Arina adalah gadis SMA kelas sebelas, dia memiliki perasaan yang disembunyikannya dalam-dalam terhadap salah seorang gurunya. Dia mencintai sekaligus memliki obsesi pada guru seninya. Dia juga senang bermasalah dengan para guru dan guru yang paling sering bermasalah dengannya adalah Raif, guru seninya. Namun disisi lain, dia memiliki seorang teman di sosial media yang tak dikenalinya, hanya disebutnya si Pria Tua Nakal, dan dengan si pria tua nakal itu, dia melampiaskan hasratnya yang sebenarnya dia miliki kepada Raif, guru seninya.
Dia merasakan embusan angin yang menerpa wajahnya. Tatapannya kosong menatap para pemain futsal yang sibuk merebut bola. Pagi sekitar jam sembilan. Dia menatap layar ponsel yang memutar lagu favoritnya. Rock and roll, dia senang dengan lagu rock and roll yang berjudul no pain no gain, yang dinyanyikan band Scorpion. Terlihat headset dengan tali kabel dan biji headset warna hitam menempel di telinganya.
Dia baru saja dikeluarkan dari kelasnya karena mendengarkan musik saat jam pelajaran. Namun dia sama sekali tak peduli dengan hal demikian. Dia benci dengan pribadinya namun mencintai orang lain, dia sangat mencintainya. Dia mencintai guru yang baru saja mengeluarkannya dari kelas.
Saat ini, dia duduk di teras depan kelas sepuluh, yang berhadapan dengan kelasnya yang berjarak beberapa meter dan dipisahkan oleh lapangan futsal dan lapangan basket. Arina, dia sekarang menatap fokus ke arah kelas dengan pintu terbuka. Menunggu guru yang mengajar di sana keluar.
Arina dia masih kelas sebelas dan usianya masih sangat muda. Karakternya keras dan misterius. Dia tidak senang berteman. Dia tidak memiliki teman. Tak ada satu pun yang berani mendekatinya dan tak ada satu pun yang berani memulai percakapan dengannya jika itu hanya basa-basi saja. Penampilannya aneh dan tidak sopan. Kaki bajunya selalu di luar jika itu bukan hari Senin. Rambutnya sangat pendek dan hanya sampai di leher saja. Matanya tajam dan bola matanya hitam pekat. Tatapannya selalu membosankan.
Jarinya bergerak-gerak menikmati alunan lagu. Matanya kadang memandang ke arah lapangan dan kadang menatap ke arah pintu kelas. Dia menatap seorang remaja menggiring bola layaknya pemain bola.
"Buruk! Finishing-nya, sangat buruk!" katanya dengan suara pelan menatap remaja itu menendang bola dengan keras namun tak tepat sasar.
Arina kini melihat ke arah layar ponselnya, menatap sudah jam berapa? Masih belum jam istirahat. Namun dia masih setia menunggu di tempat itu. Hingga salah satu seorang guru BP menghampirinya.
Guru BP itu kini berdiri tepat di belakang Arina yang masih fokus menatap pertandingan konyol itu.
"Kenapa berada di luar?!"
Arina tak mendengar, lagu yang bersenandung di telinganya bervolume tinggi. Jika dilihat gadis itu akan terlihat seperti laki-laki jika dia tidak mengenakan rok.
Si guru BP yang tampak geram kini membulatkan matanya. Dia adalah wanita gendut yang berkacamata, kini tangannya melengkung ke pinggang dan tatapannya seperti tatapan yang tidak menyenangkan.
Tangan besarnya terangkat dan dengan keras dia menepuek bahu gadis yang duduk di teras.
Plak!
Suaranya terdengar gurih membuat gadis itu sontak terkejut dan mendongak ke atas menatap mata tajam yang akan segera keluar. Arina terkejut dan tubuhnya yang juga nampak kecil tiba-tiba loncat dan terangkat, andai saja tak dipegangi oleh si guru gendut itu maka dia akan jatuh dari atas ke lantai koridor.
"Ke sini kau gadis berandal!" Tangan besar dan berlemak itu menyandarkan tubuh Arina tepat dia tiang tembok yang berbentuk kotak. Arina menganga dan terlihat sangat cemas. Kita juga bisa melihat tatapan yang terlihat takut itu.
"Sekarang kenapa kau bisa di luar saat mata pelajaran masih berlanjut?!" Suara si guru BP sangatlah nyaring dan tatapannya bagai memancarkan api yang siap membakar Arina.
"Katakan!"
Headset milik Arina dicopot oleh tangan penuh lemak si guru BP. Nafas Arina putus-putus. Arina mungkin dikenal dengan sebutan gadis tanpa rasa takut. Tapi nyalinya ciut jika dihadapkan dengan si gendut guru BP.
"A...ak... Pak...Raif," katanya putus-putus.
Guru gendut itu mengangguk-angguk dan tangannya kini berada di pinggang miliknya.
"Oh, sekarang Pak Raif yang mengeluarkanmu ha?"
Arina mengangguk takut.
"Apa yang kau lakukan ha?! Ha! Sehingga guru sebaik Pak Raif pun kau buat kesal!"
"Aku hanya memakai headset, tanpa mendengarkan musik." Dia menjawab dengan cepat dan tatapannya seakan ingin meyakinkan wanita berbadan besar itu.
Wanita itu mengangguk-angguk dan kembali menyeret baju Arina dengan kasar. Awalnya si guru BP gendut itu tidaklah berlaku kasar, namun Arina tidak melakukannya sekali, namun berkali-kali dia dikeluarkan oleh guru yang mengajar. Orang tuanya sudah dipanggil dua kali, namun sama sekali tidak ada perubahan pada diri gadis itu.
Headset miliknya terjatuh dengan keras ke lantai, dan pecah. Tatapannya sedih melihat headset itu.
"Padahal aku baru membelinya kemarin," katanya sedih, dan tangannya masih saja diseret oleh wanita gendut itu. Untung saja bukan ponsel yang jatuh, jika ponselnya dia tidak tahu dengan siapa dia akan meminta uang untuk membeli ponsel baru karena dia sudah merusak dua ponsel miliknya yang dibelikan oleh orang tuanya.
Dia menjadi pusat perhatian karena diseret-seret dengan kasar. Tidak ada yang membela atau prihatin padanya. Dia memang pantas mendapatkannya. Akhirnya, perjalanan setelah melewati banyak kelas dan melangkah melalui lantai koridor. Guru BP gendut itu dan Arina sampai di depan pintu kelas.
Mata di dalam ruangan itu terpusat ke arah mereka berdua. Bu BP masih menyeret seragam Arina dan membawanya masuk ke dalam ruangan kelas. Hingga pada akhirnya si guru BP itu melepas lengan baju Arina.
"Hukuman apa yang Pak Raif inginkan untuk gadis berandal ini?!" Suaranya tegas dan menakutkan menatap Pak Raif yang berbadan tinggi dan dengan tatapan sayu.
Arina, dia hanya berdiri dan menunduk ke lantai, dia terlihat sama sekali merasa tak bersalah.
Pak Raif dia menatap sekilas Arina dan merasa sedikit kasihan. Rasa iba muncul di dalam hatinya untuk anak kecil yang nakal di hadapannya itu.
"Bu, aku pikir cara Ibu menyeretnya sangatlah kasar," ucapnya dengan tenang berdiri tepat di hadapan Bu BP.
"Tidak kasar!" Arina menyahut dengan kepala menunduk.
Membuat teman-temannya menatap ke arahnya dan guru yang ada di ruangan itu juga menatapnya heran.
"Lihat? Tak usah membelanya Pak Raif, dia memang gadis yang pantas dihukum."
Pak Raif tersenyum menunduk dan menatap ke arah lantai lalu mengangkat kepalanya lagi menatap Bu BP.
"Baiklah, biarkan aku yang menghukumnya, suruh saja dia menunggu di ruanganku."
Arina mendengarnya, kepalanya langsung terangkat menatap Pak Raif yang menatap Bu BP yang gendut itu.
Arina menelan ludah dan kepalanya berpikir, dia setuju dengan hukuman apa pun dari Pak Raif.