Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Gairah Sang Majikan
Maaf, sayang. Bulan ini Abi cuma bisa ngasih segini ke kamu. Maaf ya. Soalnya dalam kondisi hamil, Naura membutuhkan lebih banyak uang. Ami tidak marah kan?" Arsyad menyodorkan sebuah amplop coklat tipis kepada Ika istri pertamanya.
"Ya terimakasih, Bi. Masih bersyukur di kasih rezeki." Ika menerima amplop itu.
"Abi ke kamar mandi dulu ya?"
"Iya, Bi. Sementara Ami siapkan untuk makan malam.
Ya hari adalah jadwal Arsyad berkunjung kerumah tersebut, setelah menikahi Naura dua bulan yang lalu. Sesuai komitmen Arsyad, dua minggu bersama Naura, maka ia akan kembali ke rumah yang di diami Ika selama dua minggu juga.
Sepeninggal suaminya, Ika membuka amplop yang tadi di berikan Arsyad padanya.
"Satu juta lima ratus ribu rupiah. Setengah dari bulan lalu." Gumamnya lirih.
Jumlah itu jauh berbeda dari nominal bulan lalu. Bulan lalu Arsyad menyerahkan tiga juta. Total gaji Arsyad sebagai karyawan di perusahaan adalah tujuh juta. Biasanya dulu, enam juta selalu Arsyad serahkan pada Ika. Selebihnya Arsyad gunakan untuk kebutuhannya sendiri.
Namun setelah menikahi Naura. Semua jadi berbeda. Sesungguhnya Ika ikhlas dengan takdirnya. Namun apa yang terjadi sekarang adalah diluar dugaannya semula.
"Mi, bulan ini Abi cuma bisa seminggu bersama Ami. Itu juga melihat keadaan Naura. Apabila keadaannya tidak baik, Abi harus kembali padanya. Noura menuntut Abi untuk lebih sering bersamanya. Karena kondisinya yang sedang hamil muda. Maafkan Abi ya." Arsyad membelai rambut hitam panjang dan lurus milik Ika.
Ika diam sesaat, lalu tersenyum kecut.
"Aku mungkin harus lebih mengerti. Inikah takdir seorang istri yang tak bisa memberikan keturunan." Ika membatin.
"Maaf, Bi. Ami kebelet." Dengan sedikit menyembunyikan mukanya yang mulai memerah. Ia berlari ke kamar mandi.
Di cermin kamar mandi, Ika tidak bisa menahan bulir-bulir bening itu. Ia menyekanya perlahan.
"Sekarang semua terbagi dengan tidak adil. Hiks... Hiks... Ku kira dengan mengizinkanmu poligami akan menambah ladang pahala bagiku. Tapi mengapa semuanya harus seperti ini. Mulai waktumu yang hanya ku dapatkan sepertiga dalam sebulan, nafkah, dan mungkin saja cintamu yang tidak lagi terbagi rata antara aku dan Naura..." Kembali Ika menyeka air mata nya.
"Berbagi memang tak mudah. Namun demi bakti ku, dan juga agar kau mendapatkan momongan, aku ikhlas. Karena aku sadar, rahim ini belum mampu memberikanmu keturunan."
Ika melamun, teringat kembali kejadian beberapa bulan lalu.
***
Beberapa bulan yang lalu
Ika sibuk menyiapkan hidangan di meja makan. Biasa aktivitas yang akan ia lakukan apabila datang berkunjung ke rumah mertuanya. Ia akan membebaskan mertuanya dari tugas dapur. Dari memasak, beres-beres, mengepel hingga membersihkan kamar mandi.
Ika sama sekali tidak merasa di perbudak. Justru ia merasa bangga bisa melakukan itu untuk meringankan pekerjaan rumah sang mertua. Dengan begitu, akan menambah bakti terhadap orang tua bukan?
"Ika,..." Panggil Bu Melia
Ika menghentikan pekerjaannya,
"Ya, Bu." Tanggap Ika cepat.
"Bisa bantu ibu sebentar?"
"Tentu saja."
"Kamu ke pasar, ibu sudah membuat daftar barang belanjaan yang harus di beli."
Bu Melia menyodorkan sebuah kertas berisi daftar barang belanjaan.
"Ya baiklah. Tapi nih Ika belum selesai menyiapkan hidangan di meja makan."
"Tidak apa-apa. Nanti ibu yang akan menyelesaikannya.
"Oh ya. Baiklah, Ika bisa pergi sekarang."
"Terimakasih. Nih kunci mobilnya." Bu Melia mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya.
"Tidak usah, Bu. Pakai sepeda motor saja, Bu. Lebih leluasa."
Kebiasaan mertuanya adalah membeli kebutuhan dapur di pasar tradisional. Tentu saja sepeda motor adalah pilihan yang pas.
"Ini uangnya." Bu Melia menyodorkan beberapa lembaran uang berwarna merah.
"Tidak usah, Bu. Pakai uang Ika saja."
"Ah, Ika. Ibu jadi tidak enak pakai uang kalian."
"Tidak apa-apa, Bu. Sesekali membeli kebutuhan orang tua sendiri."
"Aduuh terimakasih kalau begitu."