Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Seorang lelaki tampan keluar dari sebuah private jet kelas eksklusif di sebuah bandar udara. Ia menggunakan kacamata hitam sambil menatap luasnya hamparan lapangan terbang di hadapannya. Seorang lelaki berjas hitam menyambut kedatangannya dengan wajah gembira.
“Selamat datang kembali, Tuan Muda,” ujar lelaki empat puluh tahunan itu. Lelaki itu tidak menjawab. Ia berjalan ke arah mobil mewah yang sudah menunggunya. Luke Anderson sang asisten langsung membukakan pintu dengan cepat.
“Dimana Adam? Kenapa dia tidak ikut menyambut kedatanganku?” tanya Evan Halbert. Anak dari Steven Halbert yang menjadi orang terkaya di negeri ini. Dia pemilik perusahaan Taxon Group yang lebih dikenal sebagai perusahaan pengendali uang disini. Taxon Group adalah sebuah perusahaan pemberian pinjaman terbesar di negara ini. Selain itu ia juga memiliki beberapa supermall, real estate dan showroom kendaraan dari kelas mewah hingga umum. Meskipun bunga yang diberikan cukup besar, tapi orang-orang sering meminjam di tempat ini dengan berbagai alasan. Meskipun pernah mengalami kebangkrutan karena ada salah satu pihak yang berkhianat. Tetapi, di tangan lelaki ini perusahaan itu kembali melambung tinggi melebihi sebelumnya. Ia berhasil mencari investor dari luar negeri. Sehingga usaha sang Papa pun bisa kembali berjalan dan lebih cepat lagi.
“Tuan Adam sudah menunggu Tuan Muda di sebuah tempat. Kita harus kesana sekarang,” jawab Luke. Evan hanya mengangguk. Sambil memalingkan wajah ia membuka kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Ia memang sudah diberitahu oleh adik mendiang Papanya itu kemana mereka akan bertemu setelah ia tiba.
Tak butuh waktu lama Evan sudah berdiri di hadapan batu nisan besar bertuliskan Steven Halbert lengkap dengan tanggal kematiannya. Evan menghembuskan nafas beratnya mengingat kejadian sepuluh tahun silam itu. Ia yang baru saja kembali ke rumah sang kakek di Stockhold. Tidak bisa pulang dengan alasan pribadi. Mungkin terdengar egois, tapi semua orang memaklumi itu. Evan menghapus air matanya yang mengalir di balik kacamata hitamnya itu. Sang Paman mengetahui perasaan Evan langsung menepuk pundak lelaki itu dengan lembut.
“Tak perlu menyesali apa yang sudah terjadi, Evan! Kakak juga tau keadaanmu saat itu sedang tidak baik-baik saja,” ujar Adam menenangkan ponakannya. Evan berjongkok untuk menatap batu nisan itu dari jarak yang lebih dekat.
“Aku akan membalas setiap sakit hati yang kau rasakan, Dad,” gumam Evan mantap.
Di tempat lain. Seorang gadis cantik baru saja lulus kuliah dengan nilai terbaik. Ia keluar dari area kampus dengan mata yang tertutup rapat oleh tangan sahabatnya.
“Kemana lagi kita akan pergi? Apakah ini masih belum sampai?” tanya gadis yang bernama Caitlyn Wilson itu.
“Sabar, Sayang. Lima langkah lagi kau akan mendapatkannya,” balas Jenny Theron, sang teman.
“Aku pikir kita sudah terlalu jauh berjalan dari tempat wisuda tadi,” protes Caitlyn mengomel.
“Baiklah. Baiklah. Dalam hitungan ketiga. Bersiaplah untuk terkejut. Oke. Satu… dua… tiga!” Jenny membuka mata Caitlyn dan seketika gadis membuka mulutnya lebar-lebar. Meskipun tampak ada guratan ekspresi kecewa di wajahnya, tapi ia tetap berusaha tersenyum.
“Ayah. Bukannya Ayah sudah bersamaku sejak tadi. Kenapa tiba-tiba menjadi hadiah kejutan ku,” kata Caitlyn pura-pura kesal.
“Tunggu! Kamu harus lihat ini!” balas Sonny Wilson lalu berjongkok. Seketika tampak sosok lelaki tampan yang menggunakan seragam polisi berdiri di belakangnya
“Kejutan!” ujarnya sambil menggoyangkan buket bunga di tangannya.
“Max,” gumam Caitlyn dengan senyum bahagia. Ia berlari kecil ke arah lelaki itu kemudian memeluknya dengan erat.
“Kau jahat! Bukannya kau bilang tidak bisa datang karena sedang bertugas di luar kota?” Caitlyn memarahi Max sambil memukul lengan kekarnya pelan. Lelaki itu hanya tersenyum geli melihat tingkah teman baiknya itu marah.
“Hahaha. Aku pikir kau sudah lebih dewasa dari sebelumnya. Tapi, sepertinya nilai terbaikmu tidak merubah kepribadianmu,” ejek Max.
“Hei! Kau mau mengejekku lagi!”
“Sudah. Sudah. Jangan bertengkar. Kita harus simpan energi untuk pesta nanti malam. Oke?” kata Jenny sambil merangkul pundak kedua sahabatnya itu.