Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Wanita Tak Ternilai

Wanita Tak Ternilai

Poel Story27

5.0
Komentar
12.3K
Penayangan
133
Bab

"Tubuh murahanmu ini sudah aku beli. Jadi bersiaplah untuk menjadi jalang di ranjangku!" Perkataan itu terdengar sangat menyakitkan bagi pendengaran Zhafira. Terlebih kalimat merendahkan itu keluar dari mulut pria yang berstatus sebagai suaminya sendiri. Dianggap apa dirinya? Wanita murahan seperti yang diobral di tempat hiburan malam, kah? Sejak kecil kehidupan Zhafira memang jauh dari kata bahagia, dan itu terbawa hingga saat ini. Zhafira harus merelakan dirinya menikah dengan seorang pria yang sangat kejam dan tak berperasaan. Semua ini dilakukan Zhafira demi ibunya yang tengah sekarat di rumah sakit. Adakah kebahagiaan untuk Zhafira? Haruskah seumur hidupnya dipenuhi linangan air mata?

Bab 1 Memohon Bantuan

"Pak, saya mohon ... izinkan saya masuk, saya harus bertemu ayah ...."

Sore ini hujan sedang mengguyur begitu deras, diiringi petir yang menyambar saling bersahutan.

Seorang gadis dengan tubuh yang menggigil kedinginan, tampak sedang memohon belas kasihan.

Pakaian yang dikenakan gadis ini sudah basah kuyup, dia berdiri gemetar di depan gerbang sebuah rumah besar.

"Maaf, Nona Zha. Saya tidak berani. Nyonya bisa marah besar jika kami membiarkanmu masuk," tolak security yang berjaga di gerbang rumah tersebut tidak kenal kompromi.

Sebenarnya secuity itu tidak tega melihat kondisi si gadis, tapi mau bagaimana lagi? Dia hanya melaksanakan tugas, dia bisa kehilangan pekerjaan jika membiarkan gadis tersebut masuk.

Sementara si gadis malang itu terus memohon, dia terisak mengiba tanpa memikirkan harga dirinya lagi.

Jika saja tidak disebabkan oleh hal yang sangat mendesak, dia pun tidak akan sudi datang ke rumah ini untuk mengemis bantuan.

Gadis ini bernama Zhafira Khairunnisa, dia sudah tidak peduli jika harus dianggap pengemis, tidak tahu malu, atau apa pun itu.

Yang penting baginya hanya satu, dia harus mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ibunya. Wanita yang sangat dicintainya itu kini sedang terbaring koma di rumah sakit.

Sesaat kemudian, tampak sebuah mobil MPV super mewah mendekat. Dengan sigap security yang berjaga di pos tersebut membuka gerbang, memberi akses bagi mobil pabrikan Lexus itu untuk masuk.

Tidak membuang kesempatan yang ada, Zhafira pun menerobos masuk untuk mengejar mobil tersebut.

Security yang berjaga terkejut, mereka ingin mengejar Zhafira, tapi dicegah oleh seniornya yang merasa iba. Security senior ini tahu persis nasib malang yang dialami Zhafira.

Setelah berlari sekitar lima puluh meter menembus hujan yang teramat deras, Zhafira pun berhasil tiba di depan sebuah rumah mewah bergaya romawi.

Pilar-pilarnya yang menjulang tinggi berdiri angkuh, seolah sedang menertawakan penderitaan Zhafira saat ini.

Zhafira mendekap sendiri tubuhnya yang menggigil kedinginan, manik mata coklatnya menatap penuh harap, menanti sang pemilik rumah itu turun dari mobil.

Sejurus kemudian si pengemudi bergegas turun, lantas membukakan pintu kabin tengah.

Seorang pria kharismatik dalam balutan jas mewah melangkah turun, mata tajamnya lantas menyusuri tubuh Zhafira dari ujung kepala sampai ujung kaki, dengan pandangan tidak suka.

Sejurus kemudian seorang wanita paruh baya berpenampilan glamour menyusul turun, tangan wanita ini memegang sebuah payung edisi terbatas, untuk melidungi dirinya dari air hujan.

"Mau apa kau datang ke sini?" tanya wanita paruh baya bernama Miranda dingin.

Miranda kini sudah berdiri di teras rumahnya bersisian dengan sang suami.

Zhafira hendak melangkah ke teras, dengan maksud ingin melindungi dirinya dari air hujan. Agar ia tidak semakin menggigil kedinginan dan bisa membuatnya masuk angin.

Namun, baru sekali melangkah, suara bentakan keras dari Miranda sudah membuat langkah Zhafira terhenti.

"Tetap di tempat kamu, jangan coba-coba mendekat! Nanti kuman-kuman di tubuhmu itu luntur, dan mengotori rumahku!" hardik Miranda dengan nada bicara yang sangat congkak.

"Ba-baik, Ma," jawab Zhafira dengan suara bergetar.

"Dasar anak haram tidak tahu diri! Aku bukan mama kamu, panggil aku Nyonya!" Miranda kembali membentak.

Tatapan Miranda tampak berapi-api. Melihat wajah Zhafira yang sangat identik dengan Alya Indira, sang ibunda. Memaksa Miranda teringat pada wanita yang paling ia benci itu, wanita yang dulu pernah dicintai suaminya dengan begitu dalam.

Haris Ganendra, ayah dari Zhafira dan Alya Indira ibunya, dulu adalah sepasang kekasih yang saling mencintai.

Sayangnya hubungan mereka tidak direstui oleh orang tua Haris, karena Alya adalah seorang gadis yang berasal dari keluarga miskin, bukan dari kalangan terhormat seperti keluarga Ganendra.

Lantas orang tua Haris menjodohkan putranya dengan Miranda, yang juga merupakan putri dari konglomerat ternama.

Haris yang sangat mencintai Alya pun menolak Miranda berkali-kali, sehingga membuat Miranda sakit hati dan sangat membenci Alya.

Orang tua Haris tidak kehabisan akal, mereka melakukan segala cara agar putranya mau menerima perjodohan tersebut.

Puncaknya mereka mengancam akan bunuh diri, jika Haris masih nekat menikahi Alya.

Haris yang tidak ingin kehilangan orangtuanya pun menyerah. Dia terpaksa meninggalkan Alya, dan bersedia menikahi Miranda.

Kisah masa lalu yang pahit itu, menempatkan Alya Indira sebagai pihak yang paling menderita. Dia ditinggal oleh Haris dalam keadaan mengandung buah cinta mereka.

Saat itu Miranda sempat menemui Alya, dan meminta agar Alya menggugurkan kandungannya.

Tentu saja Alya menolak, dia tidak ingin semakin bergelimang dosa, dengan menggugurkan janinnya sendiri. Dan lagi ia juga sangat mencintai janin yang dikandungnya itu.

Beberapa bulan setelah kejadian tragis yang menimpa Alya Indira itu, lahirlah bayi cantik bernasib malang yang kini sudah tumbuh dewasa.

Sang ibunda memberinya nama Zhafira Khairunnisa, yang berarti 'Wanita Yang Beruntung'. Miris, kehidupan yang dijalani Zhafira berbanding terbalik dengan nama indah yang tersemat pada dirinya.

Sejak kecil Zhafira sudah hidup pas-pasan bersama ibunya yang hanya bekerja serabutan.

Memang, Haris pernah mengirimkan uang untuk biaya hidupnya, itu pun hanya beberapa kali tanpa sepengetahuan Miranda.

Tidak hanya hidup susah, keseharian Zhafira juga tak lepas dari gunjingan orang-orang di sekitarnya.

Sebutan anak haram sudah melekat pada dirinya sejak lahir, karena ia dilahirkan tanpa adanya ikatan pernikahan.

Mungkin, Zhafira adalah anak yang tak pernah diharapkan lahir ke dunia ini. Tapi apa pantas dia menanggung semua hinaan itu?

Jika bisa meminta, Zhafira pun pasti tidak ingin lahir dalam kondisi tersebut. Itu kesalahan orang tuanya, bukan kesalahan dirinya.

"Hei, anak haram! Ada perlu apa kau datang kemari? Cepat katakan!" bentak Miranda membuyarkan lamunan Zhafira.

Zhafira mengalihkan pandangan pada ayahnya, berharap orang-tuanya itu memiliki sedikit rasa iba dan membelanya.

"Ayah, tolong pinjamkan Zha uang. Saat ini bunda sedang sakit, bunda harus naik meja operasi secepatnya. Kata dokter, hiks ... kata dokter, jika bunda terlambat naik meja operasi, maka bunda tidak akan bisa diselamatkan," adu Zhafira dengan suara terisak.

Miranda mengangkat alisnya tinggi-tinggi, batinnya terasa puas mendengar musibah yang dialami Alya.

"Uang? Enak saja kau datang ingin meminjam uang untuk pengobatan wanita murahan itu. Aku bahkan berniat mengadakan sukuran jika dia segera mati. Sana pergi, aku tidak sudi memberimu uang!" usir Miranda tanpa perasaan.

Sedangkan Haris yang berdiri di samping Miranda hanya terdiam, dia seolah tidak peduli dengan kesusahan yang dialami anak gadisnya.

Dia juga tidak peduli dengan keselamatan Alya. Wanita yang dulu sangat dicintainya, sebelum Miranda berhasil mengubah pandangannya terhadap Alya.

Mendapat penolakan dari Miranda, tidak membuat Zhafira menyerah begitu saja. Dia tahu Miranda dan ayahnya adalah satu-satunya harapan, tidak ada lagi tempat mengadu selain pada dua orang ini.

Zhafira melangkah maju, dia memeluk kaki Miranda untuk bersimpuh memohon. "Nyonya, tolong kasihani bunda ... aku berjanji akan melakukan apa saja, asal Nyonya mau meminjamiku uang."

Miranda berdecih, dia mendorong tubuh Zhafira kuat-kuat hingga gadis itu tersungkur ke tengah hujan.

Zhafira belum putus asa, dia beralih menatap ayahnya dengan sorot mata memohon. "Ayah, tolong pinjamkan Zha uang, Zha tidak mau kehilangan bunda, Zha tidak punya siapa-siapa lagi, selain bunda ...."

Namun, apa pun usaha yang dilakukan Zhafira tetap sia-sia. Wajah Haris tetap datar, dia seolah tidak memiliki naluri seorang ayah, hingga nuraninya tidak merasa terpanggil untuk memberi bantuan.

"Supir! Cepat seret anak haram ini keluar dari rumahku!" perintah Miranda dengan suara melengking.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku