Mentari seorang gadis yang pernah mengalami patah hati dalam hidupnya. Terdengar berlebihan, tetapi begitu kenyataan yang ia rasakan. Kekasihnya memutuskan untuk pergi dan menikahi gadis lain. Patah hati itu tidak membuatnya terus terpuruk, seiring berjalan waktu Mentari tumbuh menjadi gadis yang cantik dan mandiri. Ia tidak lagi terlihat seperti gadis yang lemah hingga ada dua lelaki yang begitu menginginkannya menjadi seorang pendamping hidup yaitu Langit dan Angkasa. Namun, gadis itu tidak ingin mengambil keputusan dengan cepat. Ia masih membutuhkan waktu untuk memulihkan hatinya dan memilih siapa yang lebih pantas menjadi pendamping hidupnya dan lebih bisa meyakinkan hatinya.
Kabar itu meluluh lantahkan perasaannya, bulir bening jatuh menghiasi pipinya. Gadis itu terisak, ia tak ingin jika pada akhirnya hatinya terpatahkan untuk kesekian kalinya. Lidahnya terasa kelu, seluruh tubuhnya seakan terhenti untuk bersungsi secara normal. Otaknya terus berisi beribu pertanyaan yang ia sendiri tak tahu jawabannya.
Ia tak tahu harus memberi jawaban apa, yang pasti saat ini hatinya terasa pilu. Meskipun dengan pernyataan yang terdengar sepele, batinnya masih ingin tetap memperjuangkan tetapi terlalu banyak gelombang yang harus ia lewati untuk mencapai tepi disana.
Hubungan ini seperti tanpa restu, tetapi gadis itu masih yakin dengan pilihannya, sebab hatinya telah memilih secara sadar.
"Aku tidak salah langkah 'kan?"
"Apa aku terlalu terburu-buru mengambil keputusan?" lirih gadis itu menatap layar ponselnya.
***
Hujan turun dengan sendu, udara dingin menghiasi bumi di pagi hari. Ia melangkahkan kakinya dengan gontai menuju lobi utama.
"Mentari...!" ucap seorang lelaki dengan semangat dan senyuman khasnya.
Langkah kakinya terhenti, matanya menyoroti sumber suara dari koridor kantor yang panjangnya seperti tak terhingga.
"Tumben masih pagi udah ke kantor?" celoteh lelaki yang memiliki dada yang berbidang itu.
"Emang ada yang salah kalau aku ke kantor pagi-pagi begini, Sa?" tanya gadis itu yang melanjutkan langkahnya yang terhenti beberap detik.
"Iya nggak biasa aja," jawab lelaki itu yang terus membuntutinya.
Gadis itu berlalu menuju finger print yang lebih berharga daripada celotehan Angkasa yang tidak jelas arahnya itu. Ia melangkahkan kakinya menuju bilik kerjanya.
"Tari, aku lagi ngomogong loh sama kamu," protes lelaki itu.
Gadis menoleh dengan lemah, ia menatap dengan malas lelaki yang lagi-lagi menyita waktunya.
"Aku dengar Angkasa, tetapi finger print ini lebih berharga dari dirimu yang sedang membuang waktuku untuk percakapan yang tidak penting ini," ucap gadis itu serius.
"Hey, finger print ini tidak akan kamu bawa mati, Mentari," jawab lelaki itu yang berusaha mencairkan suasana.
"Aku tahu, tetapi telat sedikit saja menentukan hidup dan matiku disini, Angkasa. Kamu mau menanggung gajiku jika dipotong gara-gara aku telat menekan finger print," tegas gadis itu berlalu.
Gadis itu seakan merasa sedang terancam hidupnya, padahal isi hatinya yang sedang berantakan. Seolah seluruh hidupnya tak bisa tersusun kembali. Angkasa yang mendengar itu hanya menggeleng, pagi ini gadis itu terlihat sensitif sekali.
"Mentari, matamu sembab, kamu habis menangis?" tanya lelaki itu dengan menatap lekat-lekat mata gadis itu.
Mentari sedikit memundurkan dirinya untuk menghindari tatapan dari lelaki yang terlalu ingin tahu hal yang terjadi pada dirinya.
"Jangan terlalu dekat dong, Angkasa," tolak gadis itu.
"Ah, maaf Mentari. Apa kamu habis menangis?" tanya lelaki itu lagi.
"Aku kurang tidur," jawab gadis itu dingin.
Sembab dimatanya terlihat jelas, ia lupa menutupinya dengan conceler. Jangankan conceler, hari ini ia hanya menggunakan sunscreen dan lip serum.
Tetapi, wajah mentari begitu tampak ayu dan meneduhkan. Hari ini wajahnya tidak secerah biasanya mengikuti cuaca langit yang mendung.
Mentari kembali berlalu meninggalkan Angkasa yang masih mematung dengan sikap dingin Mentari. Gadis itu memulai menata laptopnya di atas meja kerja, ia kembali menata laporan-laporan yang harus ia kerjakan. Tak lupa ia mengeluarkan kopi panasnya yang ia bawa dari rumah.
"Namanya Mentari, tetapi sikapnya dingin sekali. Seharusnya namanya Salju," gumam lelaki itu.
"Angkasa, aku dengar yang kamu ucapkan. Kita hanya disekat dengan bilik ini," ucap Mentari dengan nada dingin.
"Namamu diganti saja Mentari," jawab Angkasa lugas.
"Maksudmu?" tanya gadis itu yang kesabarannya telah diuji oleh lelaki itu.
"Hey... hey.. kalian kenapa sih pagi-pagi udah berantem aja?" tanya Dara yang sedari tadi memperhatikan dua anak manusia yang tidak pernah akur itu. Dara baru saja meletakkan tas laptopnya di atas meja kerja yang bersebelahan dengan Mentari.
"Ini si Salju lagi sensitif," ujar Angkasa dari bilik meja kerjanya.
"Siapa Salju?" tanya Dara bingung.
"Siapa lagi kalau bukan yang pagi-pagi udah marah-marah?" tanya lagi Angkasa yang sengaja melantangkan suaranya untuk menarik perhatian gadis itu.
Dara terkekeh, tidak ada jawaban apapun dari Mentari. Gadis itu masih fokus dengan layar ponselnya. Perasaannya masih tak karuan, mood-nya benar-benar sedang memburuk, tidak seperti biasanya yang setiap pagi selalu berbicara sebanyak 20.000 kata seperti gadis normal pada umumnya.
"Kalian ini berantem terus, nanti jodoh loh," ucap Dara terkekeh.
"Idih amit-amit sama buaya," tukas Mentari tanpa ekspresi.
"Kalau sama kamu aku jinak kok, Mentari," ujar Angkasa.
Lelaki itu memang tidak pernah terlihat tersinggung atau menyerah dengan sikap Mentari yang terkenal ceplas ceplos itu. Baginya Mentari gadis yang apa adanya, menjadi dirinya sendiri tanpa mencari perhatian orang lain.
"Jangan terlalu benci sama Angkasa, Mentari," ucap Dara dengan lembut.
"Angkasa itu yang nyebelin Mba," rengek gadis itu pada wanita yang lebih tua darinya 3 tahun itu.
Mentari sudah menjadi adik bagi rekan kerja yang diatas usianya itu, meskipun begitu Mentari selalu bersikap santun pada rekan kerja yang lainnya.
"Yaudah ini Mba bawa sandwich kesukaan kamu, kamu pasti belum sarapan kan," ucap Dara yang mengeluarkan kotak bekal berwarna merah muda itu.
Mata gadis itu berbinar melihat makanan yang selalu dibawa oleh Dara untuknya. Dara benar-benar sudah menjadi kakak terbaiknya di kantor ini.
Seketika ia lupa dengan perasannya yang rumit ini, benang-benang kusut yang ada dipikirannya kembali pulih kembali.
"Mba Dara repot-repot banget sih, aku juga bawa sarapan kok," ucap Mentari yang tak enak hati.
"Mentari, setiap pagi kamu hanya minum kopi, nanti asam lambung kamu naik lagi," ucap Dara tulus.
"Terima kasih ya Mba, aku beneran ngerasain punya Mba yang baik banget," ucap Mentari yang mengambil sepotong sandwich itu.
"Aku mau dong Mentari," rengek Angkasa yang menghampiri meja kerja Mentari yang terdapat kotak bekal itu.
"Gak boleh," tolak gadis itu.
"Sama Mba Dara aja boleh kok," jawab Angkasa yang berusaha meraih kotak bekal itu.
Dara hanya menggeleng melihat tingkah Mentari dan Angkasa yang layaknya sepasang kekasih itu. Tetapi Mentari telah mencintai lelaki yang lebih dulu mengisi hatinya dibanding Angkasa. Benteng kesetiaannya tidak bisa ditembus oleh siapapun yang terus berusaha memasuki hatinya.
"Oh iya Mba Dara udah berapa persen nih nyiapin pernikahannya?" tanya gadis itu antusias.
"Hmm udah delapan puluh persen nih," jawab Dara lugas.
"Semoga dilancarkan ya Mba," ucap Mentari.
"Aamiin, oiya kamu bentar lagi lamaran'kan Tar?" tanya Dara.
"Bentar Mba, Mentari mau lamaran sama siapa Mba?" tanya Angkasa bingung.
"Minta do'a-nya saja ya Mba," jawab Mentari kaku.
"Semoga disegerakan ya Tar," ucap Dara mengusap pundak gadis yang berusia 25 tahun itu.
Gadis itu hanya bisa berharap hubungannya yang selama 3 tahun ini akan sampai pada jenjang pernikahan, tetapi saat ini ia tak tahu akan berhenti berharap atau pasrah dengan takdir.
"Mentari, kamu mau lamaran sama siapa?" tanya Angkasa yang terus mendesak pertanyaan pada gadis itu.
***
Bab 1 Prolog
09/08/2022