentilah menangis, aku ... aku akan menuruti perintah Mami kali ini." Ujarnya, terbata.
"Kamu pasti akan berbohong lagi! Seperti yang lalu-lalu, iya kan? Jujur saja kamu! Kamu itu hanya tahunya menyenangkan hati Mami dalam waktu singkat saja." isaknya semakin menjadi-jadi.
"Nggak, Mi. Kali ini aku akan menuruti perintah Mami." Ujarnya pasrah, karena dia juga sudah capek kucing-kucingan dengan kedua orang tuanya perihal jodoh.
/0/12753/coverorgin.jpg?v=30f189ccce34b86d3dfb76da73c6e95f&imageMogr2/format/webp)
/0/14868/coverorgin.jpg?v=ed691902cab62c9f9016d20bc582a957&imageMogr2/format/webp)
/0/12634/coverorgin.jpg?v=5cc210e46ea5ee389a0a2e1911a32a2e&imageMogr2/format/webp)
/0/13130/coverorgin.jpg?v=b23b8b5b8c84e223572e09785c9eec53&imageMogr2/format/webp)
/0/24347/coverorgin.jpg?v=666de77ca3973db3eb04724e57c20e17&imageMogr2/format/webp)
/0/17361/coverorgin.jpg?v=02ed18d5ec951a7c5577f9a36e9138b0&imageMogr2/format/webp)
/0/7432/coverorgin.jpg?v=cdad065e9d03d2602fa89d649f5f3d93&imageMogr2/format/webp)
/0/13431/coverorgin.jpg?v=e7cb3279273a1870d082d11b81a30a8f&imageMogr2/format/webp)
/0/24396/coverorgin.jpg?v=d69290ab29cc24b3b345234c814c5d3d&imageMogr2/format/webp)
/0/16900/coverorgin.jpg?v=dc44248f1eddbf3ec2f3185d5a9341b9&imageMogr2/format/webp)
/0/12764/coverorgin.jpg?v=312164d811c5cae3873f2cdf925c7af0&imageMogr2/format/webp)
/0/18292/coverorgin.jpg?v=87cfca97bd6e4a87b8a1e45f2d59d4bc&imageMogr2/format/webp)
/0/24328/coverorgin.jpg?v=94d2d65544d4fd5642c0b9f3ff311c32&imageMogr2/format/webp)
/0/4346/coverorgin.jpg?v=e99ad841c1d7ed14fd14bd07f0817b0f&imageMogr2/format/webp)
/0/13507/coverorgin.jpg?v=38da432f69ee9f0aa700787786fd7b13&imageMogr2/format/webp)
/0/25071/coverorgin.jpg?v=aa12c1375dc8065192499ce7e9cc8b8b&imageMogr2/format/webp)
/0/18075/coverorgin.jpg?v=22197f456e123d64a5ab781d0f0a5bb5&imageMogr2/format/webp)
/0/16824/coverorgin.jpg?v=ede1f76b400f3cfd57bd9b253e5f1fd4&imageMogr2/format/webp)
/0/2351/coverorgin.jpg?v=33bc23e32df7f5ac3937c4479d10eeea&imageMogr2/format/webp)
/0/23788/coverorgin.jpg?v=49b7e99d293c396a41c9a16456321089&imageMogr2/format/webp)