/0/19269/coverorgin.jpg?v=f324e0a554ff64f17e8a3749d4a97c1e&imageMogr2/format/webp)
Selama sepuluh tahun, aku diam-diam mencintai waliku, Bima Wijaya. Setelah keluargaku hancur, dia membawaku masuk dan membesarkanku. Dia adalah seluruh duniaku.
Pada hari ulang tahunku yang kedelapan belas, aku mengumpulkan semua keberanianku untuk menyatakan cintaku padanya.
Tapi reaksinya adalah kemarahan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dia menyapu kue ulang tahunku ke lantai dan meraung, "Kamu sudah gila? Aku ini WALImu!"
Dia kemudian tanpa ampun merobek lukisan yang telah kukerjakan selama setahun—pengakuanku—menjadi serpihan.
Hanya beberapa hari kemudian, dia membawa pulang tunangannya, Clara.
Pria yang telah berjanji untuk menungguku dewasa, yang memanggilku bintangnya yang paling terang, telah lenyap. Satu dekade cintaku yang putus asa dan membara hanya berhasil membakar diriku sendiri.
Orang yang seharusnya melindungiku telah menjadi orang yang paling menyakitiku.
Aku menatap surat penerimaan dari Universitas Indonesia di tanganku. Aku harus pergi. Aku harus mencabutnya dari hatiku, tidak peduli betapa sakitnya.
Kuambil telepon dan menekan nomor ayahku.
"Ayah," kataku, suaraku serak, "Aku sudah memutuskan. Aku ingin ikut dengan Ayah di Jakarta."
Bab 1
Hari kedelapan belas menyerah pada Bima Wijaya dimulai dengan Anya menghapus foto di layar kunci ponselnya.
Itu adalah foto candid yang diam-diam dia ambil.
Bima sedang duduk di sofa, bermandikan sinar matahari sore, sebuah majalah finansial tergeletak di pangkuannya. Dia menatap Anya, senyum tipis yang nyaris tak terlihat tersungging di bibirnya.
Selama sepuluh tahun penuh, dari usia delapan hingga delapan belas tahun, pria ini telah menjadi matahari di dunianya.
Kegembiraannya, kemarahannya, kesedihannya, seluruh dunianya berputar di sekelilingnya.
Tapi sekarang, dia ingin memadamkan matahari itu dengan tangannya sendiri.
Layar itu menjadi hitam.
Hitam pekat yang bersih, tidak meninggalkan apa pun.
Jari-jari Anya sedikit gemetar saat dia meletakkan ponselnya dan mengambil segelas susu di atas meja. Susu itu sudah dingin.
Dia meminumnya dalam sekali teguk, cairan dingin itu meluncur ke tenggorokannya, tetapi tidak bisa menekan sensasi terbakar di dadanya.
Dia mengambil ponselnya lagi dan menekan nomor yang sudah lama tidak dia hubungi.
Panggilan itu cepat tersambung. Suara lembut seorang pria terdengar.
"Anya?"
"Ayah," panggilnya, suaranya sedikit serak. "Aku sudah dapat surat penerimaanku. UI."
Ayahnya terdiam sejenak, lalu suaranya dipenuhi kegembiraan yang tak terselubung. "Itu luar biasa! Anya, selamat. Sejarah Seni, kan? Jurusan yang selalu kamu impikan."
"Iya."
"Jadi, kamu sudah memutuskan? Kamu akan datang ke Jakarta?"
"Aku sudah memutuskan," kata Anya, cengkeramannya pada telepon mengencang. "Aku ingin ikut dengan Ayah."
Dia ingin melarikan diri dari tempat ini. Dia ingin melarikan diri dari Bima Wijaya.
Ayahnya sepertinya merasakan emosi dalam suaranya. Dia menghela napas pelan. "Apakah ini karena Bima? Apa dia menyulitkanmu lagi?"
"Tidak," bohong Anya, memaksakan nada santai. "Dia akan bertunangan. Aku tidak bisa terus tinggal di rumahnya sebagai anak perwaliannya, tidak sekarang. Rasanya tidak pantas. Selain itu, aku sudah dewasa sekarang. Sudah waktunya aku belajar mandiri."
Keheningan yang berat menyusul.
Setelah beberapa lama, suara ayahnya, yang penuh dengan kepedihan, terdengar melalui telepon. "Anya-ku yang malang. Pasti berat bagimu selama ini, tinggal di rumah itu karena Ayah tidak bisa... Baguslah kamu datang. Ayah akan menjagamu mulai sekarang."
Dia menambahkan, "Bisnis keluarga kita sudah kembali normal. Kamu tidak perlu bergantung pada siapa pun lagi. Ayah bisa menafkahimu."
Kehangatan kata-katanya membuat mata Anya perih.
Dia terisak, menahan air mata. "Baiklah."
Setelah menutup telepon, dia menatap dirinya di cermin. Matanya merah dan bengkak.
Sepuluh tahun. Dia telah menghabiskan sepuluh tahun penuh mencintai seorang pria yang tidak akan pernah menjadi miliknya.
/0/29430/coverorgin.jpg?v=8e86c699cec428f3b4eb4b4f9f811d64&imageMogr2/format/webp)
/0/4887/coverorgin.jpg?v=0a325a82d88002794a6b6fcc627955e2&imageMogr2/format/webp)
/0/7212/coverorgin.jpg?v=a93a4ff531b7a044cca38de6c68b3f2e&imageMogr2/format/webp)
/0/16901/coverorgin.jpg?v=2b23a53fc3917b0a29dd0a241be3a429&imageMogr2/format/webp)
/0/3135/coverorgin.jpg?v=d437c03b6913e6281de45100a11f8f00&imageMogr2/format/webp)
/0/7714/coverorgin.jpg?v=abfa39172a66c8f77a357e0be611862a&imageMogr2/format/webp)
/0/13744/coverorgin.jpg?v=9b98406bedb7a8807ec09c446dfbd917&imageMogr2/format/webp)
/0/5026/coverorgin.jpg?v=6b0541cf5ce5c276a47550f412b121d4&imageMogr2/format/webp)
/0/19210/coverorgin.jpg?v=ea7afdd953f090bd13df17bc73fec027&imageMogr2/format/webp)
/0/16393/coverorgin.jpg?v=172af232152f82e5e59dff88c852c7d1&imageMogr2/format/webp)
/0/16789/coverorgin.jpg?v=043048520fae542c162bd6db7037911f&imageMogr2/format/webp)
/0/18478/coverorgin.jpg?v=faf7ead5b5bcede4ab8bef5771265b95&imageMogr2/format/webp)
/0/14557/coverorgin.jpg?v=05393f914ece5f54f137a772d64f249d&imageMogr2/format/webp)
/0/26631/coverorgin.jpg?v=c549dea41c684d47cdbdd32e59ffe740&imageMogr2/format/webp)
/0/28861/coverorgin.jpg?v=5208abd5ff844d444b576a621aec194c&imageMogr2/format/webp)
/0/14093/coverorgin.jpg?v=4aa6e70fcd12d74f5c60b1176aac593c&imageMogr2/format/webp)