Kisah Tisa yang ingin membalas dendam atas kematian Rea, adiknya. Kematian yang menyisakan keganjilan membuat Tisa bertekat ingin mencari pelakunya. Tisa menemukan beberapa bukti yang merujuk pada sebuah yayasan berbasis agama yang lumayan jauh dari rumahnya. Di sanalah Rea bekerja. Tisa mulai menyelidiki profil yayasan dan akhirnya memutuskan menyamar menjadi salah satu pengajar di yayasan itu. Bagaimana kelanjutan kisah Tisa? Apakah ia akan ketahuan? Apakah bisa berhasil menyamar?
Seorang wanita berjilbab pasmina berwarna hitam berjalan cepat menuju jalan utama, masih kurang 300 meter lagi untuk mencapainya. Lampu jalanan tidak banyak yang menyala, menghasilkan remang jalan yang menguntungkan wanita itu dari kejaran.
Langkahnya sedikit terseok karena luka tusukan di kaki sebelah kanan terus mengeluarkan darah. Sesekali wanita itu menoleh ke belakang, memastikan beberapa orang yang mengejarnya tidak terlihat. Setelah yakin di belakangnya tidak ada siapa pun, wanita itu bersandar di sebuah pagar rumah mewah, lalu menyeka keringat yang terus menetes di pelipisnya.
"Sialan!" umpat wanita itu kesal. Ia melihat luka di kakinya, masih mengeluarkan darah. Erangan kecil keluar dari bibir mungil wanita berjilbab pasmina itu saat berusaha menegakkan tubuh.
'Aku harus lari sebelum mereka menemukanku!' batin wanita itu.
Wanita itu kembali meneruskan langkah menuju jalan utama, ia berencana menyetop taksi pertama yang terlihat. Jika tidak ada, terpaksa ia harus mati-matian berlari pulang.
Beberapa menit kemudian, wanita itu bernapas lega setelah berhasil mencapai jalan utama. Ia tidak menyadari bahwa sebuah mobil hitam sudah menunggunya tak jauh dari gang.
Wanita itu mengerang kecewa karena tidak melihat satu pun taksi di sana. Wajar saja, sekarang sudah pukul 1 malam. Jarang sopir taksi beroperasi hingga tengah malam, kecuali di dekat klub malam untuk mengantarkan pemabuk pulang.
Wanita berhidung mungil itu menatap sekeliling, tidak ada satu pun orang yang bisa dimintai tolong. Suasana sepi. Tiba-tiba saja ia teringat ucapan kakaknya.
"Wanita harus bisa menjaga martabatnya. Jangan pulang malam! Berhati-hatilah jika berhadapan dengan laki-laki yang belum sepenuhnya kamu kenal, berbahaya!"
Terbersit penyesalan di hati wanita itu, mengapa dirinya mengabaikan pesan kakaknya. Kini dirinya terjebak dalam keadaan yang membuatnya harus berjuang sendiri antara hidup dan mati.
Wanita itu menyesal, andaikan ia bisa mengontrol rasa ingin tahunya, pasti dirinya saat ini masih hidup tenteram tanpa harus bersusah payah kabur dari kejaran orang jahat.
"Sial!" Kembali wanita itu mengumpat saat taksi yang baru saja lewat tidak mau berhenti.
Tak lama kemudian, tiba di persimpangan jalan wanita itu tertatih menyeberangi jalan karena tak sengaja ekor matanya melihat taksi berhenti di seberang jalan.
Wanita itu tidak sadar saat sebuah mobil tanpa nyala lampu melaju kencang ke arahnya. Dalam sekejap tubuh wanita itu terpental ke tengah jalan. Darah segar mengalir dari tubuh wanita itu, napasnya tersengal, dan jemarinya bergerak seolah berusaha meraih sesuatu.
Mobil itu berhenti, pengemudi mengintip dari spion, saat melihat tangan wanita itu bergerak, gegas ia menginjak pedal gas dan memundurkan mobil kembali menabrak wanita itu hingga benar-benar tidak bergerak.
Laki-laki bertubuh tegap itu turun dari mobil, ia mendekati tubuh yang sudah tidak bernyawa itu dengan pandangan sinis.
"Cih, rasakan itu, Tikus Kecil!" Laki-laki itu menatap sekeliling, kebetulan jalanan sangat sepi, sehingga tidak ada saksi mata yang menyaksikan aksinya. Gegas laki-laki itu masuk ke mobil dan melaju cepat meninggalkan lokasi. Ia harus segera membereskan hal lain yang dikacaukan wanita itu.
---
Tisa menangis, meraung, dan berteriak histeris saat melihat mayat Rea -adiknya, sudah terbungkus kain mori dan dimasukkan ke liang lahat. Beberapa teman Tisa memegangi tangannya agar tidak merangsek dan mengganggu proses penguburan.
"Rea! Jangan pergi!"
"Rea! Jangan tinggalin kakak sendirian!"
"Kakak sendirian tanpamu, Rea!"
Raungan Tisa terdengar menyayat di telinga pelayat, tetapi mereka bisa apa? Menghibur dan membantu memakamkan saja.
Tisa terkejut bukan main saat mendapat kabar kematian Rea akibat kecelakaan. Ia tak menyangka bahwa malam sebelumnya adalah malam terakhir pertemuan mereka. Tisa masih ingat betul bagaimana wajah Rea yang ceria menceritakan pekerjaannya yang katanya menyenangkan. Hanya mengajar siswa SD, ia mendapatkan gaji yang lumayan besar.
Sayangnya, malam itu Tisa berada di luar kota mengikuti diklat, sehingga ia mengabaikan panggilan telepon dari adiknya. Rupanya inilah jawabannya, mengapa esoknya nomor Rea tidak bisa dihubungi.
Tisa tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya setelah kepergian Rea. Selama ini hanya bersama Rea ia berbagi kisah suka dan duka selama di perantauan. Kedua orangtuanya meninggal sejak Tisa berumur 19 tahun. Jadi, hanya bersama Rea ia berbagi beban hidup, pun sebaliknya.
Tisa merasa Tuhan sedang bercanda dengan hidupnya, mengapa adiknya pergi secepat itu. Tidak ada firasat apa pun sebelumnya, sehingga mentalnya belum siap merasakan kehilangan seperti sekarang.
Kematian Rea adalah pukulan keras bagi Tisa. Pada siapa lagi ia menggantungkan diri setelah ini? Pikiran Tisa sungguh kacau. Jika boleh memilih, ia ingin ikut Rea pergi. Apa gunanya hidup, tetapi tidak ada cahaya lagi di sana?
Beberapa pelayat satu-persatu meninggalkan makan, menyisakan Tisa yang masih memeluk nisan bertuliskan Areabell. Adik satu-satunya yang dimiliki kini pergi meninggalkannya.
---
"Bagaimana keadaan Anda, Nona?" tanya salah seorang polisi bertubuh gendut.
Tisa menatap sekilas. "Apakah aku terlihat baik?" tanyanya lirih.
"Bisakah kami bertanya sedikit tentang adik Anda, Nona?"
Jika tidak ingat sedang berduka, mungkin Tisa akan menampar mulut polisi itu. Apakah ia tidak melihat bagaimana terpukul hatinya saat mendapat kabar kecelakaan Rea, pikir Tisa.
"Haruskah sekarang?" tanya Tisa sengit. Ia menatap tajam polisi bertubuh gendut yang sepertinya tidak terpengaruh dengan tatapan Tisa.
"Iya. Lebih cepat lebih baik, agar misteri cepat terkuak." Polisi itu duduk tepat di seberang Tisa, sedangkan lainnya menunggu tak jauh dari kursi.
Seketika Tisa menatap Polisi itu tajam. "Misteri apa maksudnya?" tanyanya cepat.
Jantung Tisa berdegup kencang saat mendengar kata misteri. Mungkin saja ada sesuatu yang tidak beres dengan kematian adiknya. Jika benar, Tisa berjanji pada dirinya sendiri akan mengungkap misteri itu sendirian.
"Baik. Maafkan kami jika terlalu buru-buru. Namun, kami pikir masalah ini harus segera diselesaikan dan terpecahkan." Polisi itu memberi kode pada salah satu polisi untuk mendekat.
"Ada beberapa foto di sana. Silakan dicek dulu." Polisi bertumbuh gendut bernama Bima itu menyerahkan amplop coklat pada Tisa.
Segera Tisa membuka amplop itu dan mengeluarkan semua foto di atas meja. Seketika matanya terbelalak saat melihat foto hasil CCTV yang memperlihatkan sebuah mobil hitam menabrak Rea tepat di persimpangan jalan.
"A-apakah ini disengaja?" tanya Tisa terbata-bata sambil menunjuk sebuah foto.
"Kami berpikir demikian." Kembali polisi bernama Bima itu memberi kode untuk memperlihatkan video melalui I-pad ke depan Tisa.
Tisa menutup mulut saat melihat tubuh Rea terkapar tak berdaya tertabrak mobil, bahkan mobil itu sempat menabrak Rea 2 kali.
Tisa menggeleng, air matanya kembali luruh saat melihat tubuh Rea benar-benar tidak bergerak lagi. Tisa tidak tahan. Ia menutup wajahnya lalu kembali menangis tergugu.
Sakit sekali hatinya melihat bagaimana Rea meregang nyawa, betapa kejam pelaku yang melakukan itu semua.
Tisa tidak bisa membayangkan bagaimana wajah adiknya yang ketakutan dan terkejut setengah mati tertabrak begitu saja.
Senyum Rea menari-nari di kepala Tisa, hingga akhirnya muncul perasaan benci dan dendam.
'Aku harus membalas dendam atas kematian adikku!' batin Tisa. Ia bertekat akan membalas kematian Rea karena dirinya yakin kematian Rea bukanlah unsur ketidaksengajaan. Ia sangat yakin, kematian Rea sudah direncanakan oleh seseorang. Entah siapa!