Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
ISTRI PILIHAN MAMA

ISTRI PILIHAN MAMA

AR_Merry

5.0
Komentar
100
Penayangan
1
Bab

Pernikahan adalah satu-satunya hal yang belum pernah Stefan pikirkan akan terjadi pada dirinya, mengingat gagalnya hubungan asmara dengan para kekasihnya. Akan tetapi, semuanya berubah saat sang mama memintanya menikah. Pria 32 tahun itu tak mampu mengelak ataupun mendebat wanita yang telah melahirkannya. “A-apa, Ma? Menikah?” tanya Stefan dengan mata membulat. Rita mengangguk dengan senyum manis yang sudah lama tak pernah terbit di bibirnya. Stefan tertegun. “Mama sudah punya calonnya. Kamu tinggal mempersiapkan diri saja,” jawab Rita tegas. Stefan memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Bayangan tentang pernikahan yang ada di otaknya sangatlah buruk. Lucunya, Stefan tidak bisa menolak ketika kedua matanya menangkap raut bahagia sang mama. Stefan menarik napas dalam-dalam. Memberikan jawaban yang membuat wanita 57 tahun itu berbahagia. “Baiklah, Ma. Stef akan mengikuti keinginan mama. Asalkan istri pilihan mama bisa menjadi pendamping hidup yang baik dan sayang kepada mama juga.” “Satu hal yang paling aku hindari adalah mengecewakan mama. Jika pilihan beliau sudah menjadi takdir untukku, aku akan menjalani dengan sebaik-baiknya,” janji Stefan dalam hatinya. Apakah pilihan Rita benar-benar mengantarkan Stefan menuju kebahagiaan? Atau sebaliknya

Bab 1 Putus Lagi

“Kita putus!”

Langkah kaki Stefan berhenti. Pria blasteran China-Indonesia itu membalikkan badan, menatap ke arah gadis yang menjadi kekasihnya selama setahun belakangan.

“Ulangi?”

Cindy mendengkus. Tak ayal ia pun mengulangi ucapannya.

“Kita putus, Stefan!” ucapnya tegas.

Stefan menatap datar kekasih, ralat mantan kekasihnya.

“Baiklah,” jawab Stefan tanpa ragu. Pria itu kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya yang tertunda untuk segera pulang.

Mengabaikan Cindy yang mengepalkan kedua tangannya dengan wajah memerah.

*

Stefan yang baru saja memarkirkan mobilnya, segera turun dan berlari ke arah lift, menuju flat rumahnya, di Garden Terrace, perumahan mewah yang berada di daerah Mid Level, Hong Kong.

Pria itu menekan angka 20 pada papan di dalam lift, di mana rumah yang selama 20 tahun ia tinggal bersama sang mama.

Entah mengapa lift hari ini terasa lambat. Berkali-kali Stefan menghela nafas sambil mengusap wajahnya.

Hatinya gelisah mengingat panggilan dari salah satu asisten rumah tangga yang bertugas menjaga mamanya.

Ting ...

Stefan terburu-buru keluar dan menempelkan jam tangan di tangan kirinya ke arah sensor pintu.

Pria itu mendorong pintu yang telah terbuka dan langsung masuk ke kamar sang mama. Memeriksa keadaan wanita yang telah melahirkannya.

“Mama?”

Rita yang baru saja keluar dari kamar mandi, dibantu asisten rumah tangga, menoleh ke arah putra semata wayangnya. Yang tampak terengah-engah seperti habis lari maraton.

“Mama baik-baik saja ‘kan?” Stefan mengulurkan tangan membantu Mamanya untuk kembali duduk di atas tempat tidur.

“Kamu bisa kembali bekerja, Ka. Terima kasih,” titah Rita kepada Kaka. Asisten rumah tangga yang baru saja bekerja satu bulan di rumah itu.

“Baik, Nyonya. Saya permisi.”

“Bagaimana keadaan Mama?” tanya Stefan tak sabaran.

Pasalnya sejak tadi Rita tak menjawab pertanyaannya.

“Ma?”

“Mama baik-baik saja, Stef. Bagaimana kencanmu hari ini?”

“Mama tidak perlu mengalihkan pembicaraan. Bagaimana dengan mama? Kaka bilang mama tadi terjatuh? Benar begitu?” Stefan memeriksa kepala, kedua tangan dan kaki Rita.

Kekhawatiran yang sejak tadi mengganggu pikirannya lenyap digantikan perasaan lega.

“Hampir terjatuh tepatnya. Tapi mama tidak apa-apa. Hanya sedikit syok saja hingga membuat mama pusing.”

“Kita ke dokter, ya? Stef khawatir jika belum memastikan mama baik-baik saja. Ayo!”

Uluran tangan Stefan ditepis oleh Rita cepat. Wanita itu mendesah lelah karena kesepian yang melanda sejak sang suami meninggalkan dunia ini.

“Ma? Ayo kita ke dokter! Stef harus memastikan keadaan mama dulu. Please?” pinta Stefan seraya berlutut di bawah kaki Rita.

“Mama tidak perlu ke dokter, Stef. Lebih baik kamu kembali ke kamarmu. Mama ingin istirahat.”

Rita melepas sandal santai yang ia kenakan dan membaringkan tubuhnya yang lelah. Mengabaikan putranya yang masih berlutut di lantai.

Stefan mendesah pasrah. Selalu seperti ini. Pria itu beranjak menarik selimut dan mengatur alat pendingin ruangan, sebelum keluar dari kamar mamanya.

Stefan masuk ke kamarnya. Merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menerawang kisah asmara yang berakhir dengan perpisahan.

Lagi, selama 5 tahun terakhir, hanya satu alasan yang sama, membuat pria 32 tahun itu kembali diputuskan oleh sang kekasih.

Aku tidak mungkin mengiba pada wanita yang tidak peduli dengan orang tua.

Terutama kepada mama.

Kedua mata Stefan menutup. Mencoba mengais sisa kesabaran yang selama ini ia pegang.

Malam ini, seperti biasanya, Stefan akan menghabiskan waktu untuk menemani Rita makan malam dan menonton.

Bahkan pria itu sudah melupakan hal tragis yang baru saja ia terima dari kekasihnya.

Dalam hidup Stefan, Rita adalah segalanya. Pria itu mengingat betul bagaimana perlakuan sang mama yang selalu mendahulukan kebahagiaannya.

Stefan yakin, suatu saat nanti, ia akan menemukan sosok itu. Seorang wanita yang bisa mencintai dirinya dan mamanya.

“Mama ingin pulang ke Indonesia, Stef,” celetuk Rita tiba-tiba.

Stefan menoleh, kedua matanya bertemu dengan Rita. “Mama bilang apa?”

Rita menguatkan hati. Ini sulit, harus meninggalkan putranya seorang diri di sini. Akan tetapi ia pun tak punya pilihan.

Kerinduan untuk mengunjungi makam sang suami yang telah berpulang 23 tahun lalu, terbawa hingga ke alam mimpi.

“Mama ingin pulang ke Indonesia,” ucapnya tegas dalam satu tarikan napas.

“Mama –“

“Mama rindu almarhum papamu, Stef.”

Stefan tertegun. Tangan pria itu terulur menarik tubuh sang Mama ke dalam pelukannya.

“Baiklah. Kita akan pulang bersama, minggu depan.”

*

Jakarta, 19.30 WIB

Kebahagiaan seorang anak adalah melihat orang tuanya tersenyum. Begitu juga yang kini dilakukan Stefan.

Pria yang memiliki nama lengkap Stefan Ivander Ellard, segera memesan dua tiket penerbangan Hong Kong- Jakarta, setelah perbincangan dengan Rita berakhir.

Kini, Stefan dan Rita yang baru saja keluar dari bagian imigrasi di dalam bandara Soekarno Hatta, berjalan berdampingan, mengambil koper mereka.

“Sudah?”

Stefan yang mendorong troli yang berisi 3 koper berukuran besar mengangguk. Ia meraih tangan mamanya untuk melingkar di lengannya.

Begitulah Stefan memperlakukan wanita yang telah melahirkan dan merawatnya hingga seperti saat ini.

“Bibi .... Kak Stef ...” seru gadis dua puluh tahun dengan berbinar.

Gadis bernama Aulia itu adalah putri kedua dari pamannya Stefan yang tinggal di Jakarta.

Dan pamannya itulah yang mengurus bisnis almarhum papanya di cabang Jakarta.

“Bibi.” Aulia berhambur memeluk Rita yang sudah merentangkan kedua tangannya menyambut gadis periang itu.

“Kamu sudah besar, Lia.”

“Tentu saja, Bi. Bahkan Aulia bisa menjadi pendamping Kak Stefan, sekarang,” ucapnya antusias.

“Kamu terlalu kecil untukku, gadis kecil,” sergah Stefan dengan senyum geli tersungging di bibirnya.

Aulia merengut. Melepaskan pelukannya pada sang bibi dan bergerak mencubit Stefan yang kini tertawa.

“Sudah lama Bibi dan Kak Stefan nggak pulang ke Jakarta.”

“Kak Stef lagi sibuk dengan usaha barunya dan Bibi harus banyak istirahat di rumah. Kalau tidak ... Kak Stef akan uring-uringan,” kekeh Rita dengan wajah berbinar.

Stefan yang duduk di samping sopir tersenyum dengan pandangan lurus ke depan.

Ternyata mama bisa sebahagia ini kembali ke Indonesia.

Tahu begitu, aku biarkan saja jika mama ingin menetap di sini.

Lagi pula, aku bisa mengunjunginya setiap saat.

Mobil yang membawa mereka masuk ke area pekarangan rumah Rita dan almarhum suaminya, yang kini dihuni oleh kedua orang tua Aulia.

Di teras, Dina sudah menunggu kehadiran kakak ipar beserta keponakannya itu. Lihatlah, wajah wanita 48 tahun itu berbinar melihat siapa yang turun dari mobil.

“Mbak Rita apa kabar?” tanya Dina dengan mata yang berkaca-kaca. Terhitung sejak suami kakak iparnya meninggal, Rita yang menetap di Hong Kong, membuat mereka jarang bertemu.

“Baik, Di. Bagaimana keadaanmu dan suamimu?” tanya Rita.

“Baik, Mbak. Ayo kita masuk! Mbak Rita sama Stefan istirahat dulu. Aku sudah menyiapkan kamar untuk kalian.” Dina menggandeng lengan Rita menuju kamar utama di rumah itu. Kamar yang memiliki kenangan bersama almarhum Adam.

“Semuanya tetap sama, Mbak. Kami tidak mengganti semua perabotan dan juga letaknya,” ucap Dina setelah mereka masuk ke kamar.

“Terima kasih, Dina. Aku akan beristirahat dulu di sini. Bisakah kamu tinggalkan aku sendiri?”

“Tentu, Mbak. Kalau ada apa-apa, Mbak Rita bisa menggunakan telepon di nakas untuk memanggilku atau asisten rumah tangga di bawah.”

Setelah Rita mengangguk paham, Dina keluar dari kamar itu menuju lantai bawah. Menyiapkan keperluan untuk makan malam nanti bersama asisten rumah tangga.

Di dalam kamar, Rita mendekat ke arah lemari yang berisi buku-buku milik almarhum suaminya. Ia menarik salah satu buku yang menyita perhatiannya dan satu surat beserta foto terjatuh ke lantai.

Rita memungut foto tersebut dan bergumam seolah menemukan barang berharga.

“Apakah ini adalah jawabannya, Pa?”

*

Di seberang sana, seorang gadis yang masih berkutat dengan tugas kuliahnya menggeram kesal, saat dokumen penting yang belum tersimpan hilang begitu saja.

“Arrrgghh! Kenapa lagi-lagi aku ceroboh, sih!”

Fina Alesia Herlambang. Gadis yang merupakan mahasiswi jurusan bisnis, mendekati semester akhir itu harus menelan kekesalan akibat keteledorannya sendiri.

Ini bukan pertama kali ia ceroboh. Padahal, kakaknya selalu mengingatkannya untuk menyimpan di One Drive agar dokumen tersimpan otomatis.

“Kalau begini, aku harus ngulang lagi, dong?” Belum sampai Fina meluapkan kekesalan, suara ketukan pintu diiringi suara lembut maminya, membuatnya menahan untuk tidak berteriak.

Dengan langkah gontai, Fina segera turun dan membuka pintu, sebelum maminya mengamuk.

Ceklek ....

“Ada apa mamiku yang cantik?” ringis Fina dengan cengiran khas yang dimilikinya.

“Turun! Sudah waktunya makan. Hari ini Papi dan Kakakmu pulang lebih awal,” ucap wanita paruh baya 57 tahun itu.

“Baiklah. Ayo.”

Di meja makan, dua pria berbeda usia tampak berbincang-bincang mengenai acara besok pagi. Tepatnya berziarah ke makam sahabat papinya yang telah berpulang 23 tahun yang lalu.

“Malam, Pi.” Fina mengecup pipi Dedi, lalu menghampiri kakaknya, Dino. Melakukan hal yang sama pada kesayangannya itu. “Malam kakakku, Sayang.”

“Besok kita akan berangkat jam 9 pagi ya, Mi,” ucap Dedi seraya menatap sang istri.

“Iya, Pi. Mami akan bersiap-siap lebih awal.” Lina beralih menatap Fina. “Besok kamu juga ikut, Fin.”

“Tapi, Mi –“

Dino melirik tajam ke arah Fina. Membuat gadis itu mengerti, jika dirinya tak boleh membantah.

“Baik, Mi.”

Dedi dan Lina melemparkan senyuman sebelum wanita itu mulai melayani suaminya di meja makan.

Sedangkan Fina yang mempunyai rencana akan bangun siang, menggerutu kesal dalam hati.

Kenapa mesti besok, sih!

See you next chapter ...

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh AR_Merry

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku