Mafia Kejam Jatuh Cinta

Mafia Kejam Jatuh Cinta

Sherlynur Safitri

5.0
Komentar
5.5K
Penayangan
12
Bab

Deo Morte Picasso, Mafia Italia yang dijuluki sebagai Dewa Kematian dengan wajah yang sempurna bak pahatan Dewa Yunani. Selalu benci dengan sosok yang bernama Wanita. Selain mereka hanya memperumit dirinya, Wanita adalah salah satu penyebab kehancuran seorang Pria. Karena itu Deo bak alergi dengan seorang wanita hingga ia dikabarkan Homo. Orang tua yang terus menuntut Deo untuk menikah membuat Deo kabur ke pedesaan untuk menjauhi perintah orang tuanya sekaligus sedang melakukan misinya. Siapa yang tahu jika di pedesaan ada kembang desa yang mampu memporak-porandakan hatinya. Hingga keduanya melakukan kesalahan satu malam yang berakhir fatal. Mendapat kabar jika orang tuanya meninggal, Deo kembali ke kota dan meninggalkan kembang desa itu yang mana kini telah berbadan dua. 2 tahun berlalu dan takdir mempertemukan keduanya kembali, namun dengan status yang berbeda, dengan Deo sudah berkeluarga. Lalu bagaimana dengan nasib kembang desa tersebut?

Bab 1 Club

Markas Morte

Tampak mobil Rubicon hitam datang diikuti dua Jeep di belakangnya.

Semua pengawal membungkuk kala seorang pria berjas hitam gagah perkasa nan tampan rupawan turun dari mobilnya.

Ya dialah Deo Morte Picasso.

Ketua Klan Wolf yang paling terkenal di Italia.

Deo menapaki karpet merah itu untuk masuk ke dalam markasnya diikuti oleh ketiga sahabatnya.

"Ahh capek banget, ayo ke club," ajak Melvin kala sampai di dalam markas dan menghempaskan tubuhnya di sofa.

"Otak isinya club mulu, sekali- kali mikir lainnya kek," olok Savero sembari melempar bantal sofa itu pada Melvin.

"Yaelah kayak yang dirinya paling suci, tiap hari juga gonta- ganti cewek," olok balik Melvin yang mana hal itu ditertawakan oleh Karel.

"Malam ini kita ke club, Thomas dan anak buahnya akan melakukan pertemuan untuk penjualan marijuana dari China," ujar Deo yang membuat ketiganya langsung berbinar.

"Sungguh? Ke club?" tanya Melvin memastikan jika ia tidak salah dengar.

Deo hanya mengangguk dan menyalakan pematik rokoknya.

"Eh bentar, pertemuan di club? Untuk penjualan marijuana? Wah gila, Thomas memiliki nyali yang sangat besar, bagaimana jika seseorang melaporkannya ke polisi, ia sangat berani sekali," puji Melvin yang heran dengan otak Thomas.

"Karena itu, sebelum ada orang lain yang melaporkan dia ke polisi, mari habisi Thomas lebih dulu," ujarnya sembari menghembuskan asap rokoknya.

"Wah demen banget nih sama yang kayak ginian, gimana kalian mau bertaruh denganku?" tanya Karel yang selalu menawarkan taruhan disetiap situasi dan kondisi apapun.

"Untuk?" tanya Melvin dan Savero secara bersamaan.

"Perempuan yang mungkin akan tewas di tangan Deo karena menggoda atau mengajaknya naik ke atas ranjang," ujar Karel yang begitu yakin jika akan ada penembakan nanti malam di club.

Deo hanya diam sembari menikmati rokoknya.

"Aku bertaruh enggak bakal ada perempuan yang mendekat, lagian siapa sih yang enggak tahu peraturan di club PICASSO, semua perempuan juga tahu kali," ujar Savero dengan begitu yakinnya.

"Iya juga sih, aku juga bertaruh kalau enggak akan ada perempuan yang mendekati si kulkas berjalan ini," ucap Melvin sembari menepuk pundak Deo.

Karel tersenyum kala mereka semua bertaruh.

"Ok, berarti kalian bertaruh jika tidak akan ada perempuan yang mendekatinya?" keduanya mengangguk.

Deo menatap Karel yang tampak girang sekali.

"Kalau aku pasti ada, entah itu perempuan baru atau yang bosan hidup, pasti bakal deketi pak kulkas ini," ucapnya dengan sangat yakin sekali.

"Kalau kita berdua yang menang apa imbalannya?" tanya Savero ingin tahu hadiah apa untuk taruhan kali ini.

"Mobil rubiconku yang baru beli kemarin buat kalian berdua," jawabnya dengan sangat gamblang sekali.

"Ok setuju," sorak keduanya yang kegirangan membuat Deo yang tengah dipertaruhkan hanya diam saja dan melihat keasyikan mereka.

"Udah sore, ayo bersiap," ajak Deo yang sudah beranjak dari sofa untuk pulang membersihkan diri lebih dulu.

"Kita pasti bakal menang," ucap Savero menyakinkan dirinya sendiri.

"Tentu," sahut Melvin.

Karel hanya tersenyum dan sedikit meremehkan keduanya.

***

Di sinilah mereka berempat sekarang, di club PICASSO.

Semua perempuan kini menatap empat pangeran yang tengah berjalan membelah kerumunan itu dengan tatapan liar, kagum dan rasa ingin memiliki.

"Kenapa aku merasa seperti di telanjangi oleh tatapan mereka," gumam Karel sembari menyilangkan tangannya di depan dada.

"Entah kenapa tanganmu di depan dada seperti gayanya seorang banci, apa kau tidak malu dengan profesimu?" tanya Savero yang heran dengan sikap Karel saat ini.

"Sekalipun aku banci, bakal ada ribuan perempuan yang akan mengantri untuk bisa menjadi istriku," ujarnya dengan sangat percaya dirinya membuat Melvin berdecih.

Kini mereka berempat duduk di sudut ruangan di mana itu tempat duduk khusus milik Deo dan ketiga temannya, jadi tak akan ada yang berani mendudukinya.

"Kemungkinan ia akan datang pukul 8 , jadi tunggulah sebentar," ucap Deo memberitahu sembari melihat jam tangannya.

"Berarti kita boleh dong pilih- pilih cewek di sana?" tanya Melvin dengan mata yang berbinar kala beberapa perempuan mengerlingkan sebelah matanya kepadanya.

"Silahkan saja," ujar Deo mempersilahkan Melvin.

"Serius?" tanyanya sembari menatap Deo.

Melvin langsung merubah ekspresinya dan menghempaskan punggungnya di sofa kala Deo memainkan revolvernya.

"Mainnya selalu pistol, dia kira nyawa ini boneka apa, yang sekali tembak cuma tumbang dan berlubang," gerutunya yang kesal kala mereka sedang dalam misi.

Di mana Deo pasti akan melarang mreka untuk melakukan hal lain selain fokus dengan misinya.

"Kurang 5 menit lagi,"gumam Deo yang mana ia sesekali melihat jam tangannya sembari memainkan revolvernya.

"Emang nanti kalau Thomas datang langsung kita serbu gitu? Atau dikepung dulu? Kan anak- anak yang lain lagi berjaga di luar, ia pasti tahu jika kau di sini," ucap Savero yang tidak paham dengan apa yang akan Deo lakukan.

"Ngapain diserbu jika bisa langsung ditembak," jawaban yang sangat tepat di mana seorang Deo paling malas untuk bertele- tele atau rumit.

Ketiganya langsung tepuk tangan dengan jawaban Deo barusan.

Hingga sekarang sudah pukul 8 tepat i mana Deo begitu menunggu momen indah ini.

"Kita lihat saja setelah ini, aku sangat rindu melihat darah," gumamnya pelan sembari mengongkang senjatanya dan mengarahkannya pada ambang pintu tempat orang masuk ke dalam.

"Thomas datang tuan," intruksi pengawalnya yang brjaga di luar club melalui earphonenya.

"Satu,"Deo mulai menghitung dengan senyum seringaian yang terlihat seksi saat ini.

"Dua," ketiga sahabatnya itu juga sangat tidak sabar menunggu momen indah ini dan fokus mereka tak teralihkan dari ambang pintu.

"Tiga," ucap Deo dengan sedikit penuh penekanan dan bersiap untuk menarik pelatuknya.

Bersamaan dengan itu Thomas masuk ke dalam club namun tidak seorang diri melainkan bersama dengan seorang perempuan.

"Valeta."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku