Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Donat Penyelamat

Donat Penyelamat

Bulan sapasi

5.0
Komentar
501
Penayangan
26
Bab

Cita, dinikahi oleh Danang, pria yang usianya sepuluh tahun lebih tua darinya. Lika liku rumah tangga mereka tidaklah mudah. Cita harus menjadi tulang punggung keluarga ketika Danang kecelakaan dan menyebabkan kedua kakinya lumpuh, dan tidak mendapat penerimaan dari mertuanya. Lalu, apakah rumah tangga mereka akan bahagia?

Bab 1 Prolog

"Cit, donatnya berapa satu dus itu?" Aku membuka kaca helm, tanganku gemetar menahan dingin.

Hujan memang sudah turun sejak pagi tadi. Biasanya jelang siang hujan reda. Namun akhir-akhir ini cuaca nggak bisa diprediksi. Sebentar panas, sebentar hujan. Kadang hujan seharian. Seperti hari ini. Namun sebagai pedagang yang baru merintis jualan donat, terpaksa harus kutembus hujan demi mengantar pesanan donat tepat waktu ke tangan pembeli.

"Dua puluh lima ribu, Bu. Isinya ada dua belas." Sahutku. Kantong kresek yang kupegang basah kuyup. Namun kupastikan isinya aman.

"Ibu mau dong. Tiga box buat nanti sore. Itu punya siapa?" Tanyanya lagi.

"Ini punya bukde Laksmi. Baik Bu, nanti Cita antar ke rumah ibu ya." Senyumku mengembang. Ini yang namanya rezeki di tengah badai.

Air hujan masih turun dari langit dengan derasnya. Sudah hampir setengah jam aku menunggu kedatangan Bude Lasmi, namun belum juga datang. Kami memang sepakat COD di depan minimarket ini.

Drrt rrrttt

Ponsel dalam saku jaketku bergetar. Mungkin dari bude Lasmi. Segera kuletakkan kantong berisi dua box donat di lantai, kemudian kurogoh ponselku.

Mas Danang...

"Halo, mas."

"Cit, kamu belum balik? Ini Tia rewel dari tadi nyariin kamu!" Terdengar suara suamiku menyatu dengan air hujan.

"Aduh gimana dong, mas. Bude Lasmi belum datang, ini!" Sahutku.

"Ya udah. Kalo sepuluh menit lagi dia nggak nongol, kamu pulang aja! Janji kok nggak ditepati!" Ujarnya.

Ya Allah...

Mas Danang mematikan telepon. Kugenggam erat ponselku. Sambil berpikir apakah aku harus menghubungi bude Lasmi atau nggak.

"Kenapa, Cit?" Tanya Bu Yanti. Kami sama-sama tengah berteduh. Namun Bu Yanti sudah lebih dulu berada disini saat aku datang tadi.

"Anu, Tia rewel. Bude Lasmi nya belum datang juga. Mungkin nunggu hujan reda." Jawabku.

"Hati-hati lho, Cit. Bu Laksmi kadang suka gitu." Gumam Bu Yanti. Aku mengernyit.

"Gitu gimana, Bu?"

"Kemarin ada kurir antar barang pesanan ke rumahnya. Eeeh dia ngumpet di rumah ibu. Bilangnya nggak ada duit buat Nebus." Jawabnya lagi membuat lututku terasa lemas. Mudah-mudahan saja ucapan Bu Yanti nggak berlaku padaku.

"Coba, sebaiknya kamu telpon dia. Buat mastiin beneran mau diambil apa nggak." Usulnya. Aku mengangguk, kemudian ku usap layar ponselku dan mencari kontak Bu Laksmi.

Kebetulan terlihat dari layar bagian atas, bude Lasmi tengah online.

Tuuuut tuuuut

Suara panggilan dariku tidak jawabnya. Sementara Bu Yanti tak lepas menatapku dan ponsel di tangan secara bergantian.

"Gimana?" Aku menggeleng lemas.

"Apa ibu bilang! Coba kirim pesan." Aku lagi-lagi mengangguk.

[Assalamualaikum, bude. Ini Cita udah di depan Ind*mart. Bude jadi datang 'kan?]

Terkirim.

Selang beberapa menit kemudian, ponselku bergetar.

[Masih hujan. Kamu tunggu aja.]

Balasnya.

Lalu kusampaikan pada Bu Yanti.

"Hamdalah, sebaiknya kamu bilang ta antar saja ke rumahnya." Usul Bu Yanti kemudian. Dan lagi-lagi ku anggukan kepala.

[Bude kalau sekiranya hujan, biar Kita antar ke rumah bude saja, ya.]

Aku menatap cemas layar ponselku. Tanpa keluar dari chat bude Lasmi.

[Ndak usah. Bude lagi dijalan, mungkin baru sampai dua jam lagi. Kamu bawa pulang lagi aja donatnya. Nanti bude ambil ke rumahmu.]

Jawaban bude Lasmi membuat persendian di tubuhku terasa lemas. Ingin rasanya menangis, namun tentu saja itu nggak mungkin.

"Apa katanya?"

Aku tak menjawab, malah kuulurkan ponselku pada Bu Yanti agar dia membacanya sendiri. Bu Yanti menggelengkan kepala sambil menyerahkan ponselku kembali.

"Apa ibu bilang! Di jalan mana, coba! Orang dari semalam dia mengeluh suaminya belum gajian, kok! Ya sudah, itu donat biar ibu aja yang beli. Kasihan kamu, belum tentu dia beneran datang." Bu Yanti merogoh dompet dari dalam tasnya, kemudian mengeluarkan selembar uang seratus ribuan.

"Ini." Lalu menyerahkannya padaku.

"Tapi Bu, Cita nggak ada kembalian. Sebentar Cita tukar dulu ke kasir." Sahutku.

"Ndak usah. Kamu pegang aja, buat nanti kalau-kalau ibu pesan lagi. Nanti sore Ndak jadi bikin ya. Kan udah ada, ini." Jawabnya. Kemudian mengambil kantong kresek donat pesanan bude Lasmi.

"Masha Allah Bu, matur nuwun sanget. Makasih banyak ya Bu. Mudah-mudahan ibu suka sama donatnya." Ujarku sambil menyeka air mata yang tiba-tiba meluncur dari mata ini.

"Iya sama-sama. Ya udah, sana pulang. Kasihan anakmu." Senyum Bu Yanti. Aku mengangguk.

Hujan masih turun dengan derasnya. Namun aku harus segera pulang sebelum mas Danang kehilangan kesabarannya.

*

Namaku Cita. Seorang ibu rumah tangga dengan satu anak yang masih berusia dua tahun. Usiaku belum genap dua puluh tahun, ketika mas Danang menikahi aku. Suamiku sendiri sudah berusia tiga puluh tahun kala itu. Mas Danang adalah anak ketiga dari saudagar cengkeh yang ternama di kampung kami.

Banyak yang menebak, pernikahan kami semata karena aku hanya mengincar kekayaannya. Meski nyatanya, kami memang saling mencintai meski usia kami terpaut cukup jauh.

Kami hidup bahagia. Mas Danang bekerja memantau kebun cengkeh milik orangtuanya. Dan kebahagiaan kami semakin bertambah ketika hadirnya Tia dalam rahimku, di usia pernikahan kami yang ke empat tahun. Penantian yang cukup panjang. Bahkan tak sekali dua kali, ibu mertua dan kakak iparku menyarankan mas Danang untuk menikah lagi.

Namun kekuatan cinta kami mengalahkan ujian itu. Sekaligus menghentikan usaha keluarga mas Danang yang mengompori agar ia menikahi wanita lain.

*

Aku tiba di rumah dengan tubuh sangat menggigil. Dari luar terdengar Tia menangis hingga suaranya parau. Segera kulepas helm serta jaket hujan. Dan menaruhnya sembarang. Tak lupa ku tenteng kantong kresek berisi sayur dan telur. Tadi, sempatkan mampir ke warung untuk belanja.

"Ya Allah mas, itu Tia Sampai kejer gitu!" Segera aku berlari ke kamar. Tia berlari menghambur ke dalam pelukanku. Seluruh wajahnya basah oleh keringat dan airmata.

"Cup cup sayang. Ini mama. Tadi Ade bobo makanya nggak mama ajak. Di luar juga hujan. Cup sayang." Kuangkat tubuh kecil Tia lalu kugendong dan membawanya keluar kamar.

Mas Danang melirik pada kami sekilas, lalu kembali membuang muka. Menatap keluar rumah dengan wajah sendu.

Kuhela napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya pelan. Kutinggalkan suamiku ke dapur. Untuk memasak bakal makan malam kami.

"Ade tunggu disini ya, kita masak-masakan." Kubujuk Tia dan mendudukkannya di atas ubin yang sebelumnya kuhamparkan karpet busa bergambar Masha and the bear. Awalnya Tia menolak, memeluk leherku begitu kuat. Tapi kemudian mengangguk setelah dipotong ujung batang kangkung dan menaruhnya di wadah plastik.

Tak butuh waktu lama, Tia terlihat riang menirukan gerakan tanganku. Memotong batang kangkung dengan pisau mainannya.

"Cita! Aku mau ke kamar mandi!" Seruan mas Danang terdengar. Ku Kecilkan kompor, lantas memberitahu Tia agar menunggu. Tia mengangguk.

Putriku sebetulnya tidak rewel. Hanya sesekali waktu ia merajuk, jika bangun tidur tak melihat keberadaanku.

Kuhampiri mas Danang, lalu ku ukir senyum meski jiwa raga ini begitu lelah. Kemudian segera aku berjongkok. Tangan mas Danang terulur meraih pundakku. Dengan segenap tenaga, aku berdiri setelah tubuh mas Danang berada di punggungku. Kuseret langkah tertatih membawa suamiku ke kamar mandi.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku