Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
"Gratatatata!" seru seorang gadis yang tengah berjoget di depan layar ponsel.
Dia menyibak rambut ke samping, menunjukkan bentuk lehernya ke publik. Meski dengan pakaian tertutup, gadis itu masih punya rasa malu untuk tidak meniru orang-orang yang memamerkan tali bra-nya.
"Jelek nggak pa-pa, yang penting banyak duitnya!" katanya tanpa merisaukan suara azan yang sudah berkumandang sejak tadi.
Mungkin setelah ini umi atau kakaknya akan mengetuk pintu untuk mengingatkannya salat dan dia hanya membalas nanti. kata nanti itu bisa jadi berakhir lupa atau terlaksana ketika jam salatnya sudah hampir habis.
“Biasa, namanya juga anak muda,” kata Mutia.
"Tiaaa!" seru Umar dari luar, mengetuk pintu kamar Mutia.
"Nantiii." Padahal Umar belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Mutia sudah bisa menebak bahwa Umar akan memintanya salat.
"Nanti apa? Abang belum selesai ngomong," ucapnya.
"Salat, 'kan? Bentar lagi, Bang!"
"Astaghfirullahaladzim, Mutia! Kamu belum salat? Ini udah hampir Isya! Kamu ngapain aja, sih?! Waktu Magrib itu cuma sebentar!" Suara Umar semakin meninggi ketika mengetahui adik bungsunya ternyata belum menunaikan kewajiban sebagai umat muslim.
Mutia tidak merasa gelisah sedikit pun. Dia malah sibuk menggulir hasil video-videonya dan kebingungan harus memposting yang mana. Mendengar tak ada jawaban dari dalam kamar, Umar menurunkan kenop pintu dan berniat masuk. Namun, ternyata pintu kamar dikunci, membuat hati Umar semakin diliputi emosi.
"Mutia, kamu dengerin Abang, nggak?!" sentaknya.
Mutia menggaruk rambut yang terasa sedikit gatal, kemudian memencet tombol berwarna pink untuk memposting videonya.
"Denger, kok. Bentar lagi, tunggu upload ini bentar."
"Mutia, habis ini udah Isya!"
"Tauuu. Ribet banget, sih, Bang?!" Mutia jadi ikutan kesal kalau disuruh-suruh.
"Kalo sampai belum bergerak juga, Abang dobrak pintu kamar kamu. Biar nggak punya pintu sekalian!"
Mutia menghela napas lelah. Dia bangkit dari kasur dan berjalan menuju meja belajar, meletakkan ponselnya di atas sana. Tidak lupa menancapkan charger agar ketika dia selesai salat nanti, ponselnya bisa digunakan sesuka hati. Setelah memastikan terhubung, Mutia pun membuka pintu kamarnya.
"Udah, 'kan? Ini mau salat. Nggak usah ribet!" katanya ketus.
"Bukan masalah ribet atau enggaknya, Tia. Salat itu kewajiban. Kalau kamu tinggal, dosanya besar. Kamu mau narik semua keluarga kamu ke neraka?" kata Umar, mengikuti langkah Mutia dari belakang.
"Masih muda ngapain mikir yang jauh-jauh, sih? Nikmatin aja, lah, masa mudanya. Gini, nih, Islam terlalu banyak peraturan. Capek!"
Emosi Umar kembali terpancing. "Apa kamu bil—"
Brak
Pintu toilet ditutup dengan tidak sopan. Mutia bersandar pada pintu, lalu menatap ke arah cermin yang terpasang di atas wastafel. Gadis belia itu lelah dengan sikap sang kakak yang selalu merusak suasana hatinya.
***
"Pokoknya, gue berharap diterima di universitas yang gue mau biar bisa merantau, keluar dari rumah! Mental gue bener-bener nggak aman kalo masih tinggal sama keluarga gue," ucap Mutia di sela-sela kegiatannya menghabiskan bakso.
"Lo yakin? Merantau nggak gampang, loh. Lo bakal dipaksa mandiri dan ngurus diri sendiri," ucap Erika.
Dia sendiri masih tak habis pikir, padahal lebih enak hidup dengan orang tua daripada sendirian. Mungkin karena didikan keluarga Mutia cukup keras, sehingga sahabatnya itu ingin sekali minggat dari rumah.
"Bodo amat, gue udah siap sama semua risiko dari merantau. Gua udah mempertimbangkan semuanya, gua yakin bisa!" Mutia meninju udara yang ada di depannya, mengepalkan rasa semangat membara.
"Nggak usah sok-sokan, nanti nangeees!" Willy datang dengan hobinya, memancing keributan. Pemuda itu menyeruput es teh milik Mutia tanpa ragu dan menghabiskannya.
"Eh, es gue, Asem! Minta, sih, nggak pa-pa, tapi, ya, jangan diabisin!" Mutia memukul lengan Willy beberapa kali sampai merasa puas.
"Lo kemarin pake hotspot gue buat main Tiktok lebih sadis mana?" Mendengar itu, Mutia cengengesan dan beralih mengelus lengan Willy yang tadi dipukuli.
"Lo nggak ada kumpul?" tanya Erika pada Willy yang duduk tepat di depannya.
Mutia, Erika, dan Willy memang sudah lama bersahabat. Mereka saling kenal sejak duduk di bangku SMP hingga saat ini berada di kelas 12 SMA. Namun, sayangnya, Mutia dan Erika berada di jurusan yang berbeda dengan Willy. Mereka anak IPS, sedangkan Willy anak IPA.
Berbeda dengan Erika yang hobi rebahan, Mutia dan Willy itu termasuk anak yang aktif berorganisasi sehingga keduanya sama-sama mengikuti organisasi tertinggi di sekolah. Bedanya, Mutia mengikuti organisasi MPK, sedangkan Willy mengikuti OSIS.
"Ada paling. Nggak tau gue. Anak-anak sukanya mendadak kalo ngasih kabar." Willy menyangga dagunya, melirik malas ke arah adik kelas yang sengaja caper di sekitarnya. "Habis ini keknya lo yang bakal sibuk, Mut," kata Willy.
Mutia menelan pentolnya sambil mengangguk. Pandangannya fokus pada layar ponsel yang menampilkan beberapa perempuan berjoget dengan trend baru. "Yes, empat acara besar dalam satu bulan. Mantap, 'kan?"
"Yang jadi ketua pelaksana di acara apa?" tanya Willy.
Erika hanya diam menyimak. Kalau sudah urusan organisasi, dia hanya bisa diam mendengarkan karena tidak mengerti apa-apa.
"Acara sidang pleno," jawabnya.
Willy pun manggut-manggut. "Acara serah terima jabatan, lo jadi apa?"
"Sekretaris." Mutia menghela napas panjang.
Selama ini, menjadi sekretaris adalah posisi terberat yang selalu ingin dia hindari. Pasalnya, terlalu banyak yang harus diurus walaupun tugas sekretaris adalah pra-acara. Tetap saja Mutia merasa malas untuk mengerjakan.
"Semangatlah, bentar lagi lengser!" kata Willy terkekeh melihat ekspresi Mutia yang tampak tertekan.