Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Nafkah Batin Yang Tak Tertunaikan

Nafkah Batin Yang Tak Tertunaikan

Nazila Arisakti

5.0
Komentar
1K
Penayangan
27
Bab

Menikah adalah sesuatu yang sakral dan hanya sekali dalam seumur hidup Soraya. Namun bisakah bertahan jika ada rahasia diantara pasangan suami istri? Rahasia apakah yang disimpan oleh Kang Yana suami dari Soraya?

Bab 1 Nafkah Batin

"Kapan nikah?" Seorang ibu setengah baya mengulang lagi pertanyaan yang sama.

"Ibu Kapan mati?" Aku menjawab dengan pertanyaan juga.

Tapi itu hanya ada di anganku, sayang aku terlalu pengecut. Mana berani aku membalas dengan pertanyaan seperti itu, walaupun sebenarnya ingin sekali.

***

Suatu kebahagiaan bagi wanita lajang, ketika seorang pria datang mempersuntingnya.

Begitupun denganku. Umurku menginjak 33 tahun, kerap kali seluruh tetangga mencemooh dengan sebutan perawan tua. Kehidupan di desa membuatku tak nyaman dengan celotehan-celotehan tetangga. Ditambah lagi Ibu yang membuka warung sembako didepan rumah. Setiap kali ibu-ibu berbelanja, selalu saja bertanya dengan pertanyaan yang sama.

"Kapan Nikah?... Kapan nikah?" Jawab saja besok. Amiin.

Telingaku hampir rontok mendengarnya. Namun, Ibu dan Bapak selalu menguatkan, biarkan orang lain menghina kita, asalkan kita tidak boleh menghina orang lain.

Akhirnya julukan perawan tua itu telah sirna dari diriku. Ustadz Yana yang tinggal di kampung sebelah datang melamar dan menikahiku setelah dua minggu ta'aruf.

Rasanya puas membeli mulut tetangga yang pedes melebihi cabe rawit. Kalau saja benar cabe rawit, ingin rasanya ku ulek semua bibir mereka hingga dower, agar mulut-mulut pedas itu sirna tak ada lagi kelompok pengghibah.

"Neng, mau tidur dikamar mana?" tanya Kang Yana mendekatiku setelah sampai di kediamannya. Aku dan Kang Yana hanya melangsungkan akad dirumah orang tuaku. Selesai akad, Kang Yana memboyongku ke rumah orang tuanya. Baginya resepsi bukanlah hal yang penting, yang terpenting adalah kehidupan rumah tangga usai mengucap janji.

"Kamar mana aja boleh Kang." Aku sedikit menggodanya.

Meski kita baru saling mengenal, tapi aku cukup tahu tentangnya. Nama beliau sering disebut-sebut oleh emak-emak pengajian. Benar saja, beliau adalah anak dari Pimpinan Pesantren Nurul Huda. Selain itu beliau adalah ustadz yang selalu berdakwah dari kampung hingga ke kota. Nama beliau tak asing di telinga setiap orang yang mendengarnya. Ustadz kondang Yana. Yang mempunyai suara merdu ketika melantunkan tilawatil qur'an.

Sungguh beruntungnya aku. Meski harus menunggu berapa ratus purnama untuk mendapat jodoh terbaik.

"Jangan panggil akang, neng! Aa saja kan sekarang neng udah jadi istri Aa."

Kang Yana semakin mendekat. Kepalanya bersandar dibahuku. Acara televisi pun tak kami hiraukan. Bahkan malah terbalik. Justru televisi yang menonton kemesraan kami.

Kurasakan nafasnya semakin tak terkontrol. Akupun tak bisa menyembunyikan hasrat yang tengah lama kudiamkan.

Kang Yana segera membuka hijab yang membalut dikepalaku. Dia menggendongku ke kamar nomor dua. Untung saja, Bapak sudah tidur. Jadi tidak ada yang mendengar suara-suara perpaduan desahan kami.

Perlahan Kang Yana membaringkanku diatas ranjang. Melanjutkan episode yang terpotong tadi. Kang Yana semakin gila. Aku tak menyangka pemuda mapan dan alim ini justru seperti buas jika berada diatas ranjang.

"Neng siap?"bisiknya tepat ditelingaku.

Tanpa berkata apapun, aku hanya mengangguk.

Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Kang Yana sempoyongan saat membuka sarungnya. Beringsut kelantai dan kemudian memeluk lututnya.

" Maaf Neng, akang kecapen diawal."

Ah, aku sedikit kecewa. Karena dia yang memulai mengundang hasratku. Saat aku memuncak dia malah membiarkanku lemas tak berdaya.

***

Pukul tiga pagi aku terbangun, karena sudah terbiasa bangun tanpa harus mensetel alarm.

Aku lupa, Kang Yana aku tinggal tidur duluan setelah hatiku terasa sesak ada yang mengganjal dalam dada.

Tak kudapati Kang Yana didalam kamar kami. Mungkinkah dia marah karena aku tidur duluan tanpa bertanya apapun padanya.

Apa dia sakit gara-gara kejadian tadi?

"Ah bodoh... bodoh!" kutepak keningku karena memikirkan keegoisanku tadi malam.

Tenggorokanku terasa sangat kering. Ku beranjak ke dapur untuk mencari minum.

Langkahku terhenti ketika mendengar suara aneh berasal dari kamar nomor tiga. Kurapatkan telingaku pada pintu.

Suara seorang wanita terdengar jelas karena keadaan masih sepi. Disertai dengan suara-suara aneh dari dalam kamar, sampai dua puluh menit aku masih berdiri dibalik pintu.

Firasatku mulai tak enak. Pikiranku traveling sejauh mungkin, bersamaan dengan kecurigaan pada Kang Yana yang menghilang dari kamarku.

Rasa penasaran terus menggeliat dalam hati. Travellingku terlalu jauh, mengira ada adegan ranjang yang terjadi didalam kamar. ingin kudobrak saja pintunya. Tapi tak mungkin, bagaimanapun aku hanyalah orang baru yang tinggal di rumah ini. Dua puluh empat jam saja belum sampai.

Suara desahan itu makin samar ditelingaku, hingga lenyap tak terdengar. Kutunggu beberapa menit, mulai hening.

Tiba-tiba suara orang memutarkan kunci pintu dari dalam kamar merebak tepat ditelingaku. Nyaris aku berlari kembali ke kamar.

Cepat-cepat kutarik selimut menutupi seluruh tubuh. Kupejamkan mata pura-pura tertidur.

Kreket...

Suara pintu terbuka pelan. Kuintip dari balik selimut. Kang Yana masuk ke kamar dan langsung pergi ke kamar mandi. Perlahan kubuka selimut membuang nafas.

Hatiku tidak terlalu sakit atau cemburu. Sebab aku menikah dengannya tidak dengan rasa cinta. Cinta dihatiku sudah hilang sejak tujuh tahun yang lalu. Mungkin, begitu juga dengan Kang Yana.

Lelaki setampan dia, bersedia menikahiku yang biasa-biasa saja dan sudah mulai tak cantik. Mana ada rasa cinta, paling dia hanya merasa kasihan padaku.

Tiba-tiba rasa minder itu kembali menyeruak. Perawan tua sepertiku apa pantas disandingkan dengan makhluk sesempurna Kang Yana.

Netraku masih menatap langit-langit kamar yang samar. Ruangan besar hanya diterangi lampu kecil yang menempel di dinding membuat seluruh benda diruangan menjadi bayangan. Seharusnya malam ini adalah malam paling romantis seperti pasangan di film- film bollywood. Meski tak ada cinta, aku telah berjanji memberikan mahkotaku untuk suami.

Karena desahan-desahan tadi, aku jadi enggak mood menggoda Kang Yana lagi.

Tak sengaja mataku terpaut pada gawai yang tergeletak diatas nakas samping ranjang. Ini kali pertama aku berani membuka gawai milik orang lain. Dengan hati-hati ku ambil. Mungkin saja ada sedikit jejak yang bisa menjawab rasa penasaranku. Tapi tak ada yang aneh didalamnya. Layarnya pun tak dikunci.

Ku tepis seluruh prasangka yang berputar-putar diotakku. Tak pantas seorang istri yang baru saja dinikahi menuai kecurgiaan pada suaminya.

"Neng, sudah bangun?" Suara Kang Yana memecah lamunanku. Ah sial akibat pikiranku terlalu banyak travelling. Hingga tak sadar Kang Yana sudah didepanku sambil menepuk nepuk rambut basahnya dengan handuk.

Allah

Apa dugaanku ada benarnya? yang tadi di kamar itu Kang Yana. Tapi siapa wanita yang mendesah itu?

Pandanganku tak lepas dari Kang Yana. Kuakui pesonanya begitu menggoda. Parasnya yang tampan. Badannya yang tinggi. Bidang dada yang lebar . Belum lagi rambut yang sedikit gondrong membuatku tak mampu mengalihakan penglihatanku darinya.

Tapi bukan itu, yang saat ini kurasakan. Hanya ada rasa jijik membayangkan dia sedang melakukan hal yang intim bersama wanita lain.

"I... Iya Kang, aku kebangun haus." Berusaha menyembunyikan kecurigaan, aku turun dari kasur memakai sendal perlahan. Ku ikat rambut lurusku yang berantakan.

"Aa atuh Neng, Aa. Lupa mulu si Neng. Neng duduk saja! biar Aa ambilin ya." Perhatiannya tak membuatku terharu. Malah membuatku berpikir yang tidak-tidak. Bagimana kalau dia mampir lagi ke kamar ketiga.

"Tidak kang, eh Aa. Biar aku ambil sendiri." Aku segera berdiri.

"Kalau begitu, biar Aa antar ya!"

Aku hanya mengangguk membalasnya. Berusaha menolak situasi canggung yang mengunciku. Tapi sebagai seorang istri aku harus tetap waspada. Mencuri pandangan sedikit-sedikit untuk mengawasi seluruh gerak-gerik Kang Yana.

Aku tak mau asal tuduh pada Kang Yana. Takut rumah tangga yang baru beberapa jam yang lalu diucap janji, runtuh oleh seluruh prasangkaku.

Apa aku mulai jatuh cinta dan cemburu?

No...no....! Meski aku tua dan tak cantik, tapi harga diri merupakan harga paling mahal dalam kamus kehidupanku.

Sesekali aku melirik Kang Yana. Tak ada yang aneh, dia terlihat santai didepanku seperti tak melakukan dosa apa-apa. Tangan kanannya merangkul pinggangku. Kami berjalan menuju dapur layaknya sepasang suami istri yang penuh dengan taburan bunga dalam hati.

"Aa, gak dingin mandi malam-malam begini? keramas lagi." Tanyaku tak sabar menghilangkan penasaranku yang tak kunjung pupus.

"Engga atuh neng Aa kan udah biasa. Mandi sepertiga malam itu banyak manfaatnya Neng. Apalagi mandi sebelum salat tahajud."

"Emang apa aja manfaatnya?" Aku bertanya pura-pura antusias sambil membuka kulkas mengambil air dingin.

"Banyak manfaatnya, nih, kita akan terhindar dari penyakit a'in, badan sehat, wajah bercahaya, do'anya dikabul, terhindar dari orang yang berniat jahat. Mencerahkan mata. Bikin awet muda juga. Makanya Aa keliatan awet muda kan Neng?" Kang Yana memelukku dari belakang.

Meski aku enggan mendengarnya. Namun ada benarnya juga yang dikatakan Kang yana.

"Hmmh," ku miringkan senyuman. Tak tahan melihat tingkahnya yang ku rasa penuh dengan sandiwara.

"Duduk atuh Neng kalau mau minum!" Kang Yana mendudukkan badanku di kursi makan. Aku pun hanya terpaku mengikuti arahannya.

Dia menatapku tersenyum.

"Ih ngapain senyum-senyum?" rasanya ingin ku remas mulut seksi itu.

"Neng!" Wajahnya mendekatiku lagi. Tak ada jarak 1inci pun diantara kita.

"I... Iya." Aku sedikit mundur. Kali ini aku tak mau di sentuh. Sebelum mengetahui apa yang disembunyikan Kang Yana. Suara-suara itu masih terngiang ditelingaku. Terbayang bagaimana adegan hotnya bersama wanita itu.

Ngapain dekat dekat. Pergi saja sana lanjutkan yang tadi!

Selesai minum kami kembali ke kamar. Langkahku terhenti di depan kamar ketiga.

" Aa, ini kamar siapa?" Ah bodoh kenapa pertanyaanku seolah menjurus pada kecurigaanku. Bisa-bisa Kang Yana curiga kalau aku tadi mengintip.

"Oh, ini perpustaakaan Aa, kalau Neng suntuk dirumah, baca-baca aja semua kitab Aa, buku Aa juga banyak tentang agama, motivasi.

" Oh, kalau novel?"

"Gak ada Neng kalau novel. Gak ada faedah baca novel."

"Ih, so tau lagi. Siapa bilang novel gak berfaedah justru aku banyak belajar dari novel." Gumamku sambil terus melirik kamar ketiga.

Sayangnya, lagi-lagi tak ada gerak-gerik Kang Yana yang aneh didepanku. Apa dia menutupi semuanya agar aku mengira tidak terjadi apa-apa.

Astagfiruulah...aku kembali menepis semua prasangka burukku terhadap Kang Yana.

***

Usai salat subuh, Kang Yana pamit meluncur ke Bandung, untuk mengisi acara pengajian di pernikahan murid qari'nya. Awalanya aku diajak, "kita bulan madu," katanya. Tapi dengan segudang alasan aku menolak untuk ikut. Lagi pula tak ada lagi rasa ingin bersama berdua dengannya apalagi berbulan madu.

Sementara keinginanku hanya satu. Memastikan seluruh teka-teki yang disembunyikan Kang Yana.

Setelah bayangan mobil mengecil dan berlalu menghilang dari pandanganku. Dengan cepat aku membuka kamar ketiga.

"Dikunci? Bukannya Kang Yana menyuruhku masuk kapan saja agar bisa baca." Aku mulai geram. Kang Yana benar-benar menjebakku. Aku mencari cara untuk membuka kunci itu. Untung saja Bapak mertua menyimpan kunci serep.

Tidak ada jejak mencurigakan dikamar, sesuai kata Kang Yana. Diruangan ini hanya perpustakaan. Lalu apa semalam itu hanya halusinasiku? Berkali-kali aku memeriksa seluruh ruangan mencari apa yang sebenarnya dirahasiakan Kang Yana.

Allah Maha Baik, aku yang dulu kerja sebagai auditor, selalu menemukan celah sekecil apapun kesalahan yang dilakukan karyawan. Kali ini aku menemukan pintu rahasia belakang rak buku.

Ruangannya yang dibuat samar oleh bacdrop tv, menyambung dengan pintu besar sliding full plafond. Bisa-bisa nya dia mendesain ruangan sedemikian rupa. Sampai-sampai aku hampir tak sadar dengan ruangan itu. Rodanya pun tak nampak. Tampilannya seperti lemari. Semua orang pasti tak kan sadar kalau itu adalah pintu rahasia. Pelan-pelan ku geser pintu dengan lapisan kayu itu.

Ruangan besar dengan ranjang indah dan seprai serba putih. Bunga mawar terpajang disetiap pojok kamar. Keindahan kamar ini melebihi kamar yang kutempati semalam.

Ku obrak abrik semua. Kubuka lemari pakaian yang tak terkunci.

Pakain syar'i memenuhi lemari itu. Bebagai lingerie berjejer dibagian lemari lain. Set bra cd dengan berbagai motif transparan terususun rapi.

"Milik siapa ini? lalu dimana perempuan itu?" Ku remas satu lingerie yang berwarna merah seperti mawar.

Aku mengatur nafas. Hatiku mulai bergetar.

Mungkin menurutnya aku adalah wanita bodoh makanya tidak ada yang menikahiku. Kamu salah kang, aku tidak sebodoh yang kamu kira. Justru orang lain ragu menikahiku karena aku terlalu pintar haa..

"Awas kamu Kang!" Ku gertakkan gigi penuh geram.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku