/0/23599/coverorgin.jpg?v=ed918f85207337f1a3fe2e5fd61a4091&imageMogr2/format/webp)
"Sudah sampai, Dek! Ini rumah Pak Suwarno," ujar Pak Sarip sambil menunjuk dengan jempolnya ke sebuah rumah tua yang masih sangat terawat.
Pria tua ini adalah tukang ojek yang sudah dipesan oleh paman untuk mengantarku. Sejak awal, Pak Sarip begitu sopan saat menyambutku di pintu gapura desa. Senyumnya melebar dengan gigi depan yang ompong dimakan usia.
Di sepanjang perjalanan, beliau tak segan untuk memulai obrolan denganku. Aku hanya tersenyum dan menjawab seperlunya. Rasa lelah yang aku rasakan membuatku ingin segera sampai di rumah paman, terlebih lagi kami harus melewati jalan yang membelah hutan yang rimbun menuju desa paman. Entah karena merasa sangat lelah, atau hanya perasaanku saja, sejak tadi aku bahkan merasa sedang diawasi oleh seseorang dari jauh.
Kupikir itu mungkin hanya seekor binatang yang berkeliaran di malam hari. Maklum saja, desa ini melewati sebuah hutan yang cukup lebat dengan penerangan seadanya dari obor yang sepertinya sengaja dipasang warga sekitar untuk menerangi jalan masuk ke desa.
"Terima kasih, Pak!" ucapku sambil menyodorkan selembar uang 100 ribu padanya, "Ambil saja kembaliannya."
Suasana malam yang begitu sepi. Udara dingin kian menusuk sampai ke tulang. Aku berdiri di depan pagar sebuah rumah tua yang kosong. Perjalanan yang hampir enam jam aku lalui membuatku merasa sangat lelah. Badanku terasa ringkih.
Aku tidak menyangka bahwa perjalanannya akan begitu lama. Niatku dari kota ke desa ini sebenarnya untuk liburan cuti dari kuliahku. Mengingat rumah paman yang seorang perwira TNI ini sudah lama kosong karena harus untuk bertugas di daerah lain, aku akhirnya memberanikan diri ke sini sendirian.
Jalanan di sini penuh lobang dan sempit, sehingga sulit diakses kendaraan roda empat tidak bisa melewatinya. Kata paman, di desa ini sangat jarang sekali warga yang memiliki kendaraan pribadi, mereka lebih memilih menggunakan transportasi umum untuk bepergian ke kota. Selain karena jalan desa yang tidak memungkinkan, mereka juga tidak pernah kesulitan mencari bahan makanan karena hasil panen yang melimpah mereka dapatkan dari bercocok tanam.
Setelah selesai mengobservasi daerah sekitar, aku kemudian turun dari motor sambil menggendong tas ransel di pundakku. Aku ingin segera istirahat.
"Waduh! Ini banyak sekali, Dek!" ucap Pak Sarip heran ketika menyadari jumlah uang yang kusodorkan padanya.
"Tidak apa-apa, rejeki buat Bapak sekeluarga," ucapku.
"Ya sudah kalau begitu, terima kasih banyak ya, Dek. Semoga berkah." Pak Sarip segera memasukkan uang seratus ribu itu ke dalam saku jaketnya yang terlihat lusuh.
Tak lama kemudian, Pak Sarip pamit pergi dan berlalu secepat kilat. Kurasa tak sampai lima menit aku berpaling, Pak Sarip sudah lenyap dengan sepeda motornya melewati kegelapan malam.
Perlahan, aku mulai memindahkan barangku ke teras rumah. Aku melihat sekeliling, rumah-rumah yang masih jarang dengan jarak saling berjauhan, pohon- pohon rindang yang tinggi menjulang, ditambah suara-suara binatang malam yang bersaut-sautan membuat nyaliku semakin menciut.
/0/28649/coverorgin.jpg?v=03e3e2b6056be3b5f8031561364897f2&imageMogr2/format/webp)
/0/26536/coverorgin.jpg?v=a02e0a94e32ec534c35ee677104469d9&imageMogr2/format/webp)
/0/26537/coverorgin.jpg?v=4df120d3c6f771cce900dbe52e7273a3&imageMogr2/format/webp)
/0/16584/coverorgin.jpg?v=a7ed768fd6ad0b80d99f53e2a1f2b3a4&imageMogr2/format/webp)