/0/2747/coverorgin.jpg?v=98010ca9c86bd0c55ead65e7dee13989&imageMogr2/format/webp)
Jantung Kania selalu terasa seperti es yang retak setiap kali mobil hitam mewah itu memasuki halaman rumah. Rumah megah, bak istana, tapi baginya ini adalah sangkar dingin yang penuh jeritan senyap. Bukan rumah, melainkan penjara. Penderitaan ini dimulai tepat enam bulan lalu, hari di mana ia dipaksa mengenakan gaun putih paling indah dan mengucap janji suci di hadapan semua orang. Janji yang terasa basi bahkan sebelum ia mengucapkannya.
"Cepat! Apa kamu tuli? Kenapa teh ini dingin sekali?!"
Suara berat dan menusuk itu, milik Rendra, suaminya. Atau lebih tepatnya, si pemilik sah penderitaannya.
Kania terperanjat, buru-buru menunduk. Tangan kurusnya gemetar memegang nampan perak. Udara di ruang tamu itu begitu tebal, dipenuhi aroma kopi mahal dan bau arogansi. Di sofa, duduk Rendra, dengan tatapan mata yang tak pernah menunjukkan kehangatan. Di sebelahnya, ada Mertua Kania, Nyonya Besar Ratna, yang selalu menatap Kania seolah ia adalah kotoran di bawah sol sepatu mahalnya.
"Maaf, Mas. Saya akan segera ganti." Kania berusaha agar suaranya tidak bergetar. Bergetar sedikit saja, hukuman yang didapat bisa berlipat ganda.
Rendra mendengus kasar. "Dasar perempuan bodoh. Teh saja tidak becus. Apa gunanya kamu di rumah ini selain menghabiskan jatah oksigen?"
Nyonya Ratna ikut menimpali, suaranya melengking tajam, "Dengar itu, Kania. Jangan pernah lupa posisimu. Di rumah ini, kamu hanya pelayan yang kebetulan berstatus istri. Jangan samakan dirimu dengan menantu lain yang berpendidikan tinggi."
Kania mengepalkan jemari di balik punggung. Ucapan itu adalah menu harian, sarapan, makan siang, dan makan malamnya. Ia sudah mati rasa, tapi setiap kata itu tetap meninggalkan bekas luka baru. Ia tahu ia hanya perempuan kampung yang didatangkan ke rumah ini karena "Wasiat Konyol" yang dibuat mendiang kakek Rendra, yang entah bagaimana, hanya dia yang bisa memenuhinya. Kania tak pernah tahu detail pastinya. Ia hanya tahu, pernikahan ini adalah kontrak, dan ia adalah budak bayaran.
Saat Kania berbalik menuju dapur, Rendra melemparkan majalah tebal yang baru ia baca, mendarat tepat di punggung Kania.
Malam harinya, setelah semua tugas rumah selesai, Kania baru bisa menyentuh telepon genggamnya yang usang. Ia membuka galeri, melihat foto adiknya, Bintang. Bintang yang tersenyum lemah, terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang-selang di sekitarnya. Melihat wajah Bintang adalah satu-satunya alasan ia masih bernapas, masih kuat menelan semua hinaan dan perlakuan kasar.
Bintang sakit parah, penyakit langka yang butuh biaya pengobatan ratusan juta. Dan keluarga Rendra, melalui wasiat itu, adalah pihak yang menanggung penuh semua biaya.
Kania menghela napas panjang. Ia harus kuat. Ini semua demi Bintang.
Tiba-tiba, pintu kamar didobrak keras. Rendra masuk dengan wajah merah padam. Jelas, ia baru saja minum lagi.
"Kamu, dari mana saja?!" bentaknya, menarik kasar rambut Kania hingga kepala Kania mendongak.
"Di dapur, Mas. Saya baru selesai mencuci piring..."
"Dapur?!" Rendra tertawa sinis. "Sejak kapan pembantu bisa mencuci piring sampai selarut ini? Jangan bohong. Tadi siang, kamu bertemu siapa di luar?"
Kania membeku. Ia ingat, tadi siang saat ia disuruh membeli kebutuhan mendadak, ia sempat berpapasan dengan seorang pria di minimarket, dan pria itu-seorang asing-sempat membantunya memungut barang belanjaan yang jatuh. Itu saja. Hanya beberapa detik.
"Saya tidak bertemu siapa-siapa, Mas. Saya hanya di minimarket."
/0/30775/coverorgin.jpg?v=731db4b34ca54d4a4d26dda2ee411444&imageMogr2/format/webp)
/0/31007/coverorgin.jpg?v=20251216171638&imageMogr2/format/webp)
/0/24784/coverorgin.jpg?v=2f8224f0742e71367de30d7f48d128c9&imageMogr2/format/webp)
/0/23400/coverorgin.jpg?v=8cb5f09485615f6caa2b6e0e9f1405aa&imageMogr2/format/webp)
/0/29057/coverorgin.jpg?v=20251204202448&imageMogr2/format/webp)
/0/27881/coverorgin.jpg?v=012b0b75698fbc03684713a4f96121ba&imageMogr2/format/webp)
/0/18019/coverorgin.jpg?v=20240617113227&imageMogr2/format/webp)
/0/13514/coverorgin.jpg?v=09c1c9e0c91910052fca9d94081fade4&imageMogr2/format/webp)
/0/4102/coverorgin.jpg?v=20250121182118&imageMogr2/format/webp)
/0/4798/coverorgin.jpg?v=359286025250e432ea126903353487dc&imageMogr2/format/webp)
/0/3570/coverorgin.jpg?v=d5742184555360c3885488556c45dfc7&imageMogr2/format/webp)
/0/17923/coverorgin.jpg?v=20240603205451&imageMogr2/format/webp)
/0/2969/coverorgin.jpg?v=20250120143228&imageMogr2/format/webp)
/0/12625/coverorgin.jpg?v=38866a41fba47a69613f00bf67ae7d36&imageMogr2/format/webp)
/0/14219/coverorgin.jpg?v=8878ad0ff1d33473662b6fca0834fa9e&imageMogr2/format/webp)
/0/6080/coverorgin.jpg?v=20250120174949&imageMogr2/format/webp)
/0/2371/coverorgin.jpg?v=addc266d93ed1a59aa8406e6a850d628&imageMogr2/format/webp)
/0/16783/coverorgin.jpg?v=6f5af9220dd74d8a2e32f1388e982978&imageMogr2/format/webp)
/0/8828/coverorgin.jpg?v=9f0cb9a48303b3fe771a93609807e46a&imageMogr2/format/webp)