Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Uang yang Mbak kirim dua minggu lalu cuma cukup untuk menyicil rumah yang digadaikan Bapak, sebagian sisanya juga udah dipakai buat tebus obat Ibu. Kalau untuk jadwal cuci darah Ibu berikutnya, kita perlu biaya tambahan yang nggak bisa dibilang sedikit, Mbak."
Rena memejamkan mata dengan kernyitan putus asa yang tak segan ia sembunyikan. Satu-satunya hal yang coba ia pertahankan saat ini adalah kewarasannya yang tersisa. Bahkan embusan angin malam yang menyisir kulit, tak mampu mendinginkan kepalanya yang serasa ingin meledak detik itu juga.
Masih mempertahankan sambungan ponsel dalam genggaman, Rena meneruskan langkah melewati jalan paving di antara himpit gang menuju rumah kontrakan sederhana, tempat di mana ia bernaung hidup selama 4 tahun terakhir ini.
"Mbak akan usahakan cari pinjaman secepatnya. Kamu nggak usah mikir terlalu banyak, fokus aja ngerawat Ibu dan selesain pendidikan kamu. Soal biaya apapun dan hutang Bapak, biar itu jadi urusan, Mbak."
Hening sejenak menyungkup di seberang panggilan. Pertanda bahwa lawan bicara di sebelah sana juga tak kalah menanggung beban pikiran yang sama.
"Mbak?" panggil suara di seberang cukup hati-hati. "Gimana kalau Kayla berhenti kuliah dulu? Biar bisa cari kerja dan bantu mengurangi---"
"Kay." Rena menyela, embusan napas beratnya terdengar samar. "Semua biaya apapun biar jadi tanggung jawab Mbak. Kamu jalani aja apa yang jadi kewajiban kamu di sana."
"Tapi Mbak, hidup kita nggak akan berubah kalau terus-terusan seperti ini."
"Dan hidup kita juga nggak akan berubah kalau kamu juga ikut-ikutan berhenti kuliah," potong Rena, hingga berhasil membuat Kayla yang berusaha ingin berdebat memilih bungkam.
Ini bukan pertama kali ia mendengar adiknya itu mengusulkan untuk ikut bekerja membantu menopang finansial keluarga mereka. Dan membuat Kayla melepas pendidikannya, adalah satu-satunya hal terakhir yang Rena inginkan.
Di usianya yang kini telah menginjak 28 tahun, lebih dari cukup bagi Rena merasakan asam-garam dinamika kehidupan. Ia jelas tahu, tak pernah ada yang mudah bagi lulusan sekolah kejuruan seperti dirinya bertahan di antara persaingan industri metropolitan. Perlu usaha bertatih-tatih dan waktu tidak sebentar untuk mengantarkannya ke posisi yang lebih layak seperti sekarang.
Cukup ia saja yang gagal merasakan bangku kuliah, cukup ia saja yang merasakan dipandang sebelah mata dan sulitnya mengais nafkah hanya karena bukan lulusan berijazah sarjana. Ya, cukup Rena saja. Ia tak ingin Kayla ikut menjadi bagian di dalamnya. Adiknya itu harus punya masa depan yang jauh lebih baik darinya. Karena nyatanya dunia tidak sedermawan itu bagi orang-orang pinggiran seperti mereka.
"Kay," panggil Rena lembut. "Ibu, Bapak, bahkan Mbak sendiri nggak bisa mewariskan kamu apa-apa selain pendidikan. Jadi jangan buang kesempatan yang sudah kamu capai susah payah hanya karena masalah ini. Apapun yang terjadi, kamu harus selesain kuliah kamu sampai sarjana. Itu satu-satunya bantuan terbaik yang bisa kamu kasih untuk, Mbak."
Usai memberikan sedikit petuah dan meyakinkan Kayla bahwa semua akan baik-baik saja, Rena menutup sambungan panggilan di antara mereka. Gadis itu mengantongi kembali ponsel miliknya ke dalam saku blazzer kerja yang ia kenakan. Kemudian segera merogoh ke dalam tas selempang mencari kunci kontrakan, begitu kedua kakinya sudah menapaki teras bangunan sederhana itu di ujung gang.
Keheningan adalah hal pertama yang menyambut Rena ketika pintu kayu berpelitur tersebut ia buka. Gelap dan udara pengap pun ikut mendominasi sejauh mata memandang akibat jendela yang tertutup seharian dan lampu ruangan yang belum dinyalakan. Namun, alih-alih melangkah menyusuri ruang tamu untuk mencari saklar, gadis itu memilih bergeming di tempatnya dengan sejuta kemelut pikiran yang ada.
Entah sejak kapan, ada jejak lembab yang perlahan turun membasahi pipinya. Rena berusaha mengusap dengan kasar bukti kelemahan yang mengalir tak terbendung itu, tapi sekuat apapun ia menepis perasaan gundah yang memaksa masuk, hatinya rupanya tak cukup kuat untuk mengelak.
Hingga di ujung pertahan, Rena memilih menyerah penuh pada perasaannya, dan membiarkan sesak yang datang semakin merajam. Ia tersungkur duduk di depan pintu dengan kepala tertunduk lesu di antara kedua kakinya. Menangis diam-diam dalam kebisuan.
Dua tahun lalu, saat ayahnya harus berpulang karena penyakit liver yang diderita, kemudian meninggalkan hutang judi yang tak sedikit jumlahnya, Rena masih mampu untuk bersikap tegar di tengah keadaan itu. Mengambil kerja tambahan di saat tubuh lelahnya berteriak ingin diistirahatkan, harus bekerja siang malam, rela berkawan dengan kepenatan untuk menebus kembali jaminan rumah yang digadaikan karena hutang sang ayah.
Enam bulan lalu, saat ibunya gantian divonis dokter mengalami infeksi penyumbatan saluran kemih yang berujung kronis pada ginjal, Rena kembali tak punya pilihan selain mencoba menjadi kuat sekali lagi. Bahunya makin hari makin terlatih untuk menanggung tanggung jawab keluarga, berperan utuh menjadi tulang punggung satu-satunya.
Ya, di luar sana ia memang bisa berdiri setangguh itu. Berpijak di atas masalah dengan dagu terangkat setegar itu. Namun ternyata jauh di dalam sini, saat malam dan sepi mengukungnya dengan kehampaan seperti sekarang, dirinya sadar bahwa ia juga manusia biasa yang bisa jatuh kapanpun juga.
Untuk detik ini saja, izinkan ia menjadi lemah sekali saja. Biarkan ia menjadi pecundang untuk dirinya sendiri hanya untuk malam ini saja. Karena berpura-pura menjadi tangguh tidak hanya menguras habis fisiknya, tapi juga membuat ia mati dari dalam perlahan-lahan.
Masih terisak tanpa suara, Rena memeluk tubuhnya sendiri erat-erat. Membiarkan keheningan dan malam menjadi temannya berbagi resah. Sampai entah berapa lama, rasa kantuk pelan-pelan datang merayunya dalam lelap. Membuat mimpi dan alam bawah sadar menjadi pelarian sementara baginya. Hingga nanti pagi datang menjelang, ia bisa kembali bermain peran.
***
Andreas menatap hingar-bingar keramaian di depannya. Asap tembakau yang nyaris memenuhi seisi ruangan dan hentakan kaki orang-orang di lantai dansa, tak menyurutkan langkah mantap pria itu menyibak keramaian yang menghalangi jalan. Pandangan matanya masih sibuk menjelajah ke seluruh penjuru mencari sumber alasan satu-satunya kenapa ia harus menyambangi tempat ini di pukul dua dini hari. Saat seharusnya di jam yang sama itu pula ia sudah mengistirahatkan diri sepenuhnya dari kesibukan.