Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Marlina mempercepat langkahnya ketika mendengar deru sepeda motor semakin mendekat. Sepeda motor kini sejajar berjalan di sampingnya.
“Hai Adik manis, kok cepet banget jalannya?” tanya salah satu dari mereka.
“Ikutan naik motor bareng yuk!” ajak yang lainnya.
Dua kakak kelasnya itu tertawa terbahak-bahak. Marlina acuh sambil mengeratkan tali tas punggungnya di dada. Dengan berlari kecil Marlina berusaha menjauh dari sepeda motor itu.
Marlina kini sekolah di SMA yang letaknya sangat jauh dari kampungnya. Banyak orang di kampungnya yang tidak menyelesaikan sekolah SMA karena letaknya yang sangat jauh. Selain itu, akses jalan umum harus memutar ke arah kecamatan. Rute terdekat hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki dan harus menyebrangi sungai.
Marlina hanya seorang diri ketika berangkat dan pulang sekolah, melewati berkilo-kilo kebun karet dan sungai, ia tak gentar. Namun nyali Marlina sangat ciut kali ini. Dua pemuda itu menatapnya dengan penuh nafsu. Beberapa langkah lagi Marlina menyeberangi sungai.
Celakanya Marlina justru terpeleset sehingga seluruh tubuhnya tercebur ke air. Ketika Marlina berdiri, tampak baju basahnya melekat ke seluruh tubuh.
“Ha ... ha ... ha … pemandangan yang bagus sekali!” ucap salah satu pemuda yang naik motor.
Dua pemuda itu segera turun dari motornya dan mendekati Marlina. Marlina berusaha berlari untuk menghindari kedua pemuda itu, tapi dia malah terpeleset lagi. Marlina menangis sambil merintih, ternyata kakinya berdarah akibat tergores batu di sungai.
Kedua pemuda itu berebut menjamah tubuh Marlina. Marlina hanya bisa menangis sambil memukul-mukul tangan kedua orang itu, tapi tenaga keduanya lebih besar daripada pukulan Marlina.
Tiba-tiba terdengar bunyi petir menyambar diiringi dengan hujan yang sangat deras. Gunawan salah satu dari pemuda itu melihat ke arah langit dan merasa ketakutan. “Jat, ayo pergi! Petir ini peringatan dari yang di Atas.”
“Kamu takut? Pergi aja duluan, tanggung nih!”
Gunawan berlari menjauh lalu menaiki sepeda motornya dan menjauh. Tinggallah Marlina yang sudah koyak bajunya dengan Jatmiko. Dengan ganas Jatmiko menikmati tubuh Marlina yang sudah melemah. Hujan deras menjadi saksi kebejatan kakak kelas Marlina. Darah mengalir dari kedua pahanya terbawa air hujan. Tak seorang pun mendengarkan rintihan Marlina di tengah kebun karet.
Jatmiko mengatur nafasnya lalu terlentang menghadap ke langit, merasakan tetesan air ke tubuhnya. Sebelum Marlina bangun dari posisinya, Jatmiko terlebih dulu mengenakan pakaiannya dan berlalu meninggalkan Marlina seorang diri di tengah kebun karet. Marlina tak kuasa bergerak, tubuhnya terasa sakit semua, terlebih hatinya yang hancur berkeping-keping.
Marlina teringat nasehat kedua orang tuanya yang melarang sekolah di kecamatan karena jalannya jauh dan sepi. Hal inilah yang paling ditakuti kedua orang tuanya.
Ayah dan ibunya hanya memiliki seorang anak yaitu Marlina. Harapan keduanya berujung pada Marlina. Namun kejadian ini membuat Marlina malu, takut dan kecewa untuk pulang ke rumahnya. Marlina takut kalau Ayah dan Ibunya marah atau bahkan sedih mengetahui keadaannya saat ini.
Marlina merasa benar-benar hancur. Sekujur badannya terasa sakit. Dia berharap mati untuk menutup segala peristiwa kelam hari ini. Matanya tertutup bersama gelegar petir yang tak kunjung henti seakan langit marah dan menghukumnya.
Hari semakin gelap ketika Marlina tersadar bahwa hujan telah berhenti mencurahkan kemarahan langit. Marlina tidak dapat menemukan di mana bajunya, dia menangis dan berusaha membenturkan kepalanya ke batu besar. Dari kejauhan tampak sorotan lampu senter.
“Hei, siapa kamu?” ucap orang itu mendekati Marlina.
“Aku gak suci lagi, biarkan aku mati,” isak Marlina.
“Ya Allah, Nduk. Mana bajumu?” tanya orang kedua sambil menyorot ke sekelilingnya. Tak ada baju di sekitar gadis itu, mungkin sudah hanyut terbawa air sungai.
“Ini, pake sarung saya dulu,” tawar bapak tadi sambil melepas sarungnya dan memakaikannya ke Marlina.
Marlina hanya bisa pasrah dililitkan sarung ke badannya, lalu dituntun menjauhi sungai.
“Cari ikannya nanti aja, Pak. Bawa anak ini pulang dulu, kasian. Kayaknya dari tadi dia kehujanan.” Kedua orang itu berjalan pelan sambil menuntun Marlina. Lalu mereka berjalan pelan ke arah kampung.
“Assalamualaikum, Bu. Kami gak jadi nyari ikan,” ucap bapak tadi seraya memasuki rumahnya. Tampak keluar seorang ibu tua dan melihat ke arah kami. Marlina kembali meneteskan air mata dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai.
“Hah, siapa ini, Pak?” tanya Ibu itu.