Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
“Saya terima nikah dan kawinnya, Bagaskara Alleta Clover binti Bagaskara Mahendra dengan mas kawin tersebut dibayar, tunai!”
Suara lantang dari Adrian Martadinata—pria tampan berusia tiga puluh satu tahun mempersunting wanita cantik berusia dua puluh satu tahun karena dijodohkan.
Kini, keduanya sudah resmi menjadi pasangan suami-istri. Meskipun acara itu diadakan secara privasi, namun masih terbilang cukup mewah.
Bahkan Alleta tidak memberi tahu kedua sahabat dekatnya sebab ia ingin merahasiakan pernikahan ini sebisa mungkin.
“Kamu sudah sah menjadi istri saya. Maka dari itu, jangan membantah semua perintah saya. Paham, Alleta?” kata Adrian mengingatkan tentang status mereka.
Acara resepsi sudah selesai dilaksanakan. Kini, mereka sudah tiba di rumah baru yang akan mereka tinggali bersama.
“Kita nggak tidur satu kamar ‘kan, Pak? Nggak usah nyari kesempatan dalam kesempitan, yaa!”
Adrian mengerutkan keningnya. “Kenapa begitu? Untuk apa mencari kesempatan dalam kesempitan? Kamu ini istri saya, dan saya suami kamu. Jadi, sah-sah saja kalau meminta hak saya sebagai suami kamu.”
Ucapan Adrian membuat telinga Alleta gatal. Ia paham dengan ucapan lelaki itu yang sudah pasti meminta haknya sebagai suami darinya.
“Pak! Saya masih kuliah. Lagi pula, pernikahan ini pernikahan paksa! Kalau bukan karena ayah saya mau keluarin saya dari kampus, mana mau saya nikah sama Bapak!” tegas Alleta memberi tahu.
Adrian manggut-manggut sembari menyunggingkan senyum kepada istrinya itu. “Saya juga. Kalau bukan karena papa saya tidak mengancam saya akan dipecat jadi dosen di kampusnya, mana mungkin saya mau nikah sama kamu!”
Alleta menaikan alisnya. Bingung dengan ucapan Adrian. “Maksudnya, Bapak juga diancam?”
Adrian mengangguk. “Ya. Ada banyak alasan yang tidak perlu saya jelaskan secara rinci kepada kamu. Yang jelas, saya sudah menuruti keinginan papa saya, mertua kamu.”
Alleta menggaruk rambutnya kemudian menggeleng cepat. “Bodo ah! Ngapain juga harus kepo.”
Adrian terkekeh pelan. “Mandi dulu. Dan siap-siap untuk nanti malam.”
“Dih! Ogah. Nggak mau! Pokoknya, hanya status kita aja yang udah jadi pasangan suami-istri. Untu—”
“Kalau nolak, dosanya melebihi durhaka pada orang tua, lho,” bisik Adrian sembari menutup mulut Alleta yang sudah seperti kaleng rombeng karena mengomel terus menerus sedari tadi.
Alleta kemudian mengempaskan tangan Adrian yang melekat di bibirnya. “Mana bisa begitu! Nggak ada, Pak. Dosa sama orang tua itu bisa jadi batu. Kalau dosa sama suami itu yaa paling bikin suaminya kesel. Dan saya mau buat Bapak kesel terus tiap hari ke saya. Biar saya diceraikan dan urusan pernikahan kita selesai!”
“Mana bisa begitu, Alleta. Kamu belajar agama lagi deh. Sepertinya otak kamu memang kurang kapasitas. Dangkal.”
Alleta yang mendengarnya lantas melotot. Bahkan bola matanya hampir keluar sangking kesalnya dengan ucapan Adrian tadi.
“Jangan mentang-mentang saya sering dihukum sama Bapak, dengan seenaknya ngatain otak saya dangkal! Lagi pula nih ya, Pak. Otak Bapak juga sama dangkalnya karena mau nikah sama saya!”
Adrian mengendikan bahunya. “By the way, saya tidak peduli dengan kapasitas otak kamu. Mulai detik ini, bukan hanya sebagai suami kamu saja. Melainkan sebagai dosen privat kamu. Supaya apa? Supaya otak kamu cerdas dan tidak mencontek tugas teman kamu lagi.”
Alleta menganga lebar. Kemudian mengendus kasar dengan mata menatap nyalang wajah Adrian.
“Nggak bisa gitu dong, Pak!” ucap Alleta dengan nada tinggi.